Human Interest
Cerita Hariyanto, Si Preman yang Pilih jadi Penggali Kubur, Masa Kelam Hingga Ketulusan Hidup
Di antara rimbun pepohonan dan deretan nisan yang berjejer rapi, tampak seorang pria berkemeja lusuh sedang menyapu daun-daun kering di Tempat
“Enggak mau saya. Kalau dikasih, syukur. Kalau tidak, ya sudah.”
Namun pekerjaan itu tak selalu mulus. Duka membuat orang rapuh. Rapuh bikin orang mudah marah.
“Ada saja yang salah. Daun jatuh satu saja bisa dimarahin,” katanya sambil tertawa kecil, meski sorot matanya menunjukkan pernah ada luka yang disimpan.
Meski begitu, ia tak pernah membalas atau mengeluh.
“Sedih sih... tapi saya tahu orang lagi kehilangan. Saya cuma bantu.”
Hariyanto tidak banyak bicara tentang dirinya, sampai ia menyinggung masa lalunya.
Dulu, hidupnya jauh dari makam, jauh dari ketenangan.
Ia menggembara, mengamen, minum, berpindah-pindah tanpa arah.
Hingga suatu hari ia teringat pesan kakeknya yang juga seorang penjaga makam.
“Tidak semua orang bisa jadi juru kunci. Banyak yang sanggup bekerja, tapi tidak semua melakukannya dengan hati.”
Kalimat itu, ia percaya, bukan nasihat biasa tapi panggilan.
Ketika memutuskan menjalani jalan ini, ia pernah ditantang istrinya.
“Mending kamu nakal, atau kamu kerja di makam walau enggak dapat apa-apa?”
Saat itu, ia memilih makam.
Kini, ia merasa justru di sinilah ia menemukan dirinya. Ia kehilangan banyak teman, kehilangan dunia yang ramai, tapi ia menemukan ketenangan yang tak ia temukan ketika hidupnya dipenuhi ambisi dan gelombang.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Ukiran-doa-di-makam-Sultan-Maruf-Syah.jpg)