Kupi Beungoh
MIGAS Mengalir ke Medan, Kemiskinan Mengendap di Aceh
Namun di balik narasi besar itu, muncul satu pertanyaan mendasar, apa sebenarnya manfaat bagi Aceh sendiri?
*) Oleh: Prof Muhammad Irham
PEMBANGUNAN jalur pipa gas dari Aceh menuju Medan beberapa tahun terakhir kerap dipromosikan sebagai langkah strategis untuk memperkuat pasokan energi Sumatera Utara.
Dengan panjang ratusan kilometer, proyek ini diklaim akan mendukung pertumbuhan industri, menstabilkan pasokan listrik, dan meningkatkan daya saing kawasan.
Namun di balik narasi besar itu, muncul satu pertanyaan mendasar, apa sebenarnya manfaat bagi Aceh sendiri?
Atau jangan-jangan, sekali lagi Aceh hanya menjadi penyedia bahan mentah yang menghidupi daerah lain, sementara rakyatnya tetap menonton dari pinggir lapangan dengan tropi kemiskinan?
Sejarah panjang Aceh menunjukkan pola yang berulang. Sejak era eksploitasi LNG Arun di Lhokseumawe pada 1970-an, Aceh menjadi salah satu lumbung energi terbesar di Indonesia.
Gas alam cair yang diolah di Arun sempat diekspor ke Jepang, Korea, dan Taiwan, menghasilkan devisa besar bagi negara.
Namun di tingkat lokal, Aceh tidak pernah benar-benar menikmati manfaat sebanding.
Industri petrokimia di Lhokseumawe yang diwakili Pupuk Iskandar Muda dan beberapa industri turunan justru melemah ketika pasokan gas berkurang, meninggalkan kawasan industri yang nyaris mati suri.
Kini, dengan rencana pipanisasi gas dari Aceh ke Medan, skenario serupa tampak berulang.
Gas yang seharusnya bisa menjadi bahan bakar kebangkitan industri Aceh justru dipasok untuk kebutuhan Sumatera Utara.
Medan dan sekitarnya akan mendapat pasokan energi yang lebih murah dan stabil, mendorong tumbuhnya pabrik, kawasan industri, dan lapangan kerja baru.
Sementara Aceh, lagi-lagi, hanya akan dikenang sebagai “lahan penghasil” tanpa menjadi “pusat penggerak”.
Kerugian pertama yang paling jelas adalah hilangnya nilai tambah ekonomi.
Gas bumi tidak hanya berfungsi sebagai bahan bakar, tetapi juga sebagai input utama bagi industri pupuk, petrokimia, hingga pembangkit listrik.
Apabila infrastruktur ini dibangun untuk mengalirkan gas ke Medan, maka peluang Aceh untuk membangun kawasan industri berbasis gas semakin kecil.
Bayangkan jika gas itu dimanfaatkan di Aceh, bisa tumbuh kawasan industri baru di Lhokseumawe, Langsa, atau Aceh Utara, yang menyerap puluhan ribu tenaga kerja.
Listrik bisa lebih murah, industri rumah tangga berkembang, dan daya tarik investasi meningkat.
Namun dengan mengalirkan gas ke Medan, multiplier effect itu berpindah lintas provinsi. Aceh hanya menjadi penonton, sementara Medan jadi pusat sorotan.
Kerugian berikutnya adalah munculnya ketergantungan struktural.
Aceh seharusnya membangun kemandirian energinya sendiri. Namun dengan menjadikan Sumatera Utara sebagai penerima utama, Aceh justru menempatkan dirinya pada posisi subordinat yaitu sumber daya diekspor keluar, kebutuhan lokal dipenuhi belakangan.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan pengalaman daerah kaya sumber daya lain di Indonesia, Papua dengan tambang emasnya, Riau dengan minyaknya, Kalimantan dengan batubaranya yang pada akhirnya menyaksikan pertumbuhan ekonomi justru terjadi di kota-kota besar di luar wilayah produksi.
Secara regulasi, Aceh memang memiliki keistimewaan melalui skema Dana Otonomi Khusus dan bagi hasil migas yang lebih besar daripada provinsi lain.
Namun, angka di atas kertas tidak sebanding dengan hilangnya peluang industri.
Bagi hasil hanya berupa transfer uang, sedangkan yang hilang adalah ekosistem ekonomi jangka panjang: lapangan kerja, keterampilan, inovasi, hingga peluang UMKM yang bisa hidup dari industri besar.
Apalagi tarif pengangkutan gas melalui pipa ditetapkan oleh BPH Migas di Jakarta.
Dengan harga yang dikontrol pusat, Aceh tidak punya ruang besar untuk menegosiasikan keuntungan tambahan dari sisi komersial.
Pada akhirnya, daerah hanya menerima “royalti”, sementara industri bernilai tinggi tumbuh di luar wilayahnya.
Kerugian ini tidak hanya soal ekonomi, tetapi juga sosial dan politik. Bagi masyarakat Aceh, gas adalah simbol kekayaan alam yang pernah menjadi bahan konflik panjang dengan Jakarta.
Perjanjian damai Helsinki 2005 salah satunya dilandasi janji bahwa Aceh akan mendapat porsi adil dari sumber daya alamnya, terutama setelah BPMA didirikan.
Jika kini gas dari tanah Aceh kembali mengalir ke luar tanpa memberi manfaat nyata bagi rakyat lokal, perasaan ketidakadilan itu akan bangkit lagi. Terus apakabar BPMA.
Narasi “Aceh kaya tapi miskin” bisa semakin menguat. Ironis, ketika anak-anak muda Aceh mencari kerja ke Medan, justru pabrik-pabrik di kota itu beroperasi dengan gas yang dipipakan dari tanah kelahirannya sendiri.
Jangan dilupakan pula, jalur pipa gas melewati tanah Aceh, dengan segala risiko sosial dan lingkungan yang ditimbulkan, seperti pembebasan lahan, potensi konflik dengan warga, dampak ekologis, hingga risiko keamanan pipa di masa depan.
Jika manfaat ekonominya lebih besar dinikmati Medan, maka bagi Aceh situasi ini terasa timpang dengan menanggung risiko, tetapi tidak menikmati hasil optimal.
Bukan berarti Aceh harus menolak kerja sama regional. Namun yang perlu diperjuangkan adalah kesetaraan manfaat.
Aceh harus memastikan ada alokasi gas yang cukup untuk kebutuhan industrinya sendiri sebelum dialirkan keluar.
Pemerintah daerah harus menegosiasikan syarat agar sebagian pasokan gas digunakan untuk membangkitkan kawasan industri lokal, minimal di Lhokseumawe yang punya sejarah panjang dengan LNG Arun.
Selain itu, perlu ada keberanian politik untuk mengatakan bahwa Aceh tidak boleh lagi hanya menjadi penyedia bahan mentah.
Kekayaan gas harus menjadi bahan bakar pembangunan ekonomi yang berkelanjutan di daerah ini.
Jika tidak, maka proyek pipanisasi gas Aceh–Medan akan tercatat sebagai episode baru dari sejarah lama, yaitu Aceh memberi, orang lain menikmati.
Pada akhirnya proyek pipanisasi gas dari Aceh ke Medan memang tampak rasional dari kacamata nasional.
Sumatera Utara butuh energi, Aceh punya cadangan gas, maka solusi teknis adalah mengalirkannya lewat pipa.
Tetapi dari kacamata Aceh, proyek ini menyisakan kerugian besar yaitu hilangnya nilai tambah, tergantungnya ekonomi pada luar daerah, dan tergerusnya rasa keadilan.
Pertanyaan mendasar yang harus dijawab pemerintah pusat dan daerah adalah: apakah Aceh akan terus menjadi lumbung energi yang habis terkuras tanpa sempat menghidupi anak-anaknya sendiri?
Atau apakah kali ini Aceh berani menuntut agar kekayaannya benar-benar dinikmati oleh rakyatnya? (*)
*) PENULIS adalah Guru Besar Fakultas Kelautan Perikanan dan Pemerhati Energi Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI
CSR: Tanggung Jawab Korporasi Bukan Sekedar Derma |
![]() |
---|
Membangun Sistem Kesehatan yang Berkeadilan |
![]() |
---|
Seabad World Animal Day: Selamatkan Hewan, Selamatkan Planet! |
![]() |
---|
Prof Jarjani Usman: Pria Pedalaman Aceh Utara Pemilik Ijazah Sarjana dari Empat Benua |
![]() |
---|
Fenomena Da’i Tendang Mic dan Dakwah Positif Kunci Komunikasi Bahagia |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.