Opini

Membelanjakan Harta di Jalan Allah sebagai Fondasi Kesejahteraan Sosial

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh pada Maret 2024 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan masih berada di angka 14,75%,

Editor: Ansari Hasyim
For Serambinews.com
Prof Dr Apridar S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh. 

Oleh: Prof Dr Apridar S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh

SEBAGAI satu-satunya provinsi di Indonesia yang diberi kewenangan khusus untuk menerapkan Syariat Islam, Aceh memiliki peluang sekaligus tanggung jawab besar untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam dalam setiap aspek kehidupan. Salah satu pilar penting dalam bangunan masyarakat Islami adalah pengelolaan harta yang berdimensi ketuhanan dan sosial. Konsep "membelanjakan harta di jalan Allah" (infak fi sabilillah), sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 262, bukan sekadar ritual individu, melainkan sebuah paradigma pembangunan kolektif yang dapat menjadi solusi bagi berbagai persoalan sosial-ekonomi di Tanah Rencong.

Potret Sosial-Ekonomi Aceh: Di Balik Kekayaan Sumber Daya

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh pada Maret 2024 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan masih berada di angka 14,75 persen, lebih tinggi dari rata-rata nasional yang sekitar 9,36 % . Ironisnya, Aceh adalah provinsi yang kaya akan sumber daya alam, terutama minyak dan gas. Sementara itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh pada tahun 2023 berada pada peringkat 22 nasional, masih tertinggal dari provinsi lain di Pulau Sumatera. Data ini menyisakan pertanyaan mendasar: di mana letak kesenjangan antara kekayaan potensial dan realitas kemiskinan?

Di sinilah konsep infak, zakat, dan sedekah memainkan peran krusial. BAZNAS Aceh mencatat bahwa potensi zakat di provinsi ini mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya. Namun, realisasi pengumpulan zakat pada 2023 baru sekitar Rp 320 miliar. Angka yang tidak sedikit, namun masih jauh dari potensi sebenarnya. Jika seluruh komponen masyarakat, terutama para mustahik (penerima zakat) yang telah berhasil, dapat terdorong untuk menjadi muzakki (pembayar zakat), maka siklus ekonomi yang berkeadilan akan tercipta.

Dari Teori ke Aksi Nyata dalam Bingkai Syariat Islam

Penerapan Syariat Islam di Aceh seharusnya tidak hanya berhenti pada aspek jinayat (hukum pidana) seperti cambuk, tetapi harus merambah ke jantung ekonomi dan sosial yang bersifat membangun dan memberdayakan. Membelanjakan harta di jalan Allah dalam konteks Aceh yang kontemporer memiliki cakupan yang sangat luas:

Pertama Pemberdayaan Ekonomi Umat: Dana infak dan zakat seharusnya diarahkan untuk program-program produktif, bukan hanya konsumtif. Sebagai contoh, Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) yang dikelola oleh Baitul Mal Aceh atau organisasi masyarakat seperti Dayah (pesantren) dapat menjadi penyalur dana bergulir untuk usaha mikro. Data dari Dinas Koperasi dan UKM Aceh menunjukkan bahwa 99 % pelaku usaha di Aceh adalah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Mereka adalah tulang punggung ekonomi yang seringkali kekurangan akses modal. Infak yang disalurkan dalam bentuk modal usaha, pelatihan, dan pendampingan akan memiliki dampak pengganda (multiplier effect) yang signifikan.

Kedua Investasi di Bidang Pendidikan dan Kesehatan: Membiayai pendidikan anak yatim dan dhuafa hingga ke jenjang tinggi, membangun sekolah dan pusat kesehatan masyarakat, serta memberikan beasiswa untuk calon dokter dan guru yang bersedia bertugas di daerah terpencil adalah bentuk infak yang strategis. Hal ini sejalan dengan Maqashid Syariah (tujuan syariat) yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Ketiga Pembangunan Infrastrukstur Sosial: Pembangunan masjid, dayah, perpustakaan umum, dan balai pelatihan kerja adalah bentuk "di jalan Allah" yang nyata. Infrastruktur ini menjadi pusat peradaban dan pemberdayaan masyarakat. Wakaf tunai (cash waqf) dapat menjadi instrumen andalan untuk membiayai proyek-proyek semacam ini secara berkelanjutan.

Menjaga Keikhlasan dan Kehalalan dalam Ekosistem Syariah

Sebagai daerah yang berlandaskan Syariat, Aceh memiliki tanggung jawab lebih besar untuk memastikan bahwa praktik infak memenuhi syarat-syarat yang digariskan Allah SWT:

  • Ikhlas dan Tidak Mengungkit: Budaya "pamer" dalam beramal harus dihilangkan. Semangat kompetisi dalam kebaikan harus dibangun, bukan kompetisi untuk mendapat pujian. Pemberian yang disertai dengan ungkitan akan merusak nilai ibadah dan melukai harga diri penerima.
  • Harta yang Halal: Ini adalah prinsip non-negosiasi. Syariat Islam menekankan kejujuran dalam muamalah. Praktik korupsi, suap, riba, dan penipuan yang sayangnya masih ditemui dalam birokrasi dan dunia usaha harus diberantas. Harta haram yang disedekahkan tidak hanya ditolak, tetapi justru menjadi dosa. Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik" (HR. Muslim). Pemerintah Aceh, melalui Wilayatul Hisbah (WH), tidak hanya mengawasi pelaksanaan ibadah mahdhah, tetapi juga harus pro-aktif menciptakan ekosistem ekonomi yang halal dan transparan.

Ketenangan, Kesejahteraan, dan Kemakmuran Bersama

Dengan mengoptimalkan dan memurnikan praktik infak, zakat, dan wakaf, Aceh akan menuai hikmah yang dijanjikan Allah:
Pertama pengentasan kemiskinan yang sistemik, yaitu dana umat yang terkumpul, jika dikelola secara profesional dan transparan, dapat menjadi alat yang ampuh untuk memutus mata rantai kemiskinan secara sistematis, bukan sekadar memberikan bantuan sesaat.

Kedua stabilitas sosial dan pengurangan kesenjangan. Masyarakat yang merasakan keadilan ekonomi dan kepedulian sosial akan lebih tentram. Rasa saling memiliki dan tanggung jawab sosial (social responsibility) akan mengikis potensi konflik dan kecemburuan sosial.

Ketiga investasi jangka panjang untuk akhirat. Setiap rupiah yang dibelanjakan untuk membangun masjid, mencerdaskan anak bangsa, atau memberdayakan ekonomi dhuafa, adalah investasi abadi yang pahalanya terus mengalir (shadaqah jariyah), bahkan setelah pemberinya meninggal dunia.

Membelanjakan harta di jalan Allah adalah solusi ilahiah untuk problematika duniawi Aceh. Untuk mewujudkannya, diperlukan komitmen kolektif dari semua pihak. Pemerintah Aceh perlu memperkuat Baitul Mal, mendorong inovasi pengelolaan zakat dan wakaf, serta menciptakan regulasi yang mendukung pengumpulan dan penyaluran dana umat secara efektif dan akuntabel.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved