Opini
Ketika Api Menjadi Guru
Fenomena perundungan (bullying) di lembaga pendidikan, baik di sekolah maupun di pesantren, bukanlah hal baru. Ia hadir dalam berbagai
Prinsip ini, bila diterjemahkan dalam dunia pendidikan, berarti lembaga dan tenaga pengajar berkewajiban menciptakan ruang yang bebas dari rasa takut, hinaan, dan diskriminasi.
Dalam kerangka teori psikologi humanistik, Abraham Maslow (1993) menyebutkan bahwa kebutuhan akan rasa aman merupakan fondasi bagi pertumbuhan individu.
Seorang peserta didik yang tidak merasa aman, atau terancam secara fisik maupun emosional, akan sulit menyerap nilai-nilai spiritual atau ilmu pengetahuan. Maka, pendidikan berbasis syariat harus mampu menggabungkan dua aspek: penguatan moral dan perlindungan psikologis bagi anak didik.
Kasus Babul Maghfirah
Jika kita memandang tindakan santri yang membakar asrama dari kacamata psikologi, maka perilakunya dapat dimaknai sebagai bentuk kegagalan koping, atau cara menghadapi tekanan.
Menurut teori stres dan koping Lazarus & Folkman, individu yang mengalami tekanan sosial berkepanjangan akan menilai situasi itu sebagai ancaman terhadap harga diri. Jika ia merasa tak punya dukungan sosial, maka strategi koping yang muncul bisa bersifat destruktif, baik terhadap diri sendiri maupun lingkungan.
Dalam konteks ini, peristiwa Babul Maghfirah bukan sekadar tindakan pelanggaran hukum, tetapi juga sinyal penting bagi kita semua tentang kebutuhan sistemik akan dukungan psikologis di lembaga pendidikan.
Ketika seorang santri merasa terisolasi dan terancam, bukan berarti lembaga gagal total, melainkan sistem pendampingan perlu diperkuat agar emosi dan stres tidak menumpuk dan lalu meledak.
Fenomena seperti ini bukan hanya terjadi di Aceh. Di Blitar, seorang siswa SMP mengalami kekerasan saat masa orientasi (Kompas.com, 2025).
Di Lamongan, seorang santri terluka akibat perundungan oleh teman sebayanya (cnnindonesia.com, 2025). Dalam berbagai konteks, pola dasarnya serupa: tekanan sosial dan bullying yang “dibiarkan” berkembang tanpa penyelesaian yang memadai.
Dampak Bullying
Banyak penelitian menunjukkan bahwa korban bullying memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi, kecemasan, bahkan agresi balik.
Namun, di balik statistik itu ada dimensi kultural yang khas di Indonesia, termasuk Aceh, di mana nilai kesopanan, hierarki senior-junior, dan ketundukan sosial sering membuat korban memilih diam.
Diamnya korban bukan berarti tidak ada penderitaan; justru sebaliknya, diam adalah bentuk kepatuhan sosial yang di permukaan terlihat pasif, tapi di bawah menyimpan bara yang sewaktu-waktu bisa meledak.
Karena itu, pendidikan kita perlu menumbuhkan budaya kritis, bukan dalam semangat melawan otoritas, tetapi untuk menjaga keseimbangan antara kepatuhan dan penindasan.
Pesantren atau dayah sebagai lembaga pendidikan yang bernuansa religius, diharapkan bisa menjadi laboratorium empati bagi publik. Kita tahu, dayah selama ini telah memainkan peran besar dalam mencetak generasi berkarakter.
Namun, perkembangan zaman menuntut reinterpretasi terhadap cara pembinaan santri. Bila dulu kedisiplinan diukur dari ketegasan atau mungkin kekerasan, kini ia harus dilengkapi dengan literasi emosional dan kemampuan membangun komunikasi dua arah antara santri dan pembina, juga antara senior dan junior.
| Mewujudkan Pelayaran Krueng Geukueh-Malaysia: Dari Harapan ke Aksi Nyata Kebangkitan Ekonomi Aceh |
|
|---|
| MoU Helsinki dan Revisi UUPA: Aceh Kembali Menguji Integritas Demokrasi Indonesia, Lulus atau Lolos? |
|
|---|
| Analisa Exit Strategi Stabilitas Listrik Aceh |
|
|---|
| Penguatan Tata Kelola Basmalah untuk Aceh yang Bermartabat |
|
|---|
| Membangun Aceh Utara: Menyatukan Ekonomi, Spiritualitas, & Kelestarian demi Masa Depan Berkelanjutan |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Khairil-Miswar-OKEH.jpg)