Jejak Investasi di Pidie

Provokasi dari Luar, Lahan Jadi Alasan

Penentangan justru datang dari sekelompok warga luar yang tidak lagi menetap di Kabupaten Pidie. Mukim Laweung, Muslim Syamaun

Editor: mufti
FOR SERAMBI INDOENSIA
MUSLIM SYAMAUN, Mukim Laweung 

Ringkasan Berita:
  • Mukim Laweung, Muslim Syamaun, mengungkapkan bahwa isu penolakan keberadaan pabrik semen Laweung di masa lalu tidak berasal dari masyarakat setempat. Penentangan justru datang dari sekelompok warga luar yang tidak lagi menetap di Kabupaten Pidie
  • Dari Perwakilan PT SIA di Laweung, Ibrahim menegaskan bahwa pembebasan lahan untuk pembangunan pabrik telah selesai sejak tahun 1994
  • Sayangnya, pembangunan terhenti akibat penolakan dari sekelompok kecil warga

TERHENTINYA pembangunan pabrik semen Laweung ternyata tidak murni karena persoalan lahan, melainkan adanya provokasi dari pihak luar yang menggiring isu lahan sebagai alasan. Selain itu juga dipengaruhi adanya pergantian kepala daerah.

Mukim Laweung, Muslim Syamaun, mengungkapkan bahwa isu penolakan terhadap keberadaan pabrik semen Laweung di masa lalu tidak berasal dari masyarakat setempat. Penentangan justru datang dari sekelompok warga luar yang tidak lagi menetap di Kabupaten Pidie.

“Mereka memprovokasi masyarakat dengan berbagai cara, padahal mayoritas warga lokal mendukung penuh keberlanjutan proyek karena telah merasakan manfaatnya,” ujar Muslim.

“Ada persoalan-persoalan yang tidak diinginkan oleh sebagian orang. Tapi (mereka) bukan dari sini. Mereka tinggal di Banda Aceh, Jakarta, lalu pulang kemari untuk menghambat pembangunan pabrik semen yang justru diinginkan masyarakat Muara Tiga,” ungkap Mukim Laweung ini.

Memang diakui ada beberapa persoalan kecil di masa lalu terkait lahan. Tetapi hal itu bisa diselesaikan secara baik-baik melalui musyawarah dan peran aktif pemerintah gampong. Ia menyebut, riak-riak tersebut muncul akibat kesalahpahaman antarwarga.

“Kalau konflik lahan itu di Kecamatan Muara Tiga, khususnya Kemukiman Laweung, memang ada tapi tidak banyak. Di Kecamatan Batee juga ada, tapi bisa dikonfirmasi,” ucapnya.

Muslim juga menegaskan bahwa selama proses pembebasan lahan sebelumnya, tidak pernah terjadi pelanggaran adat atau aturan lokal oleh pihak perusahaan. Ia menyebut seluruh ketentuan telah dijalankan sesuai kesepakatan. “Saya pernah jadi keuchik dan ketua forum keuchik. Saya lihat tidak ada pelanggaran adat oleh pihak pabrik semen di dua kecamatan ini,” imbuh Muslim.

Ia menekankan bahwa keributan yang pernah terjadi murni karena provokasi dan tidak bisa dikaitkan dengan adat-istiadat. Selain itu, menurutnya, penghentian proyek juga lebih disebabkan oleh pergantian kepemimpinan daerah.

Hal serupa juga disampaikan Bupati Pidie, Sarjani Abdullah. Untuk diketahui, proses pembangunan pabrik semen Laweung dimulai pada 2017, saat periode awal pemerintahan Sarjani Abdullah (2012-2017). Ketika ditemui Serambi, Senin (3/11/2025), Sarjani menyampaikan bahwa aksi demonstrasi saat itu terjadi karena adanya provokasi dari pihak tertentu yang ingin menggagalkan beroperasinya pabrik semen Laweung.

"Jika dahulu adanya kericuhan yang berimbas pada pembakaran, saya duga masyarakat terprovokasi dari pihak lain, bukan keinginan dari masyarakat sendiri," ungkap Sarjani yang dalam Pilkada 2024 lalu kembali terpilih sebagai Bupati Pidie.

Selesai Sejak 1994

Demikian juga disampaikan Perwakilan PT Semen Indonesia Aceh (SIA) di Laweung, Ibrahim. Ia menegaskan bahwa pembebasan lahan untuk pembangunan pabrik telah selesai sejak tahun 1994. “Masalah pabrik semen ini terhenti karena ada pihak-pihak yang memprovokasi soal lahan. Ada yang bilang belum bebas, padahal tahun 1994 sudah dibebaskan dan tahun 1995 suratnya sudah keluar,” sebutnya.

Ibrahim menyebut pembebasan lahan seluas 1.508 hektare dilakukan secara sukarela oleh masyarakat, bahkan banyak warga yang meminta agar tanah mereka juga dibeli. “Tidak ada pemaksaan saat itu, tidak ada rasa takut terhadap tentara atau Polri. Saya tentara dulu, dan saya bicara jujur,  tidak ada pemaksaan sedikit pun,” tegasnya.

Ibrahim menceritakan, proyek pembangunan pabrik semen di kawasan Laweung awalnya dirintis oleh investor asal India pada pertengahan 1990-an. Namun rencana tersebut gagal dilanjutkan akibat situasi konflik. Baru pada tahun 2016, PT Semen Indonesia Aceh melakukan peletakan batu pertama sebagai penanda dimulainya pembangunan fisik pabrik. Sejumlah bangunan seperti masjid, kantor, dan gudang pun telah berdiri kokoh di kawasan tersebut.

Sayangnya, pembangunan terhenti akibat penolakan dari sekelompok kecil warga yang mengklaim bahwa status lahan belum sepenuhnya bebas. Akibatnya, bangunan yang telah berdiri menjadi terbengkalai dan tidak dimanfaatkan.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved