Berita Internasional

Gelombang Demo Pecah di Perancis Usai Presiden Macron Latik PM Baru, 300 Orang Ditangkap

Setelah pelantikannya, para pengunjuk rasa turun ke jalan, membakar barikade dan bentrok dengan polisi pada hari Rabu. Mereka menentang...

Editor: Nurul Hayati
Twitter
ILUSTRASI - Presiden Prancis Emmanuel Macron ditampar pria tak dikenal. Gelombang demo pecah di sejumlah kota di Perancis setelah Presiden Emmanuel Macron melantik Perdana Menteri (PM) yang baru serta melakukan pemotongan anggaran. 

Selain itu, mereka menahan setidaknya 200 orang di Paris dan 100 orang di kota lainnya.

"Sama saja masalahnya; sama saja, Macron-lah masalahnya, bukan para menterinya," kata Fred, seorang pengurus serikat pekerja CGT di perusahaan transportasi umum Paris RATP, seraya menambahkan, "Dia harus mundur."

Gelombang protes terjadi di berbagai wilayah, termasuk di Nantes, di mana massa memblokir jalan dengan membakar ban dan tempat sampah, sementara di Rennes sebuah bus dibakar. 

Di Montpellier, para demonstran mendirikan barikade dan membentangkan spanduk bertuliskan “Macron mengundurkan diri”, sehingga polisi terpaksa menembakkan gas air mata. 

Di Paris, sekelompok pemuda mencoba menghalangi pintu masuk sekolah menengah, dan bentrokan pecah di sekitar pusat perbelanjaan Châtelet. 

Polisi bersama pemadam kebakaran bekerja keras membersihkan barikade yang terbakar dan memadamkan api di sebuah gedung.

Gerakan ini banyak dibandingkan dengan protes Rompi Kuning pada 2018–2019 yang dipicu kenaikan pajak dan biaya hidup, namun ada perbedaan mencolok.

Menurut sosiolog Antoine Bristielle, kali ini mayoritas pengunjuk rasa adalah anak muda. 

Mereka hadir dengan visi akan dunia yang lebih adil, lebih setara, dan sistem politik yang lebih baik. 

Seperti disampaikan oleh Alice Morin (21), seorang siswi yang mengatakan generasi muda merasa diwarisi dunia yang rusak oleh generasi tua, sehingga kini mereka yang harus berjuang mengubah keadaan.

"Semua ini tidak baik," kata Chloe (25), seorang mahasiswa yang berdemonstrasi di kota Toulouse, Prancis selatan. 

"Kelas pekerjalah yang paling menderita. Seharusnya ada cara yang lebih baik," tambahnya, seperti dikutip dari France24.

Cedric Brun (46), seorang pekerja otomotif dan ketua serikat pekerja lokal di kota utara Valenciennes, mengatakan ia kecewa melihat para pengunjuk rasa dengan mudah dihalau oleh polisi.

"Saya pikir jumlah kami akan lebih banyak," katanya, seraya menambahkan, "Sayangnya, jumlah revolusioner di Facebook lebih banyak daripada di dunia nyata."

Selain itu, pelantikan perdana menteri kelima dalam dua tahun terakhir menambah kemarahan masyarakat karena menganggapnya sebagai ketidakstabilan politik.

Halaman
1234
Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved