Pojok Humam Hamid

MSAKA21: Indrapatra, Benteng, Candi, dan Jejak Hindu di Pesisir Aceh - Bagian VIII

Indrapatra adalah kompleks benteng bercorak batu bata dengan kanal pertahanan, berukuran besar untuk konteks arsitektur Nusantara awal

Editor: Zaenal
FOR SERAMBINEWS.COM
Sosiolog dan Guru Besar USK, Prof Ahmad Humam Hamid 

Ia diwarisi, bahkan diberi makna baru. 

Sejarawan kolonial Belanda mencatat bahwa Indrapatra pernah digunakan kembali pada era Kesultanan Aceh Darussalam sebagai benteng pertahanan menghadapi Portugis. 

Artinya, Indrapatra bukan hanya peninggalan, ia adalah ruang berlapis: Hindu, Islam, kolonial, dan hari ini, pariwisata.

Pertanyaannya lalu, apakah Indrapatra benar-benar “kerajaan”? 

Atau ijangan jangan hanya sekadar situs politik yang lebih kecil, bagian dari kuasa kecil yang tidak sempat menjadi pusat besar seperti Pasai atau Aceh Darussalam?

Di sinilah kita masuk ke wilayah yang lebih provokatif. 

Mungkin Indrapatra lebih tepat disebut prasasti arsitektural dari sebuah masa peralihan. 

Ia menunjukkan bahwa Aceh tidak pernah steril dari pengaruh luar. 

Indrapatra adalah bukti bahwa sebelum syahadat bergema di masjid, mantra-mantra Hindu pernah dilantunkan di pesisir ini.

Jika kita mau jujur, Indrapatra juga mengajarkan tentang keterbatasan sejarah resmi. 

Buku pelajaran di sekolah cenderung melompati fase Hindu di Aceh, seolah Aceh langsung menjadi Islam sejak awal. 

Tetapi benteng di Ladong itu tidak bisa berbohong. 

Batu bata itu berbicara: pernah ada masa ketika Aceh adalah bagian dari orbit besar “Indianisasi” Asia Tenggara.

Indrapatra dengan demikian adalah cermin kecil dunia besar, pertemuan India, Islam, dan lokalitas Aceh. 

Ia adalah bukti bahwa Aceh selalu menjadi ruang peradaban yang lentur, tidak pernah menolak pengaruh, tetapi selalu menyesuaikannya. 

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved