Pojok Humam Hamid
“Iman Teknokratis” dan “Cuaca Buruk”: Manmohan Singh, Zhu Rongji, dan Sri Mulyani
Di Indonesia, peran itu dalam dua dekade terakhir dijalani oleh Sri Mulyani Indrawati, seorang penjaga fiskal yang mencoba berdiri tegak ...
Ahmad Humam Hamid*)
DALAM sejarah politik modern, selalu ada sosok-sosok senyap yang memikul beban negara tanpa sorotan panggung utama.
Mereka bukan orator ulung, bukan pula magnet politik.
Mereka adalah teknokrat--pemegang kalkulator, grafik, dan akal sehat di antara para penggenggam kekuasaan.
Apa yang membuat mereka unik, kadang kerja mereka terlihat dengan jelas, dan seringkali tak terlihat.
Kenapa demikian? Karena sifat pekerjaan mereka yang berurusan dengan ekonomi dan keuangan negara yang sering menuntut senyap.
Yang tak terlihat itu, namun menentukan arah negara seringakali nyaris sama dengan “iman” bagi para teknokrat.
“Iman” disini bukan dalam arti religius, melainkan keyakinan teknokratik--sejenis kepercayaan yang nyaris spiritual bahwa akal sehat, data, dan neraca yang seimbang mampu menyelamatkan negara dari ancaman karam dań bahkan tenggelam ke dasar laut.
Tapi seperti semua iman, ia diuji justru ketika cuaca laut paling buruk. Ketika badai populisme datang, ketika kekuasaan memilih retorika ketimbang perhitungan.
Selanjutnya ketika ekonomi dipaksa tunduk pada janji kampanye yang tak berpijak pada tanah fiskal yang solid, iman teknokratik menjadi barang langka, dan kadang tragis.
Dua dari nama terbesar dalam daftar ini adalah Manmohan Singh dari India dan Zhu Rongji dari Tiongkok.
Mereka adalah dua teknokrat legendaris yang berhasil memandu transformasi ekonomi negara mereka, meski dalam sistem dan kondisi politik yang sangat berbeda.
Di Indonesia, peran itu dalam dua dekade terakhir dijalani oleh Sri Mulyani Indrawati.
Dia adalah seorang penjaga fiskal yang mencoba berdiri tegak di tengah topan kompromi dan janji politik yang tak realistis.
Di tengah badai ekonomi yang mengamuk, para tehnokrat seperti Sri Mulyani, Zhu Rongji, dan Manmohan Singh memegang iman mereka pada angka dan akal sehat.
Saat politisi panik mencari pelampung, mereka tenang di kemudi--sebab bagi mereka, tehnokrasi bukan sekadar alat, tapi keyakinan yang diuji justru saat badai datang.
Manmohan Singh, Zhu Rongji, dan Sri Mulyani adalah tiga wajah dari iman itu--lahir dalam zaman berbeda, dan dalam sistem berbeda.
Masing-masing mereka berupaya menyelamatkan negara dengan kalkulator, bukan dengan retorika, apalagi pedang.
Namun hanya dua dari mereka yang berhasil melewati badai tanpa kehilangan tempat.
Yang satu didukung total oleh otoritas penuh Partai Komunis.
Yang satu lagi dilindungi oleh perdana menteri yang tahu kapan harus mengalah demi logika ekonomi akal sehat.
Tapi yang satu di Indonesia--berjuang sendirian di tengah kabinet kompromi, janji politik ambisius, dan utang yang membengkak--akhirnya harus menepi, nyaris dalam diam.
Baca juga: Usai Sri Mulyani Diganti Purbaya Yudhi Sadewa, IHSG dan Saham Perbankan Langsung Ambruk?
Cermin masa depan negara
Dan dari situ, kita bisa mulai membaca ulang perjalanan mereka—bukan sekadar sebagai kisah personal, tapi sebagai cermin masa depan negara mereka dan sekaligus republik kita.
Manmohan Singh adalah menteri keuangan India yang memimpin liberalisasi besar-besaran pada 1991.
Ia datang bukan dari gelanggang politik, melainkan dari dunia ekonomi akademik dan birokrasi.
Ketika India berada di ambang kebangkrutan, Singh menyusun paket reformasi struktural yang drastis—dari penghapusan lisensi industri, pembukaan pasar, hingga deregulasi perdagangan.
Tidak berhenti disitu, ia juga mampu menjual ide itu ke publik dan parlemen dengan kesahajaan dan kesederhanaan yang unik dan jujur.
Ia tak punya panggung, tetapi ia punya kredibilitas. Ekonomi India di tangannya baik sebagai menteri Keuangan maupun Perdana Menteri tumbuh 8 persen pertahun.
Keberhasilan Singh tidak berdiri sendiri.
Ia dilindungi oleh Perdana Menteri Narasimha Rao, seorang politisi partai Kongres yang memahami bahwa krisis bisa menjadi momen revolusi diam-diam.
Rao melindungi Singh dari serangan oposisi dan dari resistensi dalam partainya sendiri.
Manmohan Singh bukan pengambil alih kekuasaan.
Ia dalam diamnya adalah penyeimbang logika di antara para pemilik suara.
Dan justru karena itu, ia bertahan--hingga akhirnya menjadi Perdana Menteri India (2004–2014), tetap dengan gaya teknokrat yang nyaris hening.
Singh dalam India modern dikenang sebagai sosok tehnokrat yang merobah krisis menjadi peluang, dan diam-diam membentuk masa depan India.
Ia bukan politisi murni, bukan orator hebat, tetapi sejarah berbicara lantang untuknya.
Sementara itu, Zhu Rongji muncul dalam konteks yang sangat berbeda.
Tiongkok pasca-Mao, saat negeri itu tengah melaju cepat tapi rapuh.
Sebagai perdana menteri (1998–2003), Zhu adalah pemimpin yang keras kepala dan disegani--bahkan ditakuti.
Ia menutup ribuan BUMN yang merugi, memberhentikan puluhan juta pekerja, mereformasi perbankan, dan membersihkan birokrasi dari korupsi kronis.
Namun yang paling penting, ia bisa mengeksekusi semua itu karena bekerja dalam sistem satu partai yang memusatkan kekuasaan dan tidak terikat pemilu. Tiongkok adalah negara “indatu” otoriter
Zhu punya sponsor politik, Deng Xiaoping, sang bapak reformasi Cina.
Karena ia dipercaya Deng, Zhu bukan hanya teknokrat biasa.
Ia teknokrat jujur dan amanah yang dibekali palu.
Tidak ada kompromi yang menyandera niatnya.
Ia tak harus membagi anggaran dengan partai koalisi, tak perlu menyenangkan elite politik yang lapar proyek.
Kekuasaannya berasal dari dalam partai, dan perlindungan politisnya hampir absolut.
Ia adalah teknokrat otoriter yang tidak perlu menjual ide ke publik, cukup meyakinkan politbiro.
Di tangan Zhu, ekonomi Cina tumbuh 8,5 persen pertahun.
Arena penuh jebakan
Sri Mulyani, dalam kontras yang terang, berdiri di atas arena yang jauh lebih cair dan penuh jebakan.
Selama hampir dua dekade, Sri Mulyani menjadi simbol stabilitas fiskal dan rasionalitas ekonomi.
Ia bukan politisi, bukan pula juru kampanye.
Ia adalah seorang akuntan republik--orang yang berdiri di jantung kekuasaan, tetapi tidak bermain dalam logika kekuasaan.
Di masa Presiden SBY, ia menjadi bintang terang yang membawa Indonesia keluar dari krisis.
Di periode pertama Presiden Jokowi, ia masih dikelilingi sesama teknokrat, Darmin Nasution, Bambang Brodjonegoro, dan Sofyan Djalil.
Tetapi sejak periode kedua Jokowi, ia mulai sendiri. Ia mulai kehilangan ekosistem tehnokratis.
Dan di bawah Presiden Prabowo, ia benar-benar sendirian, seolah satwa terakhir yang terancam punah.
.
Ketika Prabowo naik sebagai presiden dengan koalisi besar dan program-program populis seperti Makan Bergizi Gratis , Koperasi Merah Putih, dan belanja besar altruista ,tekanan terhadap arsitektur fiskal makin besar.
Sri Mulyani, yang dikenal hemat dan berhati-hati, tiba-tiba harus menjadi bendahara pesta yang ia sendiri tak pernah diajak untuk ikut merancang.
Tak seperti Zhu yang bisa menolak permintaan elite partai, atau Manmohan Singh yang didukung penuh oleh perdana menterinya, Sri Mulyani seringkali berada dalam posisi sendirian.
Ia tak punya blok politik yang membela, dan tak ada pelindung di tengah kabut politik yang makin pragmatis.
Di sisi lain, publik menuntut lebih banyak bantuan, lebih banyak subsidi, sementara ruang fiskal terus menyempit.
Utang yang menumpuk dari periode sebelumnya mulai jatuh tempo.
Dan di tengah tekanan itu, pajak dinaikkan, bahkan saat daya beli rakyat sedang tergerus.
Bagi banyak orang, ini seperti luka yang digarami.
Tapi ini bukan karena Sri Mulyani tak mengerti penderitaan rakyat.
Ia sadar menaikkan pajak--dari PPN 11 persen, wacana pajak sembako, layanan digital, hingga lonjakan PBB--bukan keputusan yang mudah di tengah tekanan hidup rakyat.
Tapi ia tak punya pilihan, karena, makan gratis, koperasi merah putih, dan pembelian altutista harus dibiayai.
Jangan-jangan isu pengunduran dirinya beberapa bulan yang lalu benar adanya--isyarat dari teknokrat yang dipaksa menambal lubang fiskal di medan yang tak lagi rasional.
Tindakan yang ia lakukan, karena ia tahu satu hal, tanpa disiplin fiskal, negara akan terperosok lebih dalam.
Dalam kerangka teknokrasi, ia tahu operasi menyakitkan perlu dilakukan untuk mencegah amputasi di kemudian hari.
Tapi kita juga harus jujur melihat.
Ia tak lagi berada dalam sistem yang mendengar suara teknokratis seperti itu.
Kalau kita mau lebih terbuka, kabinet hari ini lebih mirip arena konsensus politik ketimbang forum rasional kebijakan.
Dalam situasi ini, Sri Mulyani tidak kalah karena argumen, tapi oleh sunyi-sunyi karena tak didengar, dan karena terlalu sedikit yang memilih berdiri di sisinya.
Baca juga: Rekam Jejak Sri Mulyani, Menkeu Terlama Kedua dalam Sejarah, Kini Direshuffle Prabowo
Beda Cina, India, dan Indonesia
Apa yang membedakan Singh dan Sri Mulyani dan Zhu Rongji?
Salah satunya adalah konteks politik.
Zhu Rongji dan Manmohan Singh naik ke panggung utama, mengatur orkestra ekonomi sambil memegang tongkat komando.
Sri Mulyani duduk di ruang mesin, membaca angka seperti doa, sambil menambal lubang kapal yang bocor karena janji kampanye.
Ketika badai datang, dua yang pertama diberi panggung dan sorak, sementara yang satu yang terakhir diberi kalkulator dan waktu yang makin sempit.
Lalu ada perintah, makan gratis, koperasi merah putih, dan altutista bergemuruh--sementara anggaran menjerit pelan.
Pada akhirnya, sang tehnokrat pun tahu, iman pada angka tak cukup jika panggungnya sudah berubah menjadi “pasar malam”.
Singh dan Zhu masuk sebagai teknokrat dalam kabinet yang butuh solusi.
Sri Mulyani masuk sebagai teknokrat dalam kabinet yang ingin ekspansi.
Singh dan Zhu mengobati negara yang sedang sakit dan tahu dirinya sakit.
Sri Mulyani mencoba menjaga tubuh yang sudah kelelahan tapi tetap bersikeras ingin berlari maraton.
Di sisi lain, Singh tetap dihormati karena ia bukan ancaman politik bagi siapa pun.
Sementara itu Zhu ditakuti karena ia adalah “anak tehnokratis" sang pemilik reformasi Cina, Deng Xioping.
Zhu juga bersumpah mau dihukum mati kalau ia korupsi.
Sementara Sri Mulyani?
Ia berada di tengah kabar reshuffle dan rumor politik, mungkin justru dianggap terlalu bersih, terlalu jujur, atau terlalu menyulitkan agenda populisme.
Kini, Sri Mulyani telah pergi.
Entah karena ia memilih, atau karena ia “dipilihkan” untuk keluar.
Yang pasti, perginya ia mengingatkan kita pada satu kenyataan pahit.
Seorang teknokrat hanya berguna selama ia membantu mewujudkan janji kekuasaan.
Tapi ketika angka-angka mulai menantang narasi populis, maka teknokrat menjadi terlalu asing di rumahnya sendiri.
Indonesia hari ini membutuhkan lebih dari sekadar anggaran besar dan janji bombastis.
Indonesia membutuhkan logika fiskal, kepemimpinan rasional, dan keberanian untuk mengatakan “tidak” pada kebijakan yang tak punya pijakan.
Tapi pertanyaannya kini, siapa yang berani berkata “tidak” di meja kekuasaan?
Siapa yang bisa berbicara dengan suara akuntan republik ketika mayoritas hanya ingin menjadi pencerita?
Dalam sejarah, Sri Mulyani akan dikenang bukan karena ia selalu benar, tapi karena ia memilih berdiri di sisi angka, ketika banyak orang bersembunyi di balik narasi.
Ia adalah suara sunyi dari sebuah zaman yang lebih senang bertepuk tangan daripada bertanya, apakah negara ini sedang berjalan di atas neraca, atau hanya di atas euforia?
Di saat angka tak lagi didengar, maka republik pun akan kehilangan penyeimbangnya.
Dan ketika penyeimbang itu pergi, kita hanya bisa berharap bahwa sejarah masih bersedia memberi kita teknokrat berikutnya--yang bersedia berbicara jujur, meski tahu bahwa ia akan berjalan sendirian.(*)
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.
Manmohan Singh
Zhu Rongji
Sri Mulyani
pojok humam hamid
Serambi Indonesia
Serambinews
kenapa sri mulyani mundur dari kabinet
Keamanan vs Perdamaian: Marco Rubio, Netanyahu, Ayalon, dan Masa Depan Palestina |
![]() |
---|
MSAKA21: Indrapatra, Benteng, Candi, dan Jejak Hindu di Pesisir Aceh - Bagian VIII |
![]() |
---|
Penyakit Akar Busuk Negara dan Tragedi Hari Ini |
![]() |
---|
Naleung Lakoe Vs Bak Asan, Memahami Aksi Demo Agustus 2025 |
![]() |
---|
MSAKA21: Aceh - Roh yang Tak Pernah Mati dan Animisme Ribuan Tahun - Bagian VII |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.