Opini

Membangun Kemitraan Strategis Produk Halal 

Data berbicara jelas tentang besarnya potensi yang dimiliki kedua negara. Pada tahun 2022, nilai ekspor produk halal Malaysia mencapai

Editor: Ansari Hasyim
For Serambinews.com
Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh 

Oleh : Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh

INDUSTRI HALAL global telah bergerak melampaui sekadar pemenuhan kebutuhan agama. Kini, ia menjadi kekuatan ekonomi yang didorong oleh tren gaya hidup sehat, konsumsi etis, dan keberlanjutan. 

Dalam peta persaingan global ini, Indonesia dan Malaysia, dua negara serumpun dengan populasi Muslim signifikan, memiliki peluang emas untuk tidak sekadar menjadi pesaing, tetapi menjadi mitra strategis yang saling melengkapi. Kolaborasi investasi produk halal, khususnya antara Malaysia dan Provinsi Aceh, dapat menjadi model ideal untuk membangun kemandirian dan daya saing industri halal ASEAN.

Potensi Besar yang Belum Teroptimalkan

Data berbicara jelas tentang besarnya potensi yang dimiliki kedua negara. Pada tahun 2022, nilai ekspor produk halal Malaysia mencapai USD 11,14 miliar, dengan makanan-minuman dan kosmetik sebagai penyumbang terbesar.

Sementara itu, Indonesia mencatat nilai ekspor yang lebih tinggi, yakni USD 24,6 miliar (data KNEKS). Namun, terdapat perbedaan mendasar yang justru membuka ruang bagi kolaborasi: ekspor Malaysia didominasi produk jadi bernilai tambah tinggi dan berbrand kuat, sedangkan ekspor Indonesia masih banyak mengandalkan bahan mentah dan produk setengah jadi.

Inilah ironi sekaligus peluang. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia dalam membangun kemitraan produk halal diwakili oleh Aceh yang memiliki kekuatan pada ketersediaan bahan baku alam yang melimpah.

Aceh, dengan identitas Syariah-nya yang kental, memiliki komoditas unggulan seperti Kopi Gayo yang mendunia, jahe, kunyit, pasak bumi, nilam, dan madu hutan. Kekayaan ini adalah "emas hijau" yang menunggu untuk diolah menjadi produk bernilai tinggi.

Di sisi lain, Malaysia telah membangun ekosistem halal yang matang. Dengan sertifikasi JAKIM yang diakui secara internasional, teknologi pengolahan modern, dan jaringan distribusi global yang kuat, Malaysia telah menjadi pusat halal dunia.

Brand-brand seperti BOH Tea, OldTown White Coffee, dan Safi Cosmetics adalah bukti kesuksesannya dalam mentransformasi ide menjadi produk yang diterima pasar global.

Sinergi Malaysia-Aceh: Sebuah Model Kemitraan Ideal

Kerjasama investasi antara Malaysia dan Aceh bukanlah tentang eksploitasi bahan mentah, melainkan tentang menciptakan rantai nilai tambah (value-added chain) yang saling menguntungkan. Model yang diusung adalah "Aceh sebagai basis produksi dan sumber narasi budaya, sementara Malaysia sebagai hub pengolahan, sertifikasi, dan ekspor."

Skema cerdas tersebut dapat diwujudkan melalui pendirian pabrik bersama di Aceh yang memproduksi produk-produk prioritas seperti Kopi Gayo kemasan premium, suplemen herbal pasak bumi, minyak atsiri, dan minuman herbal instan.

Dalam skema rantai nilai kolaboratif, Aceh berkontribusi pada penyediaan bahan baku berkualitas, tenaga kerja, dan akses ke pasar domestik Indonesia yang sangat besar. Sementara Malaysia menyumbang teknologi produksi (seperti mesin kapsul dan pengemasan otomatis), standarisasi mutu (GMP), serta yang terpenting, sertifikasi halal JAKIM dan akses ke pasar regional seperti Malaysia sendiri, Singapura, Timur Tengah, dan Asia Selatan.

Aspek branding juga menjadi kunci. Kekuatan narasi lokal Aceh sebagai "Tanah Syariah" dengan produk alami dapat dikombinasikan dengan kekuatan branding dan pemasaran global ala Malaysia. Brand bersama seperti "Halal Nusantara" atau "Kopi Gayo: Halal Taste of the Highlands" dapat menjadi identitas yang kuat, menyatukan keaslian dan kearifan lokal dengan daya tarik modern dan global.

Tantangan dan Jalan Keluar

Tentu saja, jalan menuju kemitraan yang sukses tidak tanpa hambatan. Beberapa tantangan utama yang perlu diantisipasi meliputi:

Pertama Harmonisasi Regulasi dan Sertifikasi: Perbedaan standar antara BPOM Indonesia dan JAKIM Malaysia dapat memperlambat proses. Solusinya adalah dengan membentuk tim sinkronisasi untuk menciptakan "sertifikasi ganda" yang efisien (Halal MUI + JAKIM + ISO/HACCP), yang bahkan dapat menjadi pilot project untuk "One Halal Standard ASEAN".

Perbedaan standar halal antara LPPOM MUI (Indonesia) dan JAKIM (Malaysia) menciptakan kompleksitas birokrasi, memperlambat laju produk ke pasar kedua negara dan meningkatkan biaya untuk mendapatkan sertifikasi ganda.

Kedua Infrastruktur dan Tenaga Kerja: Infrastruktur industri dan logistik di Aceh masih perlu ditingkatkan. Pemerintah Aceh didorong untuk membentuk Halal Industrial Cluster di kawasan strategis seperti Takengon atau Lhokseumawe.

Selain itu, program pelatihan vokasi dan inkubasi bisnis halal dengan dukungan ahli dari Malaysia sangat diperlukan untuk mempersiapkan tenaga kerja lokal. Sebagai basis produksi potensial, wilayah seperti Aceh masih memiliki fasilitas industri dan logistik yang terbatas dibandingkan standar Malaysia. Ketimpangan ini diperparah oleh kesiapan SDM lokal yang masih membutuhkan pelatihan signifikan untuk mengoperasikan teknologi pengolahan modern.

Ketiga Penerimaan Pasar, dimana merek baru hasil kolaborasi membutuhkan waktu untuk dikenal. Strategi pemasaran perlu fokus pada edukasi melalui media sosial dan influencer Muslim, serta menawarkan produk dengan skema harga bertahap varian reguler untuk pasar massal dan varian premium untuk ekspor dan segmen niche.

Kemitraan berisiko terjebak dalam pola lama, di mana Indonesia hanya menyuplai bahan mentah, sementara Malaysia menguasai tahap pengolahan, branding, dan distribusi yang memberikan margin keuntungan lebih tinggi. Jika tidak dikelola dengan baik, hal ini akan menciptakan ketergantungan dan menghambat pembagian manfaat yang adil.

Oleh karena itu, solusi berkelanjutan membutuhkan pendekatan kolaboratif yang menyelaraskan standar, meningkatkan kapasitas produksi di Indonesia, dan menciptakan model bisnis yang memastikan pembagian nilai tambah yang setara, sehingga kedua negara bukan hanya menjadi mitra dagang, tetapi pemilik bersama masa depan industri halal regional.

Menuju Kedaulatan Halal ASEAN

Kerjasama investasi produk halal antara Malaysia dan Aceh bukan sekadar proyek bisnis biasa. Ini adalah langkah strategis menuju terwujudnya kedaulatan industri halal ASEAN yang mandiri dan berdaya saing global. Kolaborasi ini memungkinkan kedua negara untuk memanfaatkan keunggulan komparatif masing-masing: kekuatan bahan baku dan pasar domestik Indonesia, serta keunggulan teknologi dan jaringan global Malaysia.

Dengan komitmen yang kuat dari semua pemangku kepentingan pemerintah, industri, dan akademisi (model Triple Helix)—kolaborasi ini dapat mentransformasi Aceh menjadi halal industrial hub baru. Target peningkatan ekspor produk halal olahan dari Aceh senilai USD 100 juta dalam lima tahun pertama bukanlah hal yang mustahil.

Pada akhirnya, kemitraan strategis ini akan memperkuat posisi ASEAN sebagai episentrum industri halal dunia, membawa manfaat ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan bagi kedua negara serumpun. Inilah waktunya untuk bersinergi, bukan berkompetisi, demi membangun masa depan industri halal yang gemilang.

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved