Opini
Membangun Aceh Utara: Menyatukan Ekonomi, Spiritualitas, & Kelestarian demi Masa Depan Berkelanjutan
Namun, tantangan terbesarnya adalah bagaimana menyatukan ketujuh prioritas ini menjadi sebuah model pembangunan berkelanjutan yang koheren
Oleh: Prof Dr Apridar SE MSi, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh
KABUPATEN Aceh Utara, dengan potensi sumber daya alam dan kekuatan budaya yang khas, berdiri di persimpangan jalan menuju masa depan. Pemerintah daerah telah menetapkan tujuh prioritas pembangunan yang ambisius, mulai dari peningkatan pertumbuhan ekonomi hingga penguatan pelaksanaan syariat Islam.
Namun, tantangan terbesarnya adalah bagaimana menyatukan ketujuh prioritas ini menjadi sebuah model pembangunan berkelanjutan yang koheren, tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga membangun ketangguhan sosial dan lingkungan.
Tujuh Pilar: Fondasi yang Komprehensif
Ketujuh prioritas tersebut mencerminkan pendekatan yang holistik. Peningkatan pertumbuhan ekonomi (1) dan percepatan pengentasan kemiskinan (3) adalah dua sisi mata uang yang sama. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh Utara mencatat angka kemiskinan sebesar 15,84 persen pada Maret 2023, masih di atas rata-rata nasional.
Pertumbuhan ekonomi yang inklusif adalah kunci untuk menekan angka ini. Prioritas pada layanan pendidikan dan kesehatan (2) adalah investasi jangka panjang untuk membentuk modal manusia yang unggul. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh Utara pada 2022 adalah 66,61, di bawah IPM Aceh (71,63) dan nasional (72,91). Peningkatan akses dan kualitas pendidikan serta kesehatan menjadi penentu utama dalam mempercepat peningkatan IPM.
Pembangunan infrastruktur dasar (4) adalah urat nadi yang menghubungkan semua sektor. Infrastruktur seperti jalan, jembatan, air bersih, dan listrik tidak hanya mendukung aktivitas ekonomi, tetapi juga mempermudah akses masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan.
Baca juga: Bank Konvensional: Fatamorgana yang Memabukkan
Sementara itu, penguatan pelaksanaan syariat Islam (5) menawarkan dimensi unik, di mana nilai-nilai spiritual dan etika Islam dapat diintegrasikan ke dalam tata kelola pembangunan, memerangi korupsi, dan membangun karakter masyarakat yang jujur dan bertanggung jawab.
Dua prioritas terakhir, penguatan ketahanan lingkungan (6) dan reformasi birokrasi (7), adalah penopang utama keberlanjutan. Sebagai kawasan pesisir, Aceh Utara sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti kenaikan muka air laut dan abrasi.
Pengelolaan lingkungan yang baik juga penting mengingat sejarah eksploitasi sumber daya alam. Reformasi birokrasi menjadi katalisator untuk memastikan seluruh program prioritas ini dijalankan dengan efektif, efisien, dan bebas dari korupsi.
Sinergi Eksekutif-Legislatif: Penggerak Kebijakan Fiskal yang Berpihak
Pernyataan tentang pentingnya sinergi antara eksekutif dan legislatif bukanlah retorika kosong. Dalam konteks Aceh Utara, sinergi ini adalah prasyarat mutlak untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Kebijakan fiskal, yang tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), harus menjadi cerminan dari tujuh prioritas tersebut.
Sinergi ini memastikan bahwa setiap rupiah APBD dialokasikan secara disiplin dan strategis. Legislatif berperan sebagai pengawas yang ketat, memastikan anggaran tidak hanya dikucurkan untuk proyek-proyek fisik yang kasat mata, tetapi juga untuk program-program pemberdayaan masyarakat, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan lingkungan yang dampaknya jangka panjang. Misalnya, alokasi anggaran untuk program beasiswa bagi keluarga miskin, pembangunan puskesmas di daerah terpencil, atau rehabilitasi hutan mangrove harus mendapat persetujuan dan pengawasan bersama.
Tanpa sinergi ini, APBD berisiko menjadi alat politik transaksional, di mana proyek-proyek dipilih berdasarkan kepentingan jangka pendek, bukan kelayakan dan keberlanjutannya. Kolaborasi yang kuat antara kedua lembaga akan menghasilkan Peraturan Daerah (Perda) dan kebijakan yang mendukung investasi berkelanjutan, mempermudah perizinan usaha yang ramah lingkungan, dan menciptakan sistem pengawasan yang mencegah pemborosan anggaran.
Integrasi Tiga Pilar: Ekonomi, Sosial-Budaya, dan Lingkungan
Model pembangunan berkelanjutan Aceh Utara harus mampu mengintegrasikan tiga pilar utama: ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan.
Pilar Ekonomi: Pertumbuhan ekonomi harus digerakkan oleh sektor-sektor yang inklusif dan berkelanjutan. Selain mengandalkan sektor tradisional seperti pertanian dan perkebunan (sawit, karet), Aceh Utara memiliki potensi besar dalam hal ekonomi biru (kelautan dan perikanan), pariwisata halal yang memadankan keindahan alam dengan nilai-nilai syariat, serta pengembangan UMKM berbasis industri kreatif dan halal.
Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh Utara menunjukkan kontribusi UMUM terhadap perekonomian daerah yang signifikan, namun masih membutuhkan dukungan akses permodalan, teknologi, dan pemasaran. Pertumbuhan harus dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya mereka yang berada di garis kemiskinan.
Pilar Sosial-Budaya: Penguatan pelaksanaan syariat Islam tidak boleh dipandang sebagai hambatan, melainkan sebagai pembentuk identitas dan etos kerja. Nilai-nilai kejujuran, amanah, dan keadilan yang dianjurkan dalam Islam harus menjadi landasan birokrasi dan dunia usaha. Program pemberdayaan perempuan dalam kerangka syariat yang memberdayakan juga dapat meningkatkan partisipasi ekonomi. Layanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas akan menciptakan masyarakat yang sehat, cerdas, dan berakhlak mulia, yang merupakan modal sosial terpenting untuk pembangunan jangka panjang.
Pilar Lingkungan: Pembangunan infrastruktur dan ekonomi harus berjalan beriringan dengan perlindungan lingkungan. Aceh Utara perlu belajar dari pengalaman daerah lain yang mengalami kerusakan lingkungan akibat ekspansi ekonomi yang tidak terkendali. Penguatan ketahanan lingkungan dapat diwujudkan melalui program penghijauan, pengelolaan sampah terpadu, strict enforcement terhadap AMDAL, dan promosi energi terbarukan. Infrastruktur yang dibangun harus bersifat "hijau" dan tahan terhadap bencana iklim. Melindungi hutan bakau di pesisir, misalnya, bukan hanya baik untuk ekosistem, tetapi juga menjadi benteng alami dari abrasi dan tsunami.
Data dan Realita di Lapangan
Untuk mewujudkan integrasi ini, beberapa langkah konkret berbasis data perlu diambil:
Pertama Peta Jalan Investasi Hijau dan Halal: Pemerintah perlu menyusun peta jalan yang jelas untuk menarik investasi pada sektor-sektor berkelanjutan, seperti agroindustri berbasis kelapa sawit berkelanjutan (ISPO), perikanan tangkap terukur, dan pariwisata alam yang bertanggung jawab. Data potensi wisata seperti kawasan Lhokseumawe dan pantai-pantai di Aceh Utara perlu dipaketkan dengan menarik bagi investor yang memiliki komitmen terhadap lingkungan dan pelestarian budaya.
Kedua Program Kemiskinan Berbasis Keluarga: Program pengentasan kemiskinan harus tepat sasaran. Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) harus menjadi acuan utama. Bantuan tidak hanya berupa tunai, tetapi juga pelatihan keterampilan, akses kepada permodalan, dan pendampingan usaha yang terintegrasi dengan koperasi syariah.
Ketiga Memperkuat Ketahanan Iklim: Mengingat kerentanan Aceh Utara, anggaran untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim harus ditingkatkan. Ini termasuk pembangunan infrastruktur tangguh bencana, sistem peringatan dini, dan program-program konservasi berbasis masyarakat. Kerja sama dengan LSM lingkungan dan universitas dapat memperkuat kapasitas teknis daerah.
Keempat Birokrasi yang Melayani: Reformasi birokrasi harus terukur. Targetnya adalah peningkatan skala Ease of Doing Business (EoDB) di Aceh Utara. Pelayanan perizinan yang cepat, transparan, dan bebas pungli akan mendorong iklim usaha yang sehat. Integritas aparatur dapat dibangun melalui pendekatan spiritual dengan menekankan nilai-nilai syariat Islam dalam etos kerja.
Kesimpulan: Sebuah Jalan Menuju Ketangguhan
Tujuh prioritas pembangunan Aceh Utara adalah sebuah cetak biru yang menjanjikan. Keberhasilannya sangat bergantung pada kemampuan untuk mentransformasikannya dari dokumen menjadi aksi nyata yang terintegrasi. Sinergi eksekutif dan legislatif adalah motor penggeraknya, sementara integrasi antara pertumbuhan ekonomi, pembangunan manusia, spiritualitas, dan kelestarian lingkungan adalah kompas penunjuk arah.
Model pembangunan berkelanjutan Aceh Utara bukanlah tentang memilih satu prioritas atas prioritas lainnya, melainkan tentang menemukan benang merah yang menyatukan semuanya. Dengan pendekatan yang holistik, berbasis data, dan didukung oleh tata kelola yang bersih, Aceh Utara tidak hanya akan mengejar ketertinggalan, tetapi juga membangun fondasi yang kuat untuk menjadi sebuah kabupaten yang tangguh, sejahtera, dan bermartabat di masa depan. Masyarakat Aceh Utara berhak mewarisi bumi yang tidak hanya kaya secara material, tetapi juga kaya secara spiritual dan lestari secara ekologis.(*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/uniki-080624-b.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.