Kupi Beungoh

MIGAS Mengalir ke Medan, Kemiskinan Mengendap di Aceh

Namun di balik narasi besar itu, muncul satu pertanyaan mendasar, apa sebenarnya manfaat bagi Aceh sendiri?

Editor: Agus Ramadhan
FOR SERAMBINEWS.COM
Prof. Dr. Ir. Muhammad Irham, S.Si, M.Si. 

Jika kini gas dari tanah Aceh kembali mengalir ke luar tanpa memberi manfaat nyata bagi rakyat lokal, perasaan ketidakadilan itu akan bangkit lagi. Terus apakabar BPMA.

Narasi “Aceh kaya tapi miskin” bisa semakin menguat. Ironis, ketika anak-anak muda Aceh mencari kerja ke Medan, justru pabrik-pabrik di kota itu beroperasi dengan gas yang dipipakan dari tanah kelahirannya sendiri.

Jangan dilupakan pula, jalur pipa gas melewati tanah Aceh, dengan segala risiko sosial dan lingkungan yang ditimbulkan, seperti pembebasan lahan, potensi konflik dengan warga, dampak ekologis, hingga risiko keamanan pipa di masa depan.

Jika manfaat ekonominya lebih besar dinikmati Medan, maka bagi Aceh situasi ini terasa timpang dengan menanggung risiko, tetapi tidak menikmati hasil optimal.

Bukan berarti Aceh harus menolak kerja sama regional. Namun yang perlu diperjuangkan adalah kesetaraan manfaat.

Aceh harus memastikan ada alokasi gas yang cukup untuk kebutuhan industrinya sendiri sebelum dialirkan keluar.

Pemerintah daerah harus menegosiasikan syarat agar sebagian pasokan gas digunakan untuk membangkitkan kawasan industri lokal, minimal di Lhokseumawe yang punya sejarah panjang dengan LNG Arun.

Selain itu, perlu ada keberanian politik untuk mengatakan bahwa Aceh tidak boleh lagi hanya menjadi penyedia bahan mentah.

Kekayaan gas harus menjadi bahan bakar pembangunan ekonomi yang berkelanjutan di daerah ini.

Jika tidak, maka proyek pipanisasi gas Aceh–Medan akan tercatat sebagai episode baru dari sejarah lama, yaitu Aceh memberi, orang lain menikmati.

Pada akhirnya proyek pipanisasi gas dari Aceh ke Medan memang tampak rasional dari kacamata nasional.

 Sumatera Utara butuh energi, Aceh punya cadangan gas, maka solusi teknis adalah mengalirkannya lewat pipa.

Tetapi dari kacamata Aceh, proyek ini menyisakan kerugian besar yaitu hilangnya nilai tambah, tergantungnya ekonomi pada luar daerah, dan tergerusnya rasa keadilan.

Pertanyaan mendasar yang harus dijawab pemerintah pusat dan daerah adalah: apakah Aceh akan terus menjadi lumbung energi yang habis terkuras tanpa sempat menghidupi anak-anaknya sendiri?

Atau apakah kali ini Aceh berani menuntut agar kekayaannya benar-benar dinikmati oleh rakyatnya? (*)

*) PENULIS adalah Guru Besar Fakultas Kelautan Perikanan dan Pemerhati Energi Aceh

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI

Halaman 3 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved