Opini
Revisi UUPA dan Penguatan Parlok
Patut kita syukuri, revisi UUPA menjadi program prioritas kumulatif terbuka 2025, merupakan perjuangan panjang banyak pihak
Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah “memungkinkan” partai politik lokal diberi kewenangan untuk mencalonkan DPR menuju Senayan. Maka, untuk menjawab hal tersebut, perlunya kita kembali belajar pada sejarah Pemilu 1955; sebagai salah satu historis bangsa Indonesia.
Pengalaman masa lalu
Dalam Pemilu 1955, partai politik lokal sudah dikenal di masa itu, bahkan mereka berhasil mengirimkan perwakilan untuk kursi DPR maupun kursi keanggotaan Konstituante. Sejarah Partai Persatuan Dayak (PPD) di Kalimantan Barat merupakan partai politik lokal yang dibentuk untuk mempersatukan ketujuh suku induk Dayak yaitu: Ot Danum, Kayaan, Iban, Bidayeuh, Punan, Taman Ambaloj, dan suku di Borneo Utara. PPD berjuang untuk melawan pembodohan, pemiskinan dan diskriminasi hak.
Hasil Pemilu 1955, Partai Persatuan Dayak menguasai posisi politik di tingkat daerah, memiliki perwakilan untuk DPR atas nama F.C Palaunsuka, dan tiga orang untuk di Konstituante yaitu: J.C Oevaang Oeray, Wilibrordus Hittam, dan Agustinus Djelani (Baca: M. Rikaz Prabowo, Eksistensi Partai Persatuan Dayak Pada Pemilu 1955). Sayangnya partai ini dibubarkan pada tahun 1959, setelah Presiden Soekarno mengeluarkan larangan terhadap partai politik yang bersifat etnis.
Pengalaman masa lalu ini, tinggal diadopsi kembali dalam revisi UUPA untuk peningkatan status partai politik lokal di Aceh. Harapan ini bukanlah sesuatu yang tidak mungkin untuk menghadirkan kehormatan (dignity) politik Aceh. Bila hal ini bisa terwujud, maka partai politik lokal di Aceh harus membuka kantor perwakilan di Jakarta, untuk memudahkan pengurusan administrasi dalam pencalonan anggota DPR RI karena langsung berhubungan dengan KPU RI di pusat.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.