Ledakan di SMAN 72

Korban Ledakan SMAN 72 Jakarta Bertambah Jadi 96 Orang, 29 Masih Dirawat, Pelaku Sudah Sadar

"Ada kemungkinan pihak keluarga atau tim medis melakukan rujukan agar korban mendapat pengobatan yang lebih memadai," ucap Budi.

Editor: Faisal Zamzami
Istimewa
KONDISI KORBAN LEDAKAN -- Suasana haru menyelimuti Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Islam Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Jumat (7/11) sore. Tangis dan kepanikan tampak di antara kerumunan keluarga dan rekan siswa SMAN 72 Jakarta yang datang silih berganti mencari kabar sanak saudara mereka. 

Adapun status terduga pelaku ledakan di SMAN 72 Jakarta ialah Anak yang Berhadapan dengan Hukum.

Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.


Dengan demikian, kepolisian melibatkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam kasus ini.

"Penyelidikan dan penanganan peristiwa ini Polri melibatkan KPAI dan tim trauma healing, mengingat adalah korban dan yang diduga melakukan suatu perbuatan adalah anak yang berhadapan dengan hukum. Artinya masih dianggap berstatus anak," ucap Budi. (m31)

Dipicu dari Bullying

Ledakan di masjid SMAN 72 di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat (7/11/2025) diduga dilakukan oleh siswa sekolah tersebut.

Polisi menyebut terduga pelaku tengah menjalani perawatan intensif di ruang ICU salah satu rumah sakit dan memastikan kondisinya berangsur stabil setelah sempat mengalami luka di bagian kepala.

Polisi juga menetapkan status terduga pelaku saat ini adalah anak berhadapan dengan hukum (ABH).

Terkait kabar yang menyebutkan bahwa siswa pelaku peledakan adalah korban bullying atau perundungan, polisi menyebut masih mendalaminya termasuk motif peledakan.

Pakar psikologi forensik yang juga konsultan di Yayasan Lentera Anak, Reza Indragiri Amriel mengatakan peledakan di SMAN 72 diasumsikan berhubungan dengan bullying berdasarkan narasi yang sudah beredar luas.

"Dari kerja-kerja saya di sejumlah organisasi perlindungan anak, saya harus katakan bahwa peristiwa di SMAN 72 adalah satu bukti tambahan tentang bagaimana kita lagi-lagi terlambat menangani perundungan," kata Reza kepada WartaKotalive.com melalui pesan tertulisnya, Sabtu (8/11/2025).

Keterlambatan itu, kata Reza membuat korban, setelah menderita sekian lama, akhirnya bertarung sendirian dan dalam waktu sekejap bergeser statusnya menjadi pelaku kekerasan, pelaku brutalitas, dan julukan-julukan berat sejenis lainnya. 

"Korban bullying acap mengalami viktimisasi berulang. Viktimisasi pertama saat dia dirundung teman-temannya. Viktimisasi kedua terjadi saat korban mencari pertolongan. Oleh pihak-pihak yang semestinya memberikan bantuan, korban justru diabaikan, masalahnya dianggap sepele dan biasa, dipaksa bertahan dan cukup berdoa, dst," papar Reza.

Andai mereka melapor ke polisi, misalnya, kata Reza, polisi pun boleh jadi memaksa korban untuk memaafkan pelaku dan secara simplistis menyebutnya sebagai restorative justice. 

"Sehingga, terjadilah viktimisasi ketiga," ujar Reza.

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved