Opini
Penguasa dan Parade Keangkuhan
Kasus yang baru-baru ini terjadi di Kabupaten Pidie Jaya menjadi potret getir dari krisis etika kekuasaan yang kian menampakkan wajah
Antonio Gramsci (1971) menyebut kondisi ini sebagai bentuk hegemoni, yakni ketika kesadaran masyarakat dimanipulasi untuk membenarkan tindakan elite yang sebenarnya bertentangan dengan kepentingan publik. Loyalitas politik yang berlebihan menumpulkan nurani, membuat sebagian orang lebih rela membela kekuasaan daripada membela kebenaran.
Tidak lama setelah kejadian, oknum Wabup Pijay tampak melontarkan permintaan maaf melalui sebuah video singkat. Dalam tayangan itu, ia berbicara dengan nada rendah, memohon maaf kepada korban. Namun, publik tidak serta-merta luluh.
Sebagian besar netizen tetap menuntut pertanggungjawaban hukum. Yang menarik, muncul pula sebagian kecil pihak yang bersikap “sok bijak”, menganggap permintaan maaf pelaku sebagai sikap heroik yang patut diapresiasi, bahkan dikenang sebagai keluhuran budi.
Mereka berharap korban memaafkan pelaku sebagai bentuk kesabaran dan kebersihan hati. Sikap ini tampak mulia di permukaan, tetapi dalam konteks kekuasaan dan kekerasan, ia justru memperlihatkan bagaimana moralitas publik mudah direduksi menjadi sentimentalitas.
Kita tentu tidak menegasikan nilai luhur dari sikap memaafkan. Namun, dalam kasus kekerasan yang dilakukan oleh pejabat publik, apalagi yang disebut-sebut sebagai perilaku berulang, pemaafan menjadi tidak relevan dalam konteks sosial.
Ia hanya berfaedah secara personal bagi korban, tetapi tidak memberikan efek edukatif bagi publik. Dalam jangka panjang, sikap semacam ini berpotensi menormalisasi kekerasan sebagai bagian dari kebudayaan kita.
Emile Durkheim (1893) mengingatkan bahwa solidaritas sosial akan rapuh ketika pelanggaran moral tidak lagi dipandang sebagai ancaman terhadap tatanan kolektif, tetapi sekadar urusan pribadi. Maka, pemaafan yang tidak pada tempatnya justru mengikis rasa keadilan sosial dan menempatkan hukum sebagai pilihan sekunder yang tidak pernah sungguh-sungguh ditegakkan.
Jika dibiarkan, praktik ini akan membentuk budaya politik yang permisif terhadap kekerasan. Dalam jangka panjang, masyarakat akan terbiasa melihat pejabat memperlakukan warga secara tidak bermartabat tanpa merasa perlu marah.
Inilah yang disebut Erich Fromm sebagai proses hilangnya kepekaan moral, yaitu ketika masyarakat kehilangan kemampuan untuk merasakan jijik terhadap tindakan yang seharusnya tercela. Artinya, kekerasan yang terus diabaikan akan menjadi banal, sesuatu yang diterima begitu saja. Hannah Arendt bahkan menyebut fenomena ini sebagai “banalitas kejahatan”, yaitu saat keburukan menjadi rutinitas, dan pelakunya bahkan tidak lagi merasa bersalah.
Karena itu, penegakan hukum, terutama terhadap pejabat publik yang dipilih melalui proses demokratis, harus ditegakkan tanpa kompromi. Ini bukan semata-mata untuk menghukum, tetapi untuk memulihkan rasa keadilan sosial dan meneguhkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
Kita bisa membayangkan, jika posisi dalam kasus itu terbalik: pelaku adalah rakyat jelata dan korban adalah seorang wakil bupati, hampir dapat dipastikan proses hukum akan berjalan secepat buraq melintasi langit.
Perbedaan perlakuan ini menyingkap apa yang oleh Bourdieu disebut sebagai field of power, yaitu arena sosial di mana hukum, politik, dan ekonomi saling bertarung untuk memperebutkan legitimasi moral dan simbolik. Dalam arena itu, hukum kerap menjadi alat bagi yang berkuasa, bukan payung bagi yang lemah.
Karena itu pula, publik harus terus menuntut agar hukum tidak tunduk kepada jabatan. Negara hukum tidak boleh memberi ruang bagi kekuasaan yang bersifat feodal. Kekuasaan sejatinya adalah amanah, bukan hak istimewa.
Ketika kekuasaan kehilangan orientasi etisnya, maka rakyat berhak untuk bersuara dan menegur, sebab demokrasi tidak pernah memberi izin kepada siapa pun, termasuk penguasa, untuk melakukan parade keangkuhan.(*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.