Jurnalisme Warga
Tapak Tilas Perjuangan Teuku Umar di Puncak Mugo, Wisata Sejarah yang Menggetarkan Jiwa
Di balik keelokan alamnya yang tenang dan permai, tersembunyi kisah-kisah heroik yang menjadi fondasi semangat masyarakatnya hingga kini.
FAISAL, S.T., M.Pd., Kepala SMKN 1 Julok dan Ketua IGI Daerah Aceh Timur, melaporkan dari Aceh Barat
Kabupaten Aceh Barat adalah salah satu wilayah yang kaya akan sejarah dan nilai-nilai perjuangan. Di balik keelokan alamnya yang tenang dan permai, tersembunyi kisah-kisah heroik yang menjadi fondasi semangat masyarakatnya hingga kini.
Salah satu destinasi wisata sejarah yang sangat layak untuk dikunjungi adalah makam Teuku Umar, pahlawan nasional yang menjadi ikon perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.
Terletak di Gampong Mugo Rayeuk, Kecamatan Panton Reu, Aceh Barat, makam ini bukan hanya tempat peristirahatan terakhir sang pahlawan, melainkan juga ruang penghayatan nilai perjuangan yang mendalam.
Perjalanan menuju lokasi makam dimulai dari pusat Kota Meulaboh. Dari sana, kami menyusuri jalan Geumpang-Tutut, rute utama yang menghubungkan Meulaboh dengan wilayah pedalaman. Jarak sekitar 42 kilometer kami tempuh dalam waktu satu jam dengan kendaraan roda empat.
Jalanan beraspal memudahkan perjalanan, walaupun saat mendekati area pemakaman, jalan mulai menyempit dan menanjak. Hanya satu mobil yang bisa lewat pada waktu bersamaan. Di sepanjang perjalanan, beberapa ternak warga terlihat berkeliaran bebas, menambah suasana alami khas pedesaan Aceh.
Sesampainya di lokasi, kami disambut oleh gerbang megah yang bertuliskan "Makam Pahlawan Nasional Teuku Umar Johan Pahlawan." Di sisi kirinya, terpampang sebuah prasasti dengan kutipan ‘Singoh beungoh tajep kupi di keude Meulaboh, atawa lon akan syahid,’ yang berarti “Besok pagi kita minum kopi di pasar Meulaboh, atau saya akan syahid.” Kalimat singkat, tetapi penuh makna ini mencerminkan keberanian Teuku Umar sekaligus firasat akan gugurnya sang pahlawan di medan juang.
Area parkir yang telah dibangun oleh pemerintah daerah tampak rapi dan cukup luas untuk menampung kendaraan roda dua maupun roda empat. Dari sini, perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki menuju lokasi makam.
Dahulu, pengunjung harus menapaki puluhan anak tangga yang curam untuk mencapai makam yang berada di balik bukit. Tangga lama di sisi kanan gerbang itu masih ada dan dapat dilalui, meskipun cukup melelahkan.
Kini, telah tersedia jalur baru di sisi kiri yang lebih landai dan ramah bagi semua kalangan usia. Jalur landai tersebut kini menjadi favorit pengunjung. Tidak hanya karena lebih mudah diakses, tetapi juga lantaran memberikan pemandangan alam sekitar yang sejuk dan asri.
Jalur ini membentang di pinggir lereng bukit, diapit oleh semak dan pepohonan, memberi kesan damai dan tenteram.
Bagi pengunjung lanjut usia, jalur ini tentu sangat membantu. Tidak ada lagi kekhawatiran tentang kesulitan naik turun bukit seperti sebelumnya.
Salah satu momen menarik dalam perjalanan kami adalah ketika saya mengajak seorang teman, sebut saja inisialnya AR, untuk kembali ke bawah melalui jalur lama yang lebih menanjak, sekadar mengenang bagaimana dahulu para pengunjung berjuang mencapai makam ini.
AR menolak ajakan saya dengan nada bercanda karena merasa kelelahan. Dengan spontan saya pun menjawab, “Nyan ban seumangat perjuangan, tanyoe ta euk buket nyan mantong hek teuh (Itu model semangat perjuangan, untuk naik bukit itu saja kita merasa kelelahan).” Candaan ringan yang membuat kami tertawa lepas di tengah suasana ziarah yang khidmat.
Makam Teuku Umar terletak di balik bukit kecil, dinaungi pepohonan rimbun dan dilindungi oleh bangunan seperti pendopo. Di sini, suasana hening seolah berbicara sendiri. Rasanya seperti berbincang dengan masa lalu yang heroik.
Bagi masyarakat Aceh, khususnya generasi muda, ziarah ke makam ini menjadi cara menghidupkan kembali semangat patriotik yang mulai pudar oleh zaman.
Tidak jauh dari makam, pengunjung dapat membaca narasi sejarah perjuangan Teuku Umar yang dibagi menjadi tiga fase besar. Fase pertama adalah ketika Teuku Umar memulai perjuangannya melawan Belanda secara terbuka sejak tahun 1878.
Ia lahir di Meulaboh pada tahun 1854 dari pasangan Teuku Tjut Machmud dan Tjot Muhani. Pada usia muda, ia telah menunjukkan bakat kepemimpinan dan kecintaannya pada tanah kelahiran. Ia kemudian menikah dengan pejuang wanita tangguh, Tjut Nyak Dhien, janda Teuku Ibrahim Lamnga.
Fase kedua terjadi pada tahun 1893 hingga 1896, di mana Teuku Umar memilih berpihak kepada Belanda. Pilihan ini tentu menuai kontroversi, tetapi sejatinya merupakan taktik cerdas untuk mengumpulkan senjata dan informasi musuh.
Teuku Umar berhasil mendapatkan 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kilogram mesiu, dan uang tunai sebesar 18.000 dolar dari Belanda. Semua itu digunakan untuk kembali memperkuat barisan pejuang Aceh.
Fase terakhir berlangsung dari tahun 1896 hingga 1899. Setelah memperoleh apa yang dibutuhkan, Teuku Umar kembali membelot dari Belanda dan memimpin serangan terhadap pos-pos kolonial.
Pada tanggal 10 Februari 1899, dalam perjalanan menyerang Meulaboh dari arah Lhok Bubon, pasukannya disergap Belanda akibat bocornya informasi oleh mata-mata.
Keesokan harinya, tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur dalam pertempuran di Suak Ujong Kalak, tertembak di bagian dada kirinya.
Jenazahnya sempat dimakamkan di Gampong Reudep, lalu dipindahkan ke Pasi Meugat, dikuburkan di samping makam ibunya. Karena khawatir jasad atau kerangkanya masih diincar Belanda, beberapa bulan kemudian dipindahkan lagi ke Gunung Glee Meulinteung, sebelum akhirnya dimakamkan secara permanen di lokasi sekarang di Gunung Glee Rayeuk Tameh, Gampong Mugo Rayeuk.
Pemindahan berkali-kali ini merupakan strategi kamuflase untuk mengelabui Belanda agar tidak mengetahui keberadaan makam sang pahlawan Aceh yang sangat mereka benci itu.
Saat ini, kompleks makam telah dilengkapi berbagai fasilitas seperti musala, toilet, dapur umum, hingga gazebo untuk bersantai. Kegiatan adat seperti ‘meuleupah hajat’ atau injak tanah pertama untuk bayi sering dilakukan di tempat ini.
Salah satu warga menyebutkan bahwa PT Mifa Bersaudara rutin menggelar kegiatan tahunan ‘Cleaning Heritage’ untuk membersihkan area makam, menunjukkan sinergi antara sektor swasta dan masyarakat dalam pelestarian cagar budaya.
Bukan hanya tempat bersejarah, makam Teuku Umar kini menjadi ikon wisata budaya dan edukasi di Aceh Barat. Salah satu yang paling banyak dikunjungi warga adalah situs makam Teuku Umar ini.
Pengalaman berziarah ke makam ini menyadarkan kami bahwa mengenang pahlawan bukan hanya sekadar hafal nama, tanggal lahir, dan tanggal gugurnya. Ini adalah perjalanan batin, ruang refleksi, dan upaya konkret untuk menghormati nilai perjuangan yang sesungguhnya. Jalan yang telah dibuka oleh para pendahulu kini telah kita tempuh, tidak lagi dengan senjata, tetapi dengan penghormatan dan perenungan.
Teuku Umar bukan hanya nama pada prasasti. Beliau adalah simbol kelihaian, keberanian, dan cinta sejati kepada tanah air. Semangatnya tetap hidup, menyusup melalui lorong-lorong waktu dan menyala dalam hati mereka yang datang ke Mugo Rayeuk dengan niat untuk mengenal sejarah, meneladaninya, dan menjadikannya lentera untuk masa depan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.