Kupi Beungoh

Akselerasi Pemerataan Dokter Spesialis Lewat Strategi MGBKI

Di tengah situasi inilah, MGBKI hadir dengan gagasan strategis mengusulkan Blueprint Nasional Academic Health System

Editor: Subur Dani
FOR SERAMBINEWS
Prof. Dr. dr. Rajuddin, SpOG(K), Subsp.FER 

Oleh: Prof. Dr. dr. Rajuddin, SpOG(K), Subsp.FER

INDONESIA masih menghadapi kesenjangan besar dalam pembangunan Kesehatan, keterbatasan jumlah dan ketimpangan distribusi dokter spesialis maupun subspesialis. 

Realitas ini terlihat jelas di Papua, Maluku, NTT, Kalimantan Utara, Sulawesi Barat dan daerah lainnya. 

Pasien harus menempuh perjalanan berhari-hari hanya untuk mendapatkan layanan operasi bedah, kardiologi, atau perawatan kanker. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, rasio dokter spesialis di wilayah 3T masih jauh di bawah standar WHO.

Di tengah situasi inilah, Majelis Guru Besar Kedokteran Indonesia (MGBKI) hadir dengan gagasan strategis mengusulkan Blueprint Nasional Academic Health System (AHS) 2025–2029. 

Baca juga: Dokter Spesialis Neurologi RSUD-TP Abdya Berikan Edukasi tentang Penyakit Alzheimer

Dokumen penting untuk rekomendasi akademik, peta jalan menyeluruh yang mengintegrasikan pendidikan kedokteran, layanan klinis, riset, dan kebijakan fiskal lintas kementerian. 

Jika dijalankan konsisten, blueprint ini dapat menjadi terobosan penting dalam membangun kemandirian Kesehatan sekaligus pemerataan layanan kesehatan bangsa.

Enam Rekomendasi MGBKI

MGBKI mengajukan enam rekomendasi strategis yang saling melengkapi. Pertama, Blueprint Nasional AHS sebagai kerangka integrasi antara kebutuhan tenaga, kapasitas rumah sakit pendidikan, beban penyakit, dan rasio penduduk. 

Blueprint ini diharapkan menjadi dokumen yang diperbarui secara periodik dan diperkuat dengan legitimasi hukum.

Kedua, rotasi dan fellowship jejaring pendidikan. Skema ini memungkinkan peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) tahun akhir dan lulusan fellowship untuk ditempatkan di rumah sakit jejaring di daerah defisit spesialis. 

Masa penugasan minimal enam bulan untuk residen rotasi dan satu tahun untuk fellowship. Mereka akan memberikan layanan klinis, berfungsi sebagai mentor bagi tenaga kesehatan lokal.

Ketiga, skema beasiswa dan ikatan dinas lintas kementerian. Mahasiswa kedokteran dan PPDS dapat memperoleh beasiswa penuh, termasuk biaya hidup, dengan syarat ikatan dinas minimal lima tahun di daerah prioritas. Pendanaan bersumber dari Kemdiktisaintek, Kemenkes, Kemendagri, Kemenkeu, CSR BUMN, hingga donor internasional.

Keempat, dashboard monitoring nasional. Inovasi digital ini memungkinkan pemantauan real-time terhadap distribusi dokter, capaian output layanan, hingga akuntabilitas program. 

Dengan indikator yang jelas, pemerintah dapat melakukan intervensi berbasis bukti, bukan sekadar retorika.

Kelima, pilot project di lima provinsi prioritas pada 2026. Target awalnya 200 PPDS rotasi, 50 fellowship, dan peningkatan 20 persen rasio spesialis. Bidang prioritas meliputi subspesialis pediatri, obstetri-ginekologi, bedah, anestesi, hingga fellowship kardiologi dan neurologi.

Keenam, sinkronisasi lintas kementerian. Kemenkes memegang peran standar mutu dan distribusi, Kemdiktisaintek mengawal kurikulum dan riset, Kemenkeu menyediakan pendanaan, Kemendagri memastikan integrasi ke dalam RPJMD daerah, sementara KemenPAN-RB menyiapkan jalur karier ASN.

Roadmap 2025–2029

Rencana lima tahun ini dibagi dalam empat fase. Pada 2025 menjadi tahap konsolidasi dan pemetaan kebutuhan dokter spesialis berbasis data epidemiologi dan demografi. 

Tahun 2026 difokuskan pada pilot project di lima provinsi. Tahun 2027 diarahkan pada penyesuaian kurikulum dan optimalisasi dashboard monitoring. 

Pada 2028 adalah fase ekspansi nasional ke 15 provinsi defisit. Sementara pada tahun 2029 menjadi momentum konsolidasi nasional dengan audit mutu eksternal, evaluasi komprehensif, serta pengesahan blueprint AHS permanen sebagai kebijakan negara.

Potensi dan Tantangan

Jika dilihat dari perspektif Academic Health System, dokumen MGBKI memiliki sejumlah kekuatan. Dokumen berbasis data, melibatkan multiaktor, serta menyinergikan pendidikan, layanan, dan riset. 

Namun, implementasi di lapangan tidak sesederhana di atas kertas.

Baca juga: Sikapi Mogok Terbatas Dokter Spesialis, Bupati TRK Tegaskan Layanan RSUD SIM Jangan Pernah Terhenti

Pertama, kapasitas Rumah Sakit jejaring. Saat ini, baru 54,9 persen RS pendidikan yang tersertifikasi. Sisanya masih dalam proses, yang berarti belum seluruhnya siap menjadi wahana pembelajaran. Tanpa percepatan akreditasi, ekspansi prodi bisa mengorbankan mutu.

Kedua, masih terbatasnya dosen klinik senior di luar Jawa. Skema rotasi residen memang memberi harapan, namun tanpa dukungan pengajar berpengalaman, kualitas pendidikan berisiko menurun.

Ketiga, aspek bioetika dalam penempatan residen juga tidak boleh diabaikan. Rotasi dan fellowship hendaknya dipandang sebagai proses pendidikan, bukan sekadar tambahan tenaga kerja. Supervisi yang memadai, pemenuhan hak belajar, serta jaminan keselamatan pasien harus menjadi prioritas.

Keempat, potensi tumpang tindih regulasi. Saat ini terdapat risiko dualisme kewenangan antara Kemenkes, Kemdiktisaintek, dan kolegium profesi. Tanpa sinkronisasi yang jelas, kebijakan hanya akan berjalan parsial dan berpotensi menimbulkan kebingungan di lapangan.

Dimensi Bioetika dan Keadilan

Pendekatan ini tidak bisa dilepaskan dari prinsip bioetika. Justice menuntut agar akses layanan kesehatan di daerah defisit dijamin secara adil. Beneficence menekankan bahwa program rotasi dan fellowship harus memberi manfaat nyata, baik bagi pasien maupun tenaga kesehatan lokal. 

Non-maleficence menjadi pengingat agar ekspansi pendidikan tidak mengorbankan mutu layanan. Sementara autonomy menegaskan pentingnya melibatkan institusi pendidikan dan para residen dalam setiap pengambilan keputusan.

Dengan demikian, keberhasilan blueprint tidak semata diukur dari angka distribusi dokter, melainkan dari sejauh mana mampu menghormati nilai-nilai kemanusiaan dalam pelayanan kesehatan.

Rekomendasi Penguatan

Agar dokumen MGBKI tidak berhenti sebagai wacana, ada beberapa langkah strategis yang perlu diambil. Pertama, Blueprint AHS Nasional perlu dilegalisasi dalam bentuk Perpres agar memiliki kekuatan hukum mengikat. 

Kedua, dashboard monitoring harus diperkuat dengan teknologi kecerdasan buatan sehingga mampu memproyeksikan kebutuhan dokter hingga sepuluh tahun ke depan.

Ketiga, kurikulum pendidikan harus adaptif. Modul telemedisin, manajemen penyakit tropis, dan pengelolaan sumber daya terbatas wajib dimasukkan agar relevan dengan kebutuhan daerah. 

Keempat, skema insentif daerah harus jelas. Tidak cukup hanya ikatan dinas, tetapi perlu tunjangan afirmasi, jalur karier ASN, hingga kesempatan fellowship luar negeri bagi mereka yang bertugas di 3T.

Kelima, dibentuk AHS Regional Board di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Dengan begitu, koordinasi antar Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit jejaring bisa lebih efektif. 
 
Keenam, audit mutu eksternal perlu melibatkan lembaga independen, termasuk asosiasi internasional, agar setiap capaian program dapat dievaluasi secara objektif dan akuntabilitasnya benar-benar terjamin.

Dokumen MGBKI adalah terobosan akademik untuk menjawab kesenjangan layanan kesehatan, namun hanya bermakna jika diwujudkan dalam aksi nyata melalui pilot project yang konsisten, dashboard yang transparan, insentif yang adil, serta koordinasi lintas kementerian yang solid.

Pepatah mengatakan, peta jalan yang indah tidak akan membawa kita ke mana pun tanpa langkah kaki yang nyata. Indonesia tidak kekurangan blueprint, tetapi seringkali terjebak pada kegagalan implementasi. Semoga kali ini berbeda.

Apabila MGBKI, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan mampu menjaga komitmen, akselerasi pemerataan dokter spesialis tidak lagi sekadar mimpi. Upaya ini akan menjadi warisan strategis bangsa, melahirkan sistem kesehatan yang lebih adil, merata, dan bermartabat bagi seluruh rakyat Indonesia. (email:rajuddin@usk.ac.id)


*) PENULIS adalah Guru Besar USK, pemerhati kebijakan kesehatan dan Academic Health System

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved