Potret Thalassemia di Aceh
Mencegah Thalassemia dengan Skrining Pranikah
dr Heru Noviat Herdata, mengatakan, tingginya angka kasus thalassemia di Aceh terjadi karena Aceh belum melaksanakan upaya pencegahan
KEPALA Instalasi Sentral Thalassemia, dr Heru Noviat Herdata, mengatakan, tingginya angka kasus thalassemia di Aceh dapat terjadi lantaran provinsi ini belum melaksanakan upaya pencegahan. Sebab, untuk memutus mata rantai kasus thalassemia hanya bisa dilakukan dengan melakukan pencegahan berupa skrining pranikah.
Ia menyebutkan, angka pembawa sifat thalassemia di Aceh terbilang cukup tinggi. Kondisi ini menuntut upaya pencegahan jangka panjang dari pemerintah, mengingat thalassemia merupakan penyakit genetik yang diturunkan dari kedua orang tua.
Jika ayah dan ibu sama-sama pembawa sifat (carrier) thalassemia, maka kemungkinan anak mereka menderita thalassemia beta mayor mencapai 25 persen. Padahal, pencegahan agar anak tidak lahir dengan thalassemia sebenarnya cukup sederhana, yakni calon pasangan yang sama-sama carrier sebaiknya tidak menikah.
“Karena kalau mereka menikah, akan muncul thalassemia beta mayor itu sebesar 25 persen,” ujar dr Heru Noviat Herdata.
Upaya ini dapat dilakukan melalui skrining pranikah. Namun, hingga kini Aceh belum menerapkan skrining genetik secara menyeluruh. Perluasan program skrining pranikah dan antenatal perlu dilakukan melalui kerja sama lintas sektor, seperti Dinas Kesehatan, Dukcapil, dan Kementerian Agama.
Dokter Heru juga menyarankan agar anak muda Aceh mulai melakukan skrining genetik sejak duduk di bangku SMA. “Karena kalau dia tahu dirinya pembawa sifat, masa depan dia untuk menikah itu harus pilih-pilih. Jangan sesama pembawa sifat. Nggak boleh sembarang pasangan,” tegasnya.
Selain pencegahan, penguatan layanan juga menjadi prioritas. Heru menekankan pentingnya pengembangan Unit Pelayanan Terpadu Thalassemia dengan sistem one stop service, yang mencakup diagnosis, transfusi darah, terapi khelasi besi, pemantauan komplikasi, hingga konseling genetik.
Peningkatan kompetensi tenaga medis dan paramedis melalui pelatihan rutin juga diperlukan agar tata laksana thalassemia tetap mutakhir. “Harus ada pengembangan sistem registri digital pasien thalassemia, terintegrasi dengan dinas kesehatan untuk perencanaan logistik darah dan obat,” tambahnya.
Harus jadi Program Wajib
Desakan yang sama juga disampaikan Founder Yayasan Darah untuk Aceh (YADUA), Nurjannah Husien. Ia mendesak Pemerintah Aceh agar menjadikan skrining thalassemia sebagai program wajib di sekolah dan pemeriksaan pranikah. Menurutnya, kebijakan ini lebih efektif dibanding hanya mengandalkan kampanye donor darah.
“Skrining bisa dilakukan di usia SMP atau SMA, biar anak-anak tahu status darahnya sejak awal. Apalagi dana otonomi khusus untuk kesehatan tinggi, skrining apakah usia SMP begitu,atau baru masuk SMA, diskrining secara menyeluruh,” katanya.
Ia menyebutkan, hasil riset Kementerian Kesehatan tahun 2007 menunjukkan sekitar 13,4 persen penduduk Aceh merupakan pembawa sifat Thalassemia. Angka ini seharusnya menjadi dasar pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret.
“Kalau pun ada pihak yang tidak terima dengan data tersebut, maka pemerintah atau pihak terkait silakan dibantah juga dengan data dan hasil riset terbaru. Kemudian kalau itu benar, apa langkah konkret pemerintah dalam hal mereduksinya? Jangan sampai nanti lahir anak Aceh thalassemia lagi, lahir anak Aceh thalassemia lagi,” tegasnya.
Keterbatasan Pemeriksaan
Di sisi lain, sebagaimana diungkapkan Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh, dr Iman Murahman MKM SpKKLP, program skrining genetik khusus untuk thalassemia belum tersedia di Aceh.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.