Jurnalisme Warga

Daya Tarik Gunung Leuser dan Pohon Raksasa

Melalui pelatihan dan penelitian ini, para guru diharapkan menjadi duta atau agen perubahan, menularkan semangat konservasi kepada siswa

Editor: mufti
IST
MUKHLIS PARU, S.E., M.M., Staf Dinas Pendidikan Aceh, melaporkan dari Ketambe, Aceh Tenggara 

MUKHLIS PARU, S.E., M.M., Staf Dinas Pendidikan Aceh, melaporkan dari Ketambe, Aceh Tenggara

Pagi Rabu, 13 Agustus 2025, langit tampak cerah menyambut langkah kami. Sinar mentari yang hangat di ufuk timur, menembus celah rimbun dedaunan di Taman Nasional Gunung Leuser, Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara. Udara sejuk yang menusuk kalbu membawa ketenangan dan rasa kagum yang mendalam.

Saya bersama tim Dinas Pendidikan Aceh, Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), 65 guru inti, serta Ketua Manajemen Guru Mata Pelajaran (MGMP) Biologi, Kimia, dan Geografi jenjang SMA se-Aceh mendapatkan kesempatan langka: mengunjungi Gedung Riset Gunung Leuser.

Perjalanan dimulai dari Cabang Dinas Pendidikan Aceh Tenggara, tempat kami menginap, menuju titik penyeberangan Sungai Alas yang berarus deras menggunakan kereta gantung bertenaga mesin motor Honda Supra Fit. Kereta gantung yang hanya bisa mengangkut empat orang setiap trip ini memakan waktu satu jam lebih. Mesin motor yang dipaksa bekerja keras sampai mengeluarkan asap menambah sensasi perjalanan yang menantang sekaligus menguji nyali.

Kunjungan sehari penuh ini dipimpin langsung oleh Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Bapak Marthunis ST, DEA, bersama Ketua Yayasan HAkA, Farwiza Farhan, selaku sponsor utama kegiatan pelatihan MGMP.  Acara ditutup dengan ‘field trip’ ke Gunung Leuser yang daya tariknya luar biasa.

Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian pelatihan MGMP untuk materi biologi, kimia, dan geografi dengan tema “Penerapan Buku Suplemen Kurikulum Muatan Lokal Pendidikan Lingkungan dan Kawasan Ekosistem Leuser” jenjang SMA se-Aceh.

Melalui pelatihan dan penelitian ini, para guru diharapkan menjadi duta atau agen perubahan, menularkan semangat konservasi kepada siswa di sekolah masing-masing. Pendidikan lingkungan kini menjadi keharusan agar generasi mendatang dapat terus menikmati keindahan alam yang sama.

Para guru yang terlibat dalam kegiatan penelitian ilmiah ini diberikan tugas untuk menjadikan hasil observasi mereka sebagai bahan utama dalam penulisan karya tulis di masing-masing mata pelajaran. Karya-karya tersebut nantinya akan dimanfaatkan sebagai bahan literasi lingkungan di sekolah-sekolah, dengan harapan dapat menumbuhkan kesadaran konservasi sejak dini di kalangan siswa.

Untuk memudahkan eksplorasi, tim kami dibagi dalam sepuluh ‘trip’ yang masing-masing dipandu oleh pemandu dari Konservasi Leuser. Para pemandu ini sangat berpengalaman dan menguasai medan pegunungan yang beragam, mulai dari hutan lebat hingga jalur berbatu dan terjal.

Pada pukul 11.00 WIB semua tim mulai menapaki pinggir Sungai Alas yang jernih, menuju lereng Gunung Leuser yang kaya flora dan fauna, beberapa di antaranya termasuk spesies dilindungi, seperti gajah, harimau sumatra, badak, orang utan, burung rangkong, dan sejumlah spesies lainnya.

Setiap langkah kami disambut oleh keindahan alam dan keheningan yang menenangkan. Jauh dari suara kendaraan dan hiruk pikuk manusia, perjalanan kami hanya ditemani oleh kicauan burung dan suara hewan lainnya yang menambah kesejukan suasana. Seolah alam menyambut kehadiran kami dengan hangat dan damai.

Pohon raksasa

Salah satu momen paling berkesan dalam kunjungan ini adalah ketika kami mengelilingi pohon perlak (Betula pendula Rorh), pohon raksasa yang menjulang sangat tinggi dan sudah hidup ratusan tahun di dalam Taman Nasional Gunung Leuser. Diameter pohon ini luar biasa besar, mencapai 30 rentang tangan orang dewasa, bahkan lebih. Kami yang berjumlah 80 orang coba mengelilingi pohon tersebut, yang secara simbolis menandai 80 tahun Dirgahayu Republik Indonesia.

Pohon perlak yang juga dinamakan burja perak ini, bukan hanya pohon biasa, melainkan juga maskot hutan Leuser yang melambangkan kemegahan dan keabadian alam. Lokasi pohon ini menjadi titik kumpul bagi seluruh tim dalam perjalanan penelusuran. Di titik ini kami berbincang banyak hal terkait penelitian dan bagaimana kami bisa ikut menjaga warisan alam yang begitu kaya.

Bagi saya, kunjungan ini merupakan pengalaman kedua ke Gedung Riset Gunung Leuser. Setiap penelusuran selalu membawa pengalaman baru, jalur berbeda, serta hasil yang unik. Keindahan alam yang masih asri, udara sejuk yang menyegarkan, serta harmoni suara burung dan binatang hutan hujan tropis membuat kami betah berlama-lama menelusuri hutan.

Sungai Alas yang membentang luas dengan suara gemercik air terjun dalam pegunungan menambah pesona alam yang sulit dilupakan. Udara sejuk, hijaunya pepohonan, dan suasana yang tenang membuat hati enggan beranjak. Kami sungguh enggan meninggalkan tempat ini karena keindahan dan kedamaian yang kami rasakan begitu luar biasa. Waktu seolah berjalan lebih lambat di tengah keelokan alam ini.

Suara rangkong

Saat penutupan kegiatan, tiba-tiba terdengar suara burung rangkong yang langka terbang di atas aula tempat kami berkumpul. Burung enggang itu menyapa kami yang ada di situ. Suara khas burung tersebut menggema dan membuat suasana menjadi begitu hidup dan penuh haru. Kemunculan satwa dilindungi itu menjadi simbol kuat akan pentingnya menjaga Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) agar keberadaan satwa langka seperti ini tetap lestari di alamnya.

Burung rangkong yang dilindungi ini menjadi simbol betapa pentingnya menjaga KEL agar satwa langka seperti ini tetap lestari.

Suara rangkong itu seolah menjadi pengingat langsung dari alam bahwa kita bukan hanya tamu di hutan ini, melainkan juga penjaga yang bertanggung jawab. Momen langka ini menguatkan tekad kami semua untuk terus menjaga kelestarian Gunung Leuser agar generasi mendatang tetap bisa mendengar kicauan burung rangkong dan spesies lainnya seraya menyaksikan keindahan alam yang tak ternilai harganya.

Pikiran saya langsung teringat pda kunjungan tahun lalu bersama sejumlah guru inti dalam kegiatan penelitian yang sama. Saat kami bersiap pulang, tiba-tiba muncul seekor orang utan di atas pohon besar di belakang Gedung Riset Ketambe. Geraknya yang tenang seolah ingin menyapa dan menghibur kami sebelum berpisah. Kami pun tak melewatkan momen itu, sibuk mengabadikannya dengan kamera handphone, tustel, dan ‘handycam’. Seolah-olah, orang utan itu sedang mengirim pesan tersirat bahwa dirinya dan habitat tempatnya hidup sangat membutuhkan perlindungan dan perhatian agar kelestariannya tetap terjaga.

Dengan kesadaran dan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat, kita dapat memastikan kelestarian alam Aceh tetap terjaga. Melalui kolaborasi dan tindakan nyata, bukan hanya keindahan alam yang terawat, tetapi juga masa depan generasi mendatang yang akan menikmati kekayaan alam ini dengan penuh kebanggaan. Mari bersama-sama kita wujudkan Aceh yang hijau, lestari, dan berkelanjutan.

Untuk itu, seluruh masyarakat Aceh mari kita tidak hanya menelusuri keindahan Gunung Leuser dan menatap pohon perlak yang menjulang sangat tinggi, tapi juga memperkuat komitmen menjaga dan merawat lingkungan sekitar. Jagalah ekosistem Leuser sebagai warisan yang lestari bagi anak cucu kita di masa mendatang.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved