Opini

Sinergisitas dalam Mewujudkan Keadilan dan Kemandirian Fiskal

Lahir dengan empat pilar utama yaitu transfer dan pembiayaan daerah, sistem pajak daerah, kualitas belanja daerah, dan harmonisasi belanja UU

Editor: Ansari Hasyim
IST
Prof dr Apridar SE MSi, dosen Falultas ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala dan Ketua dewan Pakar ICMI Orwil Aceh. 

Oleh: Prof dr Apridar SE MSi, dosen Falultas ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala dan Ketua dewan Pakar ICMI Orwil Aceh

REFORMASI fiskal melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) dihadirkan sebagai jawaban atas tantangan desentralisasi fiskal yang telah berjalan hampir dua dekade.

Lahir dengan empat pilar utama yaitu transfer dan pembiayaan daerah, sistem pajak daerah, kualitas belanja daerah, dan harmonisasi belanja UU tersebut yang diemban dengan misi mulia: menciptakan tata kelola keuangan yang adil, selaras, dan akuntabel, sekaligus memperkuat otonomi daerah.

Namun, lebih dari dua tahun implementasi, sebuah pertanyaan kritis mengemuka: sudahkah sinergi antara pemerintah pusat dan daerah terwujud untuk mewujudkan keadilan dan kemandirian fiskal yang menjadi roh undang-undang ini?

Fakta di lapangan justru menunjukkan adanya jurang antara harapan dan realita. Ketergantungan fiskal daerah terhadap pusat masih sangat tinggi. Data Kementerian Keuangan pada 2023 menunjukkan bahwa rata-rata kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total pendapatan daerah hanya berada di kisaran 12-15 persen.

Baca juga: Mewujudkan Pelayaran Krueng Geukueh-Malaysia:  Dari Harapan ke Aksi Nyata Kebangkitan Ekonomi Aceh

 

Sebaliknya, komponen Transfer ke Daerah (TKD) seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) masih menjadi penopang utama, menyumbang lebih dari 70 % anggaran belanja daerah. Kondisi ini mencerminkan bahwa tujuan UU HKPD untuk meminimumkan ketimpangan vertikal justru berpotensi memperpanjang budaya ketergantungan, alih-alih membangun kemandirian.

Akar permasalahannya tidak semata-mata terletak pada besaran alokasi, melainkan pada lemahnya sinergi kebijakan antara pusat dan daerah. Kebijakan fiskal yang dirumuskan di level nasional sering kali bersifat "one-size-fits-all", tidak sepenuhnya menangkap kompleksitas dan kekhasan potensi setiap daerah.

Sebagai contoh, kebijakan intensifikasi pajak daerah yang dirancang pusat mungkin kurang efektif diterapkan di daerah dengan basis ekonomi informal yang besar atau di daerah kepulauan yang memiliki karakteristik geografis unik. Akibatnya, terjadi disonansi antara apa yang diharapkan oleh regulasi pusat dan kapasitas implementasi di daerah.

Permasalahan ini semakin runyam dengan tidak optimalnya Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, realisasi PDRD pada banyak daerah kerap hanya mencapai 60-70?ri target yang ditetapkan.

Penyebabnya multidimensi, mulai dari basis data wajib pajak yang lemah, rendahnya kepatuhan pajak, hingga infrastruktur digitalisasi yang belum merata. Daerah seperti DKI Jakarta atau Jawa Timur mungkin telah memanfaatkan sistem elektronik untuk pemungutan pajak hotel dan restoran, namun di banyak daerah lain, prosesnya masih manual dan rentan terhadap kebocoran.

Di sisi lain, ruang fiskal daerah untuk memobilisasi PAD juga dibatasi oleh daftar pajak dan retribusi yang diatur secara sentral, sehingga daerah-daerah dengan basis ekonomi tertentu kesulitan menemukan sumber PAD baru yang signifikan.

Tantangan lain yang tak kalah pelik adalah inefisiensi pengelolaan keuangan daerah dan kapasitas SDM yang terbatas. Laporan BPK RI perihal Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) secara konsisten menyoroti temuan lemahnya sistem pengendalian intern, ketidakpatuhan dalam pelaporan, dan pemborosan dalam belanja.

Masalah ini sering kali berujung pada lemahnya daya serap anggaran, khususnya untuk DAK, yang pada akhirnya berimbas pada kualitas layanan publik. Di balik semua ini, terletak persoalan mendasar: kapasitas aparatur daerah yang belum memadai.

Pelatihan yang terbatas dan rotasi jabatan yang cepat di birokrasi lokal menghambat terciptanya tenaga ahli yang mumpuni dalam perencanaan fiskal, analisis potensi pajak, dan penganggaran yang berbasis kinerja.

Lantas, bagaimana membangun sinergisitas yang dimaksud? Langkah pertama adalah mendorong perencanaan yang kolaboratif dan berbasis data. Pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri, perlu duduk bersama dengan pemerintah daerah sejak fase perencanaan kebijakan dan penganggaran. Model "dialog fiskal" yang intensif, seperti yang akan dilakukan Komite IV DPD RI, harus menjadi praktik rutin, bukan hanya seremonial.

Platform digital terpadu yang memetakan potensi fiskal, kebutuhan pembangunan, dan kinerja keuangan daerah secara real-time dapat menjadi alat bantu untuk menyelaraskan kebijakan.

Kedua, penguatan kapasitas fiskal daerah harus difokuskan pada pemberdayaan, bukan sekadar pemberian. Alih-alih hanya menyalurkan DAU, pemerintah pusat dapat memperkuat insentif berbasis kinerja (performance-based grants) bagi daerah yang berhasil meningkatkan PAD-nya secara signifikan dan transparan.

Program bantuan teknis dari pusat, seperti task force ahli perpajakan daerah dan sistem informasi keuangan yang dapat dioperasikan dengan mudah, akan lebih bermanfaat daripada sekadar instruksi tertulis.

Ketiga, harmonisasi regulasi turunan dan penyederhanaan birokrasi menjadi keharusan. Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen) sebagai derivasi UU HKPD harus memastikan koherensi dengan peraturan daerah (Perda).

Pusat perlu memberikan "ruang bernapas" yang lebih luas bagi daerah untuk berinovasi dalam skema pajak dan retribusi yang sesuai dengan potensi lokal, tentu dengan rambu-rambu akuntabilitas yang ketat. Sinkronisasi data antara Direktorat Jenderal Pajak, Bea Cukai, dan Dinas Pendapatan Daerah juga penting untuk memperluas basis data wajib pajak dan mencegah penghindaran pajak.

Pada akhirnya, UU HKPD adalah sebuah instrumen yang visioner. Namun, instrumen terbaik sekalipun tidak akan bermakna tanpa kemauan politik (political will) dan kolaborasi yang tulus dari semua pihak. Sinergi pusat-daerah bukanlah tentang perintah dan instruksi, melainkan tentang kemitraan yang setara dalam sebuah ekosistem fiskal yang sehat.

Melalui kerja sama yang erat, pertukaran data yang transparan, dan komitmen pada tata kelola yang baik, cita-cita UU HKPD untuk mewujudkan keadilan fiskal dan kemandirian daerah bukanlah sebuah utopia, melainkan sebuah tujuan yang dapat digapai demi pembangunan Indonesia yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Rapat Kerja Komite IV DPD RI dengan Menteri Keuangan adalah momentum strategis untuk menyalakan kembali semangat sinergi tersebut, mengubah tantangan menjadi peluang, dan menjadikan otonomi daerah sebagai motor penggerak kemandirian bangsa.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved