Opini

Model Ketenagakerjaan Aceh yang Adil dan Bermartabat

Hasil penelitian terkini yang menganalisis data dari 24 kabupaten/kota di Aceh memberikan peta jalan yang menarik: Indeks Pembangunan

Editor: Ansari Hasyim
For Serambinews.com
Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (USK) dan Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Aceh 

Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (USK) dan Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Aceh

PROVINSI Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekkah, memiliki identitas unik yang tidak dimiliki daerah lain di Indonesia. Penerapan syariat Islam bukan hanya sekadar simbol, tetapi telah menjadi ruh dalam tata kelola pemerintahan dan kehidupan sosial masyarakat. 

Dalam konteks pembangunan ekonomi, khususnya penciptaan kesempatan kerja, nilai-nilai Islam yang menekankan keadilan, kesejahteraan (falah), dan pemberdayaan sumber daya manusia menjadi kerangka acuan yang sangat relevan. 

Hasil penelitian terkini yang menganalisis data dari 24 kabupaten/kota di Aceh memberikan peta jalan yang menarik: Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Upah Minimum adalah dua variabel kunci yang berpengaruh signifikan dan positif terhadap kesempatan kerja. 

Tiram, Mutiara Ekonomi Biru Aceh  

Temuan ini seharusnya menjadi landasan bagi sebuah model pembangunan ketenagakerjaan Aceh yang berbasis syariat Islam, sebuah model yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga keadilan dan kemaslahatan umat.

Fakta bahwa IPM memiliki pengaruh positif yang kuat terhadap penyerapan tenaga kerja adalah sebuah sinyal yang sangat positif. IPM, yang mengukur capaian dalam kesehatan, pengetahuan, dan standar hidup, selaras dengan maqasid syariah (tujuan syariat) yang menjunjung tinggi penjagaan akal (hifdz al-'aql) melalui pendidikan dan penjagaan keturunan (hifdz an-nasl) melalui kesehatan. 

Data BPS Aceh menunjukkan, meskipun terus meningkat, IPM Aceh pada 2023 masih berada di angka 73,81, di bawah rata-rata nasional yang mencapai 75,55. Ini mencerminkan bahwa masih ada pekerjaan rumah besar dalam hal kualitas SDM. 

Pemerintah Aceh, melalui lensa syariat, harus memaknai investasi di pendidikan dan kesehatan bukan sebagai biaya, tetapi sebagai investasi utama (prime mover) untuk membangun angkatan kerja yang tidak hanya terampil tetapi juga berakhlak mulia. Sekolah dan pusat pelatihan yang mengintegrasikan kurikulum keislaman dengan kompetensi teknis akan melahirkan tenaga kerja yang kompetitif dan berintegritas.

Temuan lain yang tak kalah penting adalah pengaruh signifikan Upah Minimum. Dalam ekonomi konvensional, kenaikan upah minimum seringkali ditakutkan akan mengurangi permintaan tenaga kerja. Namun, penelitian di Aceh membuktikan sebaliknya. Hal ini sejalan dengan prinsip Islam yang sangat menekankan keadilan dalam pemberian upah. 

Rasulullah SAW bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah). Upah yang layak (ujrah/ajr) bukan hanya memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga memuliakan martabat pekerja dan keluarganya, sehingga mereka dapat menjalankan kewajiban agamanya dengan tenang. Upah Minimum Provinsi (UMP) Aceh pada 2024 ditetapkan sebesar Rp 3.553.335. 

Angka ini perlu terus dikawal implementasinya, khususnya di sektor-sektor informal dan di kabupaten yang masih tertinggal, agar tidak hanya menjadi angka di atas kertas. Prinsip ‘adl (keadilan) dalam pemberian upah akan menciptakan harmoni sosial, meningkatkan produktivitas, dan pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Lantas, bagaimana dengan pertumbuhan ekonomi regional dan investasi? Penelitian menyebutkan pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif, yang memang sesuai dengan teori ekonomi manapun. 

Namun, yang patut menjadi catatan kritis adalah temuan bahwa investasi tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap penciptaan lapangan kerja. Ini adalah alarm bagi pemerintah Aceh. 

Investasi yang masuk selama ini mungkin lebih bersifat padat modal (capital intensive) daripada padat karya (labor intensive), atau terkonsentrasi pada sektor-sektor tertentu seperti perkebunan yang tidak menyerap tenaga kerja dalam jumlah massal. Nilai-nilai syariat Islam mengajarkan untuk mendorong investasi yang memberikan maslahat bagi sebanyak-banyaknya orang (jalb al-mashalih).

Pemerintah harus lebih selektif dan proaktif dalam menarik investasi. Skema Investasi Syariah yang menekankan bagi hasil (mudharabah, musyarakah) dan mendorong usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) harus menjadi prioritas. 

Sektor halal industry, mulai dari pariwisata syariah, fashion muslim, hingga makanan dan farmasi halal merupakan ladang subur yang sejalan dengan identitas Aceh dan berpotensi besar menciptakan lapangan kerja yang luas dan berkelanjutan. 

Investasi tidak boleh dinilai dari besarannya semata, tetapi dari dampak sosial dan lapangan kerjanya bagi masyarakat Aceh.

Secara simultan, keempat variabel tersebut IPM, Upah Minimum, Pertumbuhan Ekonomi, dan Investasi berpotensi saling melengkapi. Namun, pendekatannya harus diintegrasikan dengan nilai-nilai syariat. 

Pertumbuhan ekonomi Aceh haruslah merupakan pertumbuhan yang berkualitas, yang dibangun di atas fondasi SDM yang unggul dan berakhlak, serta didistribusikan secara adil melalui upah yang layak. Investasi harus diarahkan untuk mendukung tujuan-tujuan mulia ini, bukan sebaliknya.

Oleh karena itu, langkah strategis ke depan harus mencakup; Pertama Memperkuat Investasi pada IPM: Meningkatkan anggaran pendidikan dan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau, dengan integrasi nilai-nilai Islam untuk membentuk karakter pekerja.

Kedua Penegakan Upah yang Berkeadilan: Sosialisasi dan pengawasan ketat penerapan upah minimum, serta mendorong perusahaan untuk memberikan skema kesejahteraan yang lebih komprehensif sesuai prinsip kafa'ah (kecukupan). 

Ketiga Merancang Kebijakan Investasi yang Berpihak pada Lapangan Kerja: Memberikan insentif bagi investor yang membuka lapangan kerja luas, menerapkan prinsip syariah, dan mentransfer ilmu teknologi kepada tenaga kerja lokal.

Keempat Mengembangkan Ekosistem Ekonomi Syariah: Fokus pada pengembangan klaster-klaster industri halal yang menjadi kekuatan utama Aceh, sehingga pertumbuhan ekonomi benar-benar lahir dari keunikan dan kekuatan daerahnya sendiri.

Kesempatan kerja di Aceh bukan sekadar angka statistik. Ia terkait dengan martabat, keutuhan keluarga, dan kemampuan setiap individu untuk menjalani kehidupan yang bermakna dan sesuai dengan syariat. 

Berdasarkan hasil penelitian  memberikan bukti empiris bahwa jalan menuju kesempatan kerja yang luas justru terletak pada pembangunan manusia dan keadilan distributive nilai-nilai yang merupakan jantung dari syariat Islam. 

Saatnya Aceh tidak hanya menjadi contoh dalam penerapan syariat secara simbolis, tetapi menjadi pionir dalam membangun model ekonomi ketenagakerjaan yang manusiawi, adil, dan bermartabat, yang menjadi teladan bagi Indonesia dan dunia Islam. 

Dengan demikian, Serambi Mekkah tidak hanya ramah bagi jamaah umrah dan haji, tetapi juga ramah bagi setiap warga yang mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya secara halal dan berkah.

Semoga Aceh tetap terdepan dalam memberikan berbagai solusi kehidupan yang baik bagi umat dalam menggapai kesuksesan dunia dan akhirat, sehingga menjadi panutan serta rujukan bagi daerah lain dalam membangun peradaban. 

Sebagai propinsi terdepan terhadap jalur perdagangan dunia, Aceh harus lebih berani mengedepankan potensi diri dalam menghadapi kompetisi global yang semakin kompliketet.

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved