Feature

Kisah Diaspora Aceh di Bali, Dedi Ramlan Alumnus SMA Sigli yang Kini Jadi Konsultan Kebun Binatang

Ketiga perantau ini adalah bagian dari sekitar 500-an perantau asal Aceh yang bernaung dalam paguyuban Masyarakat Aceh Bali

Editor: mufti
SERAMBI/ZAINAL ARIFIN
DIASPORA ACEH DI BALI - Dari kiri ke kanan: Hendra Meubel asal Lhoksukon Aceh Utara, Dedi Ramlan asal Sigli Pidie, Zainal Arifin (Pemred Serambi Indonesia), dan Azhar asal Peureulak Aceh Timur, saat berbincang di warung Mie Aceh Pondok Bangladesh, Kota Denpasar, Bali, 27 September 2025. 

Aceh, menurut Dedi, termasuk provinsi yang belum memiliki kebun binatang berstandar nasional. Padahal, kehadirannya bisa menjadi benteng terakhir bagi satwa langka, sekaligus membuka lapangan kerja dan mendorong perekonomian lokal. 

Menurut Dedi Ramlan, kebun binatang bukan sekadar tempat rekreasi. Lebih dari itu, ia berfungsi sebagai sarana edukasi, terutama bagi anak-anak untuk mengenal berbagai jenis hewan dan tumbuhan, serta membangun kedekatan dengan alam. 

Kebun binatang juga benteng menjadi yang terakhir bagi kelangsungan hidup satwa liar dan langka agar tidak punah. Selain aspek edukatif dan konservasi, kebun binatang berperan penting dalam penelitian ilmiah dan pelestarian lingkungan. 

Yang terpenting, keberadaan kebun binatang mampu menciptakan lapangan kerja di sektor pariwisata, pendidikan, dan konservasi, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi lokal melalui kunjungan wisatawan. “Makanya, Aceh perlu memiliki minimal satu kebun binatang yang berstandar nasional. Tempat ini bisa menjadi perlindungan bagi hewan-hewan yang diselamatkan dari perdagangan ilegal atau habitat yang rusak,” ujar Dedi.

Saree atau Seulimeum

Ketika ditanya di mana lokasi yang cocok untuk membangun kebun binatang di Aceh, Dedi menyebut wilayah Saree dan Seulimeum sebagai pilihan ideal. Kedua daerah ini memiliki iklim yang sejuk dan akses yang mudah dari Banda Aceh, apalagi kini tersedia jalur tol yang menghubungkan Jantho dan Seulimeum.

Takengon juga disebut sebagai alternatif menarik karena kondisi alam dan suhu dinginnya sangat cocok untuk kenyamanan satwa. Namun, jaraknya yang cukup jauh dari Banda Aceh menjadi tantangan tersendiri dari sisi aksesibilitas.

Dedi mengungkapkan bahwa dirinya pernah diajak berdiskusi oleh seorang gubernur Aceh pasca tsunami yang tertarik membangun kebun binatang. Saat itu, ia sudah menyatakan kesiapannya untuk pulang kampung dan membantu mempersiapkan segala kebutuhan teknis. 

Sayangnya, rencana tersebut tidak pernah terealisasi. “Kalau sekarang ada yang mau berinvestasi, Insya Allah saya siap menjadi konsultan untuk menghadirkan kebun binatang sekelas Bali Zoo di Aceh,” tegasnya.

Dampak ekonomi dan sosial

Setiap kali membuka destinasi wisata seperti Bali Zoo dan Bali Farm House, Dedi memastikan bahwa warga lokal direkrut sebagai tenaga kerja. Jumlahnya bisa mencapai ratusan orang. 

“Kehadiran kebun binatang berstandar internasional juga akan mendongkrak perekonomian masyarakat sekitar melalui berbagai aktivitas pendukung seperti kuliner, penginapan, transportasi, dan kerajinan tangan,” ujarnya. 

Keberadaan Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda di Aceh Besar, lanjut Dedi, memiliki peluang besar untuk mempromosikan kebun binatang kepada wisatawan dari Malaysia dan Singapura. Seperti halnya di Bali Zoo, kebun binatang dan farm house di Aceh nantinya juga bisa dilengkapi dengan hotel dan restoran berbintang, menjadikannya destinasi wisata terpadu yang menarik dan berdaya saing.

Kisah Dedi Ramlan, alumni SMAN 1 Sigli, Pidie, bukan sekadar cerita sukses perantau. Ia adalah cermin dari potensi besar yang dimiliki Aceh jika diberi ruang untuk tumbuh. Dari Blok Sawah Sigli ke Bali, dari mimpi kecil ke proyek besar, Dedi menunjukkan bahwa visi dan kerja keras bisa mengubah wajah pariwisata--dan mungkin, masa depan ekowisata Aceh.(zainal arifin)

 

 

 

Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved