BBM Ilegal di Aceh

Menguak Asal-usul BBM Ilegal di Kios Pengecer

PRAKTIK penjualan bensin eceran di kios menyimpan beragam cerita. Pedagang di kawasan Ulee Kareng, Banda Aceh, Fuddin (nama samaran)

Editor: mufti
SERAMBI/HENDRI
BBM ILEGAL - Seorang mekanik salah satu bengkel di Banda Aceh sedang memperbaiki sepeda motor yang rusak akibat menggunakan bahan bakar minyak (BBM) ilegal, Kamis (21/11/2025). Beberapa tahun terakhir, BBM ilegal marak beredar Aceh yang dipasarkan melalui kios-kios pengecer. 
Ringkasan Berita:
  • Para agen liar membeli Pertalite di SPBU menggunakan mobil lalu isi tangki dikuras kembali untuk dipasarkan ke kios pengecer dan pula bensin yang berasal dari sumur minyak Aceh Timur.
  • Bensin Oplosan ini dihasilkan dari mencampurkan Pertalite dengan minyak sumur tradisional Aceh Timur, dan bahan lain
  • Dari rangkaian penuturan para pedagang kios, tampak jelas bahwa peredaran bensin eceran bukan lagi sekadar aktivitas dagang skala kecil, melainkan telah membentuk pola jaringan yang terorganisir.

PRAKTIK penjualan bensin eceran di kios-kios menyimpan beragam cerita. Pedagang di kawasan Ulee Kareng, Banda Aceh, Fuddin (nama samaran), menceritakan bahwa selama ini terdapat tiga jenis bensin yang beredar di kios-kios pengecer.

Pertama, bensin yang berasal dari SPBU Pertamina (Pertalite dan Pertamax). Kedua, bensin dari sumur minyak di Aceh Timur. Dan ketiga, bensin oplosan, yakni campuran minyak Pertamina (Pertalite) dan minyak sumur tradisional.

BBM Pertamina

Fuddin sendiri mengaku hanya menjual bensin yang dibeli dari SPBU, yaitu Pertalite. Ia mendapatkan pasokan dari agen liar atau kadang membeli sendiri di SPBU Pertamina. Para agen liar itu biasanya membeli Pertalite menggunakan mobil, lalu setelah tangki penuh, isi tangki dikuras kembali untuk dipasarkan ke kios-kios pengecer menggunakan jeriken.

Agen liar itu membeli Pertalite di SPBU seharga Rp 10.000 per liter, lalu menawarkan ke kios pengecer Rp 11.000, dan selanjutnya kios menjual kembali kepada masyarakat seharga Rp 12.000 per liter.

Sesekali Fuddin membeli sendiri di SPBU, baik menggunakan mobil maupun mengisi ke jeriken. Untuk pengisian ke jeriken diakuinya, membutuhkan ‘kerja sama’ dengan petugas SPBU, misalnya dengan memberikan uang tambahan Rp 5.000 hingga Rp 10.000.

Pedagang kios lainnya juga mengungkapkan modus serupa dalam pengumpulan Pertalite dari SPBU. Selain menggunakan mobil, para agen liar juga memanfaatkan sepeda motor dengan tangki yang telah dimodifikasi agar berkapasitas lebih besar.

Penggunaan motor dinilai lebih praktis karena pembelian di SPBU tidak menggunakan barcode, berbeda dengan mobil yang wajib dipindai. Pertalite yang berhasil dikumpulkan kemudian dijual kembali kepada pedagang pengecer dengan harga Rp 11.000 per liter.

Selanjutnya, pedagang kios menjualnya ke konsumen dengan harga Rp 12.000 hingga Rp 13.000 per liter. Dalam sekali pasokan, seorang agen bisa menyalurkan sekitar 30 liter Pertalite ke satu kios pengecer.

Minyak Aceh Timur

Selain bensin dari SPBU, ada pula bensin yang berasal dari sumur minyak Aceh Timur. Fuddin mengaku pernah ditawari minyak tersebut seharga Rp 9.000 per liter, namun ia menolak karena khawatir kualitasnya buruk dan dapat membuat pelanggan enggan membeli bensin di kiosnya.

Minyak dari Aceh Timur biasanya diangkut ke Banda Aceh dalam drum menggunakan truk, kemudian dipindahkan ke jeriken untuk dipasarkan. “Saya pernah melihat mereka memasarkannya menggunakan mobil pikap Suzuki Espass di kawasan Limpok (Aceh Besar)” ujarnya.

Bensin Oplosan

Fuddin memastikan bahwa bensin oplosan juga beredar di pasaran. Bensin ini dihasilkan dari mencampurkan Pertalite dengan minyak sumur tradisional Aceh Timur, dan bahan-bahan lainnya. Menurutnya, keuntungan yang didapat agen dari menjual bensin oplosan ini lebih besar daripada menjual bensin dari Pertamina atau dari sumur minyak.

Jaringan Terorganisir

Dari rangkaian penuturan para pedagang kios, tampak jelas bahwa peredaran bensin eceran bukan lagi sekadar aktivitas dagang skala kecil, melainkan telah membentuk pola jaringan yang terorganisir. Mata rantai distribusinya berjalan rapi, berulang, dan melibatkan banyak pihak, mulai dari agen pengumpul, oknum petugas SPBU, hingga pedagang eceran di tingkat akhir.

Agen-agen liar menjadi penghubung utama dalam rantai ini. Mereka tidak bekerja secara spontan, tetapi memiliki sistem sendiri. Membeli Pertalite menggunakan mobil atau sepeda motor yang telah dimodifikasi khusus untuk menampung volume besar, kemudian mengurasnya kembali ke jeriken untuk dipasarkan menunjukkan adanya operasi yang terencana.

Indikasi lain terlihat dari praktik kerja sama dengan oknum petugas SPBU untuk pengisian jeriken. Untuk mendapatkan bensin dengan mudah, para agen cukup memberi uang tambahan agar jeriken mereka diisi tanpa mengikuti prosedur resmi. Pembiaran seperti ini umumnya tidak dapat terjadi tanpa pola yang telah berlangsung lama dan melibatkan lebih dari satu orang.

Selain itu, jalur distribusi minyak dari sumur tradisional Aceh Timur juga menunjukkan pola logistik terstruktur. Minyak diangkut dengan drum ke Banda Aceh menggunakan truk, lalu dipindahkan ke jeriken dan dipasarkan menggunakan kendaraan tertentu seperti mobil pikap Espass. Alur logistik ini menandakan adanya koordinasi antarpelaku yang tidak mungkin berjalan tanpa organisasi informal yang mengatur pergerakan barang.

Keberadaan bensin oplosan juga memperkuat dugaan adanya sindikat. Proses mencampurkan Pertalite dengan minyak sumur tradisional dan bahan lain membutuhkan pengetahuan, tempat, serta jaringan distribusi yang paham cara menjual produk ini tanpa menarik perhatian. 

Semua itu menunjukkan bahwa peredaran bensin eceran di Banda Aceh tidak sepenuhnya berjalan alami, melainkan menunjukkan pola operasi sindikat yang memanfaatkan celah pengawasan di SPBU dan kebutuhan pedagang kecil akan pasokan murah. 

Jaringan ini bekerja dalam senyap, namun jejak-jejaknya tampak melalui sistem distribusi yang teratur, keterlibatan banyak pihak, dan potensi keuntungan besar yang menggerakkan aktivitas mereka.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Berita Terkait: #BBM Ilegal di Aceh
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved