Opini
Penguasa dan Parade Keangkuhan
Kasus yang baru-baru ini terjadi di Kabupaten Pidie Jaya menjadi potret getir dari krisis etika kekuasaan yang kian menampakkan wajah
Oleh: Khairil Miswar, Penulis buku Islam Mazhab Hamok
DALAM masyarakat yang sedang berusaha menegakkan peradaban politik yang sehat, setiap tindakan pejabat publik tidak lagi sekadar urusan pribadi, melainkan menjadi cermin moral bagi rakyat yang diwakilinya. Seorang pejabat publik, dengan segala simbol dan perangkat kekuasaannya, selalu membawa konsekuensi sosial.
Ia bukan hanya representasi politik, tetapi juga representasi moral dari tatanan yang berlaku. Karena itu, ketika seorang pejabat bertindak di luar nalar kepantasan, maka yang tercederai bukan hanya nama baik pribadi, tetapi juga nilai-nilai publik yang hidup dalam masyarakat.
Kasus yang baru-baru ini terjadi di Kabupaten Pidie Jaya menjadi potret getir dari krisis etika kekuasaan yang kian menampakkan wajah aslinya, krisis yang memperlihatkan betapa rapuhnya fondasi moral pejabat publik di hadapan godaan arogansi.
Apa yang terjadi di Pidie Jaya baru-baru ini semakin menambah kegelisahan kita. Seorang pejabat publik yang semestinya menjadi teladan dan pengayom justru tampil sebagai simbol keangkuhan, satu sikap yang membuat setan dikutuk, Qarun terkubur di dasar bumi, dan Fir’aun tenggelam di Laut Merah. Sikap yang dilandasi oleh rasa superioritas itu, dalam sejarah umat manusia, selalu menjadi pemicu lahirnya penindasan dan kolonialisme.
Max Weber menyebut fenomena ini sebagai rusaknya “dominasi legal-rasional” (birokrasi). Legitimasi kekuasaan yang bersandar pada kerangka aturan rasional dan etis seketika runtuh saat kekuasaan berubah menjadi panggung ego pribadi.
Pejabat publik pun berhenti menjadi pelayan rakyat yang impersonal, dan bertransformasi menjadi penguasa angkuh yang sibuk mengutamakan gengsi dan amarah. Dan, sayangnya, sikap itulah yang baru-baru ini dipertontonkan oleh seorang oknum pejabat publik di Pidie Jaya.
Dalam tayangan video yang beredar di media sosial, tampak seorang oknum pejabat yang disebut-sebut sebagai Wakil Bupati Pidie Jaya melakukan tindakan kekerasan, atau dengan bahasa halusnya, membogem seorang laki-laki yang disebut sebagai kepala dapur MBG di sebuah kecamatan.
Dari tayangan yang kemudian viral dan diliput media nasional, terlihat pula bahwa selain melakukan pemukulan, oknum tersebut juga sempat memarahi beberapa orang di lokasi kejadian. Bahkan, ironisnya lagi, ia juga sempat memaki seorang perempuan dengan kefasihan yang nyaris sempurna.
Merujuk pada teori Michel Foucault (1975), fenomena ini, dalam bahasa yang lebih sederhana, dapat dibaca sebagai bentuk “demontrasi kekuatan”, di mana kekerasan verbal dan fisik menjadi instrumen untuk menegaskan hierarki sosial dan mempertahankan dominasi. Dengan kata lain, tubuh dan kata digunakan bukan lagi sebagai alat komunikasi, tetapi sebagai sarana kontrol.
Tindakan demikian bukan saja mencoreng wajah Pidie Jaya yang tahun ini konon menjadi tuan rumah MTQ Provinsi Aceh, tetapi juga menampar wajah Aceh yang telah lebih dari dua dekade menjalankan formalisasi syariat Islam.
Perilaku itu adalah bentuk paling purba dari ekspresi kekuasaan, yang mengingatkan kita pada tindakan agresif aparat militer di masa lalu, masa ketika kekuasaan dijalankan bukan dengan akal sehat, melainkan dengan senapan dan peluru.
Dalam perspektif sosiologi kekuasaan, seperti dijelaskan Pierre Bourdieu (1991), kekerasan semacam ini merupakan manifestasi dari symbolic violence, kekerasan yang tampak sepele, tetapi sesungguhnya berfungsi melestarikan struktur dominasi melalui bahasa, gestur, dan tindakan sehari-hari. Bourdieu mengingatkan bahwa kekuasaan yang tak terdidik akan selalu berusaha menegaskan eksistensinya dengan cara paling kasar, karena hanya di sanalah ia merasa diakui.
Pasca insiden tersebut, media sosial dipenuhi beragam komentar. Mayoritas publik mengutuk tindakan itu sebagai manifestasi premanisme. Namun, tidak sedikit pula yang mencoba memberikan pembelaan naif terhadap tindakan “barbarian” itu, sebagian dilatari oleh kesamaan basis politik dengan pelaku.
Di sisi lain, pembelaan-pembelaan kecil juga muncul dari kekecewaan terhadap kualitas pelayanan MBG yang dianggap tidak layak. Fenomena ini menunjukkan bagaimana moral publik sering kali tersandera oleh loyalitas politik.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.