Berita Banda Aceh

Update Revisi UUPA: Jangan Alergi dengan MoU Helsinki, Baleg DPR Gelar Raker dengan Tiga Menteri

Harus kita sadari, berulangkali sudah saya sampaikan, tidak ada UUPA tanpa MoU Helsinki. TA Khalid, Ketua Forbes Anggota DPR/DPD RI asal Aceh

Editor: mufti
COVER KORAN SERAMBI INDONESIA
HEADLINE KORAN SERAMBI INDONESIA EDISI KAMIS 20251120 
Ringkasan Berita:
  • Ketua Forum Bersama (Forbes) Anggota DPR/DPD RI asal Aceh, TA Khalid, meminta semua pihak agar tidak alergi dengan MoU Helsinki
  • Dokumen yang ditandatangani oleh Pimpinan GAM dengan perwakilan Pemerintah Indonesia di Helsinki, Finlandia itu, merupakan dasar dari lahirnya UUPA
  • Menko Polkam Djamari Chaniago menegaskan bahwa pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh bersama Baleg DPR RI dilakukan demi kesejahteraan masyarakat Aceh dan menjaga perdamaian di daerah.

Harus kita sadari, berulangkali sudah saya sampaikan, tidak ada UUPA tanpa MoU Helsinki. TA Khalid, Ketua Forbes Anggota DPR/DPD RI asal Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Ketua Forum Bersama (Forbes) Anggota DPR/DPD RI asal Aceh, TA Khalid, meminta semua pihak agar tidak alergi dengan MoU Helsinki. Karena dokumen yang ditandatangani oleh Pimpinan GAM dengan perwakilan Pemerintah Indonesia di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005 itu, merupakan dasar dari lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Pernyataan tersebut disampaikan oleh TA Khalid dalam Rapat Kerja Baleg DPR RI dengan tiga kementerian yang terkait dengan proses revisi UUPA, di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2025). Ketiga kementerian dimaksud adalah Kemenkopolkan, Kemendagri, dan Kementerian Keuangan.

“Harus kita sadari, berulangkali sudah saya sampaikan, tidak ada UUPA tanpa MoU Helsinki,” ungkap TA Khalid dalam rapat yang dibuka oleh Ketua Baleg DPR RI, Bob Hasan. Amatan Serambi dari video di akun Youtube TVR Parlemen, TA Khalid duduk diapit oleh M Nasir Djamil (PKS), Benny K Harman (Demokrat), dan Muslim Ayub (Nasdem).

Benny K Harman yang dalam rapat sebelumnya menjadi sorotan karena pernyataannya “jangan sedikit-sedikit MoU Helsinki”, terlihat beberapa kali mengangguk-angguk saat TA Khalid memberikan penjelasan tentang posisi penting MoU Helsinki dalam penyusunan UUPA. 

“Ingin saya sampaikan di forum untuk menjadi iktibar bagi kita semua,” kata TA Khalid dalam raker tersebut yang disambut anggukan oleh Politisi Partai Demokrat, Benny K Harman.

TA Khalid kemudian membacakan pembukaan pertama pada MoU Helsinki kepada para forum dalam raker tersebut. Dimana dalam MoU Helsinki pembukaan pertama disebutkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua.

Pada alinea kedua juga dijelaskan bahwa para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi, sehingga Pemerintah rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam NKRI dan konstitusi RI. "Jadi MoU ini untuk menjawab secara konkrit Aceh dalam NKRI. Sehingga timbullah kesepakatan damai. Ini menjadi poin dalam perjanjian tersebut," jelas Khalid.

Selain UU baru tentang penyelenggaran Pemerintah Aceh (UUPA saat ini), akan didasarkan pada prinsip yang harus menjadi rujukan dalam revisi UUPA nanti.

Dimana, Aceh akan melaksanakan kewenangan pada semua sektor publik yang akan dilaksanakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan. Kecuali, bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional dan ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman serta kebebasan beragama.

"Sebenarnya ini menjadi acuan pokok dan menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia untuk Aceh. Kendatipun dalam poin lain disebutkan setiap yang menyangkut dengan ini harus mendapat persetujuan. Makanya sesuai dengan pasal 18 UUD, memberikan kewenangan untuk mengatur kekhususan maka lahirnya UUPA," jelasnya.

Seperti diberitakan, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Penyusunan RUU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) pada, Rabu (12/11/2025) lalu, Benny K. Harman menyoroti akuntabilitas penggunan Dana Otonomi Khusus (Otsus) dalam dua dekade terakhir. Ia menilai, permintaan perpanjangan dana tersebut kerap disertai narasi yang terus menerus merujuk pada peristiwa damai Helsinki 2005.

"Jadi mohon maaf, jangan teman-teman Aceh sedikit-sedikit Helsinki, sedikit-sedikit Helsinki. Dua puluh tahun ini bikin apa. Dan saya mohon maaf janganlah terus menerus dibawa Helsinki. Itu menjadi duka kita lama. Sama kita pak, tadi saya katakan, duka Aceh duka kami juga", ujar Benny dalam RDPU yang mengundang empat tokoh Aceh yakni, Andi HS, Mustafa Abubakar, Munawarliza Zainal, dan Amrizal J Prang. 

Pernyataan Benny K Harman ini mendapat tanggapan luas di Aceh, termasuk dari Guru Besar USK Prof Ahmad Humam Hamid dan pengamat politik Risman Rachman. Mereka berpendapat, menyuruh orang Aceh berhenti menyebut MoU Helsinki, sama halnya dengan menyuruh orang Aceh berhenti mengingat jasa SBY dan JK, serta para pihak lainnya dalam proses damai Aceh.

Kewenangan Khusus

Dalam rapat kemarin, TA Khalid juga menyampaikan terima kasih kepada Kemendagri, Menko Polhukam dan Kemenkeu. Ia menjelaskan, UUPA tentu memiliki kekurangan dan ada yang harus diperbaiki. Hal tersebut menjadi dasar dilakukannya revisi UUPA.

"Karena kalau revisinya biasa-biasa saja, untuk apa direvisi. Menyangkut dengan dana otsus, mohon maaf saya bukan tidak sependapat dengan Bang Muslim (Muslim Ayub), saya harus. Tapi saya pertegas, kami di sini bukan minta dana otsus. Kami minta kewenangan khusus," tegasnya dalam forum rapat tersebut.

Pasalnya akibat adanya kewenangan khusus, tentu pemerintah wajib membiayai kekhususan tersebut. "Masa saya disuruh berangkat ke Jeddah tapi tidak diberikan tiket. Masa saya diberikan hak khusus, tapi tidak dibiayai khusus," kata TA Khalid selaku anggota Baleg DPR RI, memberi perumpamaan.

Pasalnya jika bicara anggaran ujar TA Khalid, selama pemerintah memberikan kewenangan khusus untuk Aceh, maka selama itu pula pemerintah wajib memberikan dana untuk Aceh. Terkait masalah implementasi kurang maksimal di lapangan, TA Khalid mengajak semua pihak agar melakukan advokasi secara bersama-sama.

Ia mencontohkan selama 20 tahun terakhir, Aceh tidak pernah membuat anggaran sendiri tanpa koordinasi dahulu dengan pusat. Setiap APBA yang disahkan juga harus koordinasi terlebih dahulu.

"Jadi ada evaluasi, tidak berdiri sendiri. Uang otsus masuk Aceh, bikin suka-suka DPRA, bukan seperti itu. Kalau ada korupsi tangkap," tegasnya.

Tentu dalam perjalanan mengalami kekurangan, sehingga hal tersebut kata TA Khalid, perlu dioptimalkan bersama. Karenanya ia mengajak agar semua pihak dalam forum tersebut, dapat mengoptimalkan revisi tersebut agar lebih maksimal.

Ia mencontohkan, pada pasal 7 UUPA yang menyangkut dengan normal. "Bayangkan kita memberikan UU kewenangan khusus, disaat mereka bikin qanun kan harus ada evaluasi dari Mendagri. Jangan diberi timbangan nasional, nggak jalan, karena dia kewenangan khusus. Tujuan revisi ini tidak lain, untuk memperkuat perdamaian dan memperkuat kewenangan,"pungkasnya.(nal/iw)

Menko Polkam Sorot Dua Pasal

Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Djamari Chaniago menegaskan bahwa pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dilakukan demi kesejahteraan masyarakat Aceh dan menjaga perdamaian di daerah.

Hal itu disampaikan Djamari usai menghadiri rapat kerja (raker) dengan Baleg DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2025). Ia menekankan bahwa pembahasan revisi UU Aceh akan ditindaklanjuti melalui rapat-rapat lanjutan untuk memperinci mekanisme evaluasi dan perbaikan.

Menurut Djamari, dari usulan DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) terdapat delapan pasal perubahan dan satu pasal tambahan. Namun, dari perspektif Kemenko Polkam, terdapat dua pasal yang memerlukan perhatian khusus, yakni Pasal 11 dan Pasal 160.

Pasal 11: Kewenangan Pusat dan Daerah

Djamari menjelaskan, usulan perubahan Pasal 11 berkaitan dengan pengaturan kewenangan antara pemerintah Aceh dan pemerintah pusat. Usulan DPRA adalah mengalihkan kewenangan sepenuhnya kepada pemerintah Aceh dan menetapkannya dalam Qanun Aceh, tanpa mencantumkan peran pemerintah pusat dalam pembinaan maupun pengawasan.

Ia menilai hal ini sangat strategis karena berdampak langsung pada pola hubungan pusat-daerah, efektivitas koordinasi pemerintahan, serta tata kelola urusan pemerintahan di Aceh. Saat ini, pemerintah pusat masih memegang peran sebagai penetap norma, standar, dan prosedur, serta memiliki kewenangan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan di Aceh maupun kabupaten/kota lainnya.

"Perubahan konstruksi tersebut pada dasarnya memperluas kewenangan regulasi dan pengawasan pemerintah Aceh. Namun perlu dikaji bersama secara cermat agar tidak menimbulkan tumpang tindih dengan ketentuan peraturan perundang-undangan nasional," jelas Djamari.

Ia menambahkan, pengawasan tidak bersifat absolut dan tetap berada dalam kerangka sistem pemerintahan nasional yang mengedepankan prinsip checks and balances serta hierarki kewenangan. “Artinya, tidak seluruh urusan dapat diawasi dan dikendalikan sepihak oleh Pemerintah Aceh,” tegasnya.

Pasal 160: Sumber Daya Alam

Sementara itu, substansi perubahan Pasal 160 terkait pengelolaan sumber daya alam telah dikoordinasikan melalui PP Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh. Regulasi tersebut menjadi landasan pengelolaan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh, termasuk mekanisme joint management, penetapan badan pelaksana bersama, serta persetujuan kontrak kerja yang wajib dilakukan secara kolektif.

Pemerintah menilai bahwa usulan perluasan ruang lingkup pengaturan, mulai dari industri hulu hingga hilir serta wilayah ZEE, tetap merupakan kewenangan pemerintah pusat sesuai peraturan perundang-undangan. “Oleh karenanya, penyesuaian dapat ditempuh melalui optimalisasi implementasi PP Nomor 23 Tahun 2015,” ujar Djamari.(kompas.com)

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved