Opini

Ketika Api Menjadi Guru

Fenomena perundungan (bullying) di lembaga pendidikan, baik di sekolah maupun di pesantren, bukanlah hal baru. Ia hadir dalam berbagai

Editor: Ansari Hasyim
IST
Khairil Miswar 

Oleh: Khairil Miswar*)

API yang membakar kompleks asrama Dayah Babul Maghfirah di Aceh Besar pada akhir Oktober 2025 mengguncang banyak pihak.

Polisi menyebut penyebabnya berasal dari tindakan seorang santri yang mengaku membakar asrama karena perasaan sakit hati akibat perlakuan teman-temannya (detik.com, 31/10/25). 

Tidak ada korban jiwa, namun peristiwa ini menyisakan tanya yang lebih dalam: apa yang sebenarnya terjadi dalam ruang batin seorang anak hingga ia menyalakan api di tempat yang mestinya menjadi ruang belajar dan berdoa?

Tulisan ini tidak bermaksud menilai atau menuding lembaga mana pun. Justru sebaliknya, ia berupaya menempatkan tragedi tersebut sebagai cermin pembelajaran, bukan tentang siapa yang salah, tetapi tentang apa yang bisa kita pelajari dari sisi pendidikan, psikologi, dan kemanusiaan.

Bullying di Dunia Pendidikan

Fenomena perundungan (bullying) di lembaga pendidikan, baik di sekolah maupun di pesantren, bukanlah hal baru. Ia hadir dalam berbagai bentuk: ejekan, pengucilan, kekerasan verbal, bahkan pelecehan seksual.

Namun sering kali, praktik ini justru tersembunyi di balik rutinitas pembelajaran dan hubungan antar-siswa yang di permukaan tampak biasa-biasa saja.

Teori ekologi sosial Urie Bronfenbrenner membantu kita memahami konteks ini dengan lebih baik. Dalam bukunya, Bronfenbrenner menjelaskan bahwa perilaku manusia dibentuk oleh lingkungan berlapis, dari mikrosistem (keluarga, sekolah) hingga makrosistem (budaya dan nilai masyarakat).

Artinya, perundungan bukan semata persoalan individu, tetapi hasil dari interaksi kompleks antara struktur sosial dan norma budaya yang berlaku.

Dalam banyak lembaga pendidikan berbasis asrama, hubungan hierarkis antara senior dan junior sering dianggap sebagai bagian dari proses pembelajaran kedisiplinan.

Namun, jika tidak diimbangi dengan kesadaran emosional dan pendampingan psikologis yang kuat, relasi ini dapat menimbulkan tekanan terselubung.

Itulah sebabnya, kasus seperti di Babul Maghfirah (jika dugaan polisi benar), meski bersifat insidental, dapat menjadi cermin berharga untuk memperkuat sistem pembinaan santri di seluruh Indonesia.

Syariat, Moralitas, dan Ruang Psikologis Anak 

Aceh, sebagai wilayah yang menerapkan syariat Islam, memegang tanggung jawab moral lebih besar dalam membentuk lembaga pendidikan yang tidak hanya religius secara formal, tetapi juga menumbuhkan kesejahteraan psikologis.

Dalam tradisi Islam, pendidikan tidak berhenti pada transmisi ilmu, melainkan mencakup penumbuhan akhlak, kasih sayang, dan perlindungan terhadap martabat manusia.

Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad SAW pernah menyebut bahwa kesempurnaan iman seorang Muslim sangat tergantung pada bagaimana ia memperlakukan saudaranya.

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved