Kupi Beungoh
September Pendidikan Aceh: Hardikda, Darussalam, dan Jejak Abadi Prof. Safwan Idris
Hardikda adalah pijakan, Darussalam adalah rumah, dan Prof. Safwan Idris adalah jiwa yang menyalakan cahaya.
Dalam buku “ Biografi Ulama-Ulama Aceh Abad XX, Jilid, 1 Cet ke 2, tahun 2007 oleh Sabri, A dkk, Prof SI, menjadi salah satu ulama dan akademisi yang kiprahnya sangat berjasa bagi rakyat Aceh. Kepergian beliau masih menjadi luka yang sulit disembuhkan, karena tidak hanya menghilangkan seorang akademisi, tetapi juga seorang teladan keberanian.
Prof. Safwan Idris lahir di Aceh Besar pada 1949. Ia menempuh pendidikan hingga ke Amerika Serikat, lalu kembali ke tanah air untuk membangun dunia akademik. Sebagai Rektor IAIN Ar-Raniry, ia dikenal tegas, kritis, dan berkomitmen menjaga kebebasan akademik di tengah situasi Aceh yang penuh konflik.
Yang diwariskan Prof. Safwan bukan hanya gagasan, tetapi juga keberanian moral: bahwa pendidikan harus bebas dari tekanan, harus berpihak pada kebenaran, dan harus menjadi cahaya di tengah kegelapan.
Tragedi yang menimpanya adalah pengingat pahit bahwa memperjuangkan ilmu kadang berhadapan dengan risiko besar. Namun, justru karena itulah, jejaknya menjadi abadi.
Baca juga: 6 Prompt Gemini AI untuk Foto Sinematik di Kereta Api, Hasilnya Real Mirip Pemotretan Profesional
September sebagai Cermin
Tiga peristiwa ini—Hardikda, Darussalam, dan gugurnya Prof. Safwan—sebenarnya menyampaikan pesan yang sama: pendidikan adalah fondasi masa depan Aceh. Hardikda memberi dasar hukum dan arah, Darussalam menyediakan ruang dan infrastruktur, sementara Prof. Safwan memberi jiwa berupa teladan integritas.
Sayangnya, ketika kita menengok ke kondisi sekarang, masih banyak pekerjaan rumah. IPM Aceh memang naik, tetapi kualitas lulusan, keterampilan tenaga kerja, serta pemerataan akses pendidikan belum sejalan dengan cita-cita “Kota Ilmu”.
Masih banyak sekolah dengan sarana terbatas, guru yang harus mengajar lintas mata pelajaran, dan anak-anak yang harus menempuh perjalanan jauh untuk sampai ke sekolah. Di tingkat perguruan tinggi, riset masih perlu diperkuat agar lebih berdampak langsung bagi masyarakat.
Menjawab Tantangan Masa Kini
Jika kita ingin benar-benar melanjutkan warisan September pendidikan, ada beberapa langkah yang harus ditempuh. Pertama, memperkuat kualitas guru dan dosen.
Pendidikan Aceh tidak bisa maju tanpa tenaga pengajar yang profesional dan berdedikasi. Kedua, memastikan pemerataan fasilitas pendidikan sampai ke desa-desa.
Tidak boleh ada anak Aceh yang tertinggal hanya karena lahir di daerah jauh.
Ketiga, memperkuat budaya akademik yang kritis dan merdeka. Kampus harus menjadi ruang yang aman untuk berdebat, mengkaji, dan mencari solusi. Warisan Prof. Safwan Idris seharusnya menjadi inspirasi agar kebebasan akademik dijaga, bukan dibungkam.
Terakhir, pendidikan tinggi di Aceh harus lebih terhubung dengan dunia nyata. Riset dan inovasi yang lahir dari Darussalam dan kampus lainnya harus bisa dirasakan oleh nelayan, petani, pelaku usaha kecil, hingga masyarakat desa.
Penutup
Bulan September selalu mengingatkan kita bahwa pendidikan Aceh lahir dari cita-cita besar, bukan dari kebetulan. Hardikda adalah pijakan, Darussalam adalah rumah, dan Prof. Safwan Idris adalah jiwa yang menyalakan cahaya.
Tugas kita sekarang adalah memastikan warisan itu tidak berhenti di tataran simbol. Pendidikan Aceh harus benar-benar menjadi kekuatan yang mengangkat kualitas hidup masyarakat.
Hanya dengan itu, kita bisa berkata bahwa semangat Hardikda, Darussalam, dan Prof. Safwan Idris masih hidup—bukan hanya dalam ingatan, tetapi dalam kenyataan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.