Opini

Mewujudkan Pelayaran Krueng Geukueh-Malaysia:  Dari Harapan ke Aksi Nyata Kebangkitan Ekonomi Aceh

Harapan masyarakat Aceh terhadap proyek ini bersifat multidimensi, menyentuh aspek ekonomi, sosial, dan bahkan historis.

Editor: Ansari Hasyim
For Serambinews.com
Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh. 

Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh

RENCANA pembukaan jalur pelayaran langsung dari Pelabuhan Krueng Geukueh di Aceh Utara ke Pineng Malaysia bukan sekadar wacana di atas kertas. Ini adalah sebuah mimpi kolektif masyarakat Aceh untuk membuka lembaran baru pasca konflik dan pandemi, sebuah terobosan yang diharapkan dapat menjadi motor penggerak ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Namun, di balik harapan besar itu, terdapat sederet tantangan nyata yang harus dijawab dengan aksi konkret, sinergi, dan komitmen politik yang kuat. Wacana ini harus segera ditransformasikan menjadi sebuah proyek nasional yang strategis.

Lebih Dari Sekedar Infrastruktur: Sebuah Investasi Masa Depan

Harapan masyarakat Aceh terhadap proyek ini bersifat multidimensi, menyentuh aspek ekonomi, sosial, dan bahkan historis. Pertama, pemulihan ekonomi lokal. Aceh, dengan kekayaan alamnya yang melimpah, kerap terbentur pada masalah distribusi. Data menunjukkan bahwa komoditas unggulan seperti kopi Gayo, kakao, pinang, dan hasil laut segar harus menempuh rute berbelit melalui Medan atau Jakarta sebelum diekspor.

Rantai pasok yang panjang ini membuat harga menjadi tidak kompetitif dan memangkas margin keuntungan petani dan nelayan. Jalur langsung Krueng Geukueh-Malaysia berpotensi memangkas biaya logistik dan waktu tempuh secara signifikan. Bayangkan, ikan tangkapan nelayan di Lhokseumawe yang masih segar dapat sampai di pasar Malaysia dalam hitungan jam, bukan hari. Ini akan langsung meningkatkan nilai tukar dan pendapatan pelaku usaha lokal.

Kedua, penciptaan lapangan kerja dan pengurangan pengangguran. Pembukaan jalur pelayaran internasional akan menciptakan efek berantai (multiplier effect). Sektor utama seperti kepelabuhan akan membutuhkan tenaga bongkar muat, administrasi, keamanan, dan jasa logistik.

Sektor pendukung seperti UMKM, industri kreatif (seperti tenun Aceh), dan pariwisata juga akan mendapat angin segar. Yang tak kalah penting, proyek ini dapat menjadi penangkal yang efektif terhadap fenomena Tenaga Kerja Indonesia (TKI) illegal ke Malaysia. Dengan membuka lapangan kerja yang layak dan berkelanjutan di dalam negeri, harapannya minat masyarakat untuk bermigrasi secara tidak resmi akan berkurang.

Ketiga, revitalisasi sejarah dan peningkatan konektivitas. Secara historis, Aceh adalah pusat perdagangan maritim yang disegani di Selat Malaka. Jalur Krueng Geukueh-Malaysia bukan hanya soal barang, tetapi juga tentang menghidupkan kembali "jiwa" Aceh sebagai "Serambi Mekah" yang terbuka dan berdaya saing. Potensi perjalanan penumpang dapat memudahkan diaspora Aceh di Malaysia untuk pulang dan, yang utama, mendongkrak pariwisata. Kedekatan budaya dan agama antara Aceh dan Malaysia menjadi nilai tambah yang powerful untuk menarik wisatawan Malaysia yang potensial.

Menatap Realita: Hambatan yang Harus Ditaklukkan

Di seberang harapan yang membumbung tinggi, terdapat jurang hambatan yang dalam. Mengabaikannya ibarat membangun istana di atas pasir. Tantangan terberat adalah kapasitas infrastruktur Pelabuhan Krueng Geukueh itu sendiri. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pelabuhan ini saat ini lebih berfungsi untuk kapal feri penyeberangan dan kapal-kapal berukuran kecil.

Untuk melayani rute internasional dengan kapal kargo yang lebih besar dan efisien, diperlukan pengerukan (dredging) besar-besaran untuk menambah kedalaman alur pelayaran dan kolam pelabuhan. Pembangunan dermaga yang lebih panjang dan penambahan fasilitas bongkar muat modern, seperti crane yang memadai, adalah sebuah keharusan. Ini semua memerlukan investasi modal yang sangat besar, yang tidak mungkin dipikul oleh Pemerintah Aceh sendirian.

Infrastruktur pendukung juga masih menjadi titik lemah. Jalan akses menuju pelabuhan, ketersediaan gudang penyimpanan (terutama cold storage untuk produk segar), dan kawasan industri logistik masih perlu dikembangkan secara masif. Tanpa rantai dingin (cold chain) yang andal, produk perikanan dan pertanian Aceh berisiko tinggi rusak sebelum sampai di tujuan.

Hambatan non-fisik tak kalah pelik: regulasi dan birokrasi. Prosedur kepabeanan, imigrasi, dan karantina yang berbelit-belit dapat menjadi batu sandungan utama yang mematikan daya saing jalur ini. Di sinilah ujian sinergi antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat (Kementerian Perhubungan, Bea Cukai, Karantina) benar-benar diuji. Penerapan sistem One-Stop Service (OSS) yang terintegrasi dan digital adalah sebuah keniscayaan untuk menciptakan efisiensi dan kemudahan berusaha.

Di sisi hulu, kualitas dan kuantitas produk ekspor juga perlu menjadi perhatian. Pasar Malaysia menuntut pasokan yang besar, berkala, dan berkualitas konsisten. Sementara, sebagian besar petani dan nelayan Aceh masih bergerak secara tradisional dan terfragmentasi. Diperlukan pembinaan dan penguatan kelembagaan, seperti membentuk koperasi produsen yang kuat, untuk memastikan pasokan yang memadai dan standar mutu yang terpenuhi.

Peluang Emas di Tengah Tantangan

Meski berat, peluang yang terbuka justru lebih besar dan lebih strategis. Pasar Malaysia adalah pasar yang sangat potensial. Dengan populasi lebih dari  34,3 juta jiwa dan kedekatan budaya, permintaan akan produk halal, hasil laut segar, serta produk herbal dan kopi khas Aceh sangat tinggi. Ini adalah pasar yang secara natural cocok untuk produk-produk unggulan Aceh.

Posisi geostrategis Aceh di mulut Selat Malaka adalah anugerah yang tak ternilai. Selat Malaka adalah salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia. Dengan pelabuhan yang efisien dan mendalam, Krueng Geukueh berpotensi tidak hanya menjadi pintu gerbang ke Malaysia, tetapi juga berkembang menjadi hub logistik regional dan titik transit bagi kapal-kapal internasional yang melintas.

Otonomi Khusus Aceh adalah instrumen politik yang powerful. Kewenangan khusus ini dapat dimanfaatkan untuk merancang paket kebijakan fiskal yang menarik, seperti keringanan pajak bagi eksportir dan investor di kawasan pelabuhan, serta memangkas birokrasi dengan lebih lincah dibandingkan daerah lain.

Kolaborasi untuk Mewujudkan Jembatan Kesejahteraan

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved