Feature

Kisah Diaspora Aceh di Bali, Dedi Ramlan Alumnus SMA Sigli yang Kini Jadi Konsultan Kebun Binatang

Ketiga perantau ini adalah bagian dari sekitar 500-an perantau asal Aceh yang bernaung dalam paguyuban Masyarakat Aceh Bali

Editor: mufti
SERAMBI/ZAINAL ARIFIN
DIASPORA ACEH DI BALI - Dari kiri ke kanan: Hendra Meubel asal Lhoksukon Aceh Utara, Dedi Ramlan asal Sigli Pidie, Zainal Arifin (Pemred Serambi Indonesia), dan Azhar asal Peureulak Aceh Timur, saat berbincang di warung Mie Aceh Pondok Bangladesh, Kota Denpasar, Bali, 27 September 2025. 

Kisah ini berawal dari pertemuan saya (penulis) dengan tiga perantau asal Aceh di Bali, di warung Mie Aceh Pondok Bangladesh, Kota Denpasar, Bali, akhir September 2025. Tiga pria asal Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur ini, bertemu dalam suasana hangat dan penuh nostalgia. Mereka berkisah tentang awal mula hijrah dari kampung halaman, hingga kemudian bertemu dan bersatu dalam ikatan kuat komunitas di perantauan. 

ADALAH Dedi Ramlan asal Sigli Pidie, Hendra Meubel asal Lhoksukon Aceh Utara, dan Azhar asal Peureulak Aceh Timur, saling bertukar cerita tentang tanah kelahiran dan perjalanan hidup mereka di Pulau Dewata. Masing-masing menyimpan kisah yang menarik tentang kisah perantauan mereka yang unik.

Ketiga perantau ini adalah bagian dari sekitar 500-an perantau asal Aceh yang bernaung dalam paguyuban Masyarakat Aceh Bali (MAB). Mereka terlibat aktif dalam berbagai aksi dan kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilaksanakan oleh MAB dan Musola Teuku Umar atau juga kerap disebut Meunasah Aceh di Bali.

Namun, karena waktu yang singkat, sebab besok pagi saya harus kembali ke Aceh via Jakarta, maka pada malam itu saya hanya sempat merekam kisah Dedi Ramlan. Pria berusia 56 ini adalah anak Blok Sawah, Kota Sigli, Pidie, yang kini menjadi salah satu tokoh penting dalam dunia pariwisata Bali.

Dedi Ramlan menamatkan pendidikan di SMA Negeri 1 Sigli pada tahun 1987. Dengan semangat merantau, ia melanjutkan studi ke Jakarta, masuk ke Akademi Perhotelan dan Pariwisata milik Yayasan Sahid Jaya--kini dikenal sebagai Politeknik Sahid. 

Kampus ini menjadi pijakan awal Dedi dalam memahami dunia perhotelan, dengan kurikulum yang tekanan keahliannya di bidang perhotelan, kuliner, dan pengelolaan pariwisata. Setelah lulus, Dedi mendapat pekerjaan di sebuah restoran yang merupakan bagian dari grup hotel di kawasan Legian, Bali. 

Tahun 1991 menjadi titik awal ia menetap di pulau ini. Kariernya terus menanjak, dari Grand Hyatt hingga destinasi wisata di Ubud, tempat ia mulai memperkenalkan dunia konservasi dan pengelolaan kebun binatang.

Dari Bali Zoo hingga Farm House

Perjalanan hidup membawa Dedi Ramlan ke Bali Zoo, kebun binatang pertama di Bali yang terletak di Jalan Raya Singapadu, Sukawati, Gianyar. Berkat ketekunannya, Dedi kini dipercaya sebagai Manajer Operasional dan menjadi salah satu tokoh kunci dalam pengembangan fasilitas Bali Zoo. “Alhamdulillah, saat ini Bali Zoo merupakan salah satu kebun binatang terbaik di Indonesia,” ujarnya.

Bali Zoo kini menampung lebih dari 600 satwa dari 56 spesies, tersebar di area seluas 11 hektare lebih dengan hutan yang rimbun dan tropis. Pengalaman interaktif seperti sarapan bersama orangutan dan bermain lumpur dengan gajah menjadikan tempat ini favorit wisatawan domestik maupun mancanegara.

Sukses memimpin Bali Zoo, membuat Dedi dipercaya oleh manajemen untuk membangun proyek baru di kawasan dataran tinggi Bedugul, Kabupaten Tabanan. “Kalau di Aceh, suasananya mirip Takengon,” kata Dedi, menggambarkan udara sejuk dan lanskap pegunungan di Bedugul.

Proyek baru milik Bali Zoo ini bernama Bali Farm House--destinasi agrowisata keluarga yang menggabungkan interaksi dengan hewan ternak dan keindahan alam.  Di sini, pengunjung bisa memberi makan kelinci, kambing, domba, hingga alpaka, binatang eksotis dari Amerika Selatan.  Ada juga restoran, arena bermain, dan hotel dengan 40 kamar yang siap menyambut wisatawan.

Sebagai konsultan, Dedi bertanggung jawab atas pembangunan lanskap, staf pelatihan, dan pengembangan konsep wisata. Sejak viral pada tahun 2023, Bali Farm House menjadi magnet baru di Bali, menarik ribuan pengunjung dari Pulau Jawa hingga turis asing.

Mimpi Besar untuk Aceh

Meski telah menetap di Bali selama lebih dari 30 tahun, Dedi tak pernah melupakan kampung halamannya. Ia melihat peluang besar untuk menghadirkan kebun binatang representatif bertaraf internasional di Aceh. “Tujuan kebun binatang bukan hanya sekedar rekreasi, tapi juga edukasi, konservasi, dan penelitian,” jelasnya.

Aceh, menurut Dedi, termasuk provinsi yang belum memiliki kebun binatang berstandar nasional. Padahal, kehadirannya bisa menjadi benteng terakhir bagi satwa langka, sekaligus membuka lapangan kerja dan mendorong perekonomian lokal. 

Menurut Dedi Ramlan, kebun binatang bukan sekadar tempat rekreasi. Lebih dari itu, ia berfungsi sebagai sarana edukasi, terutama bagi anak-anak untuk mengenal berbagai jenis hewan dan tumbuhan, serta membangun kedekatan dengan alam. 

Kebun binatang juga benteng menjadi yang terakhir bagi kelangsungan hidup satwa liar dan langka agar tidak punah. Selain aspek edukatif dan konservasi, kebun binatang berperan penting dalam penelitian ilmiah dan pelestarian lingkungan. 

Yang terpenting, keberadaan kebun binatang mampu menciptakan lapangan kerja di sektor pariwisata, pendidikan, dan konservasi, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi lokal melalui kunjungan wisatawan. “Makanya, Aceh perlu memiliki minimal satu kebun binatang yang berstandar nasional. Tempat ini bisa menjadi perlindungan bagi hewan-hewan yang diselamatkan dari perdagangan ilegal atau habitat yang rusak,” ujar Dedi.

Saree atau Seulimeum

Ketika ditanya di mana lokasi yang cocok untuk membangun kebun binatang di Aceh, Dedi menyebut wilayah Saree dan Seulimeum sebagai pilihan ideal. Kedua daerah ini memiliki iklim yang sejuk dan akses yang mudah dari Banda Aceh, apalagi kini tersedia jalur tol yang menghubungkan Jantho dan Seulimeum.

Takengon juga disebut sebagai alternatif menarik karena kondisi alam dan suhu dinginnya sangat cocok untuk kenyamanan satwa. Namun, jaraknya yang cukup jauh dari Banda Aceh menjadi tantangan tersendiri dari sisi aksesibilitas.

Dedi mengungkapkan bahwa dirinya pernah diajak berdiskusi oleh seorang gubernur Aceh pasca tsunami yang tertarik membangun kebun binatang. Saat itu, ia sudah menyatakan kesiapannya untuk pulang kampung dan membantu mempersiapkan segala kebutuhan teknis. 

Sayangnya, rencana tersebut tidak pernah terealisasi. “Kalau sekarang ada yang mau berinvestasi, Insya Allah saya siap menjadi konsultan untuk menghadirkan kebun binatang sekelas Bali Zoo di Aceh,” tegasnya.

Dampak ekonomi dan sosial

Setiap kali membuka destinasi wisata seperti Bali Zoo dan Bali Farm House, Dedi memastikan bahwa warga lokal direkrut sebagai tenaga kerja. Jumlahnya bisa mencapai ratusan orang. 

“Kehadiran kebun binatang berstandar internasional juga akan mendongkrak perekonomian masyarakat sekitar melalui berbagai aktivitas pendukung seperti kuliner, penginapan, transportasi, dan kerajinan tangan,” ujarnya. 

Keberadaan Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda di Aceh Besar, lanjut Dedi, memiliki peluang besar untuk mempromosikan kebun binatang kepada wisatawan dari Malaysia dan Singapura. Seperti halnya di Bali Zoo, kebun binatang dan farm house di Aceh nantinya juga bisa dilengkapi dengan hotel dan restoran berbintang, menjadikannya destinasi wisata terpadu yang menarik dan berdaya saing.

Kisah Dedi Ramlan, alumni SMAN 1 Sigli, Pidie, bukan sekadar cerita sukses perantau. Ia adalah cermin dari potensi besar yang dimiliki Aceh jika diberi ruang untuk tumbuh. Dari Blok Sawah Sigli ke Bali, dari mimpi kecil ke proyek besar, Dedi menunjukkan bahwa visi dan kerja keras bisa mengubah wajah pariwisata--dan mungkin, masa depan ekowisata Aceh.(zainal arifin)

 

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved