Kupi Beungoh
Prof Jarjani Usman: Representasi Gen X yang Optimistis dan Anti FOMO
Anak muda dari kalangan Gen Z zaman sekarang ini memiliki sejuta alasan dalam berusaha dan mengubah nasib.
Ia tahu benar, perjalanan hidup tidak pernah mudah. Apalagi bagi anak dari keluarga miskin di pelosok Aceh, yang dulu bahkan untuk membeli buku saja harus berpikir panjang. Namun dari kekurangan itulah, ia belajar tentang arti perjuangan.
Baca juga: Syarat & Cara Daftar Magang Kemnaker di maganghub.kemnaker.go.id, Gaji UMP & Bebas Pilih Perusahaan
Pernah Kena Penyakit Malas
Perjalanannya menuju titik ini tidaklah mulus. Ia tersenyum saat mengenang masa kuliahnya dulu.
“Sebelum semester lima, saya bukan tipe orang yang rajin. Datang ke kampus saja kadang malas,” ujarnya sambil tertawa kecil, matanya memancarkan nostalgia.
Namun, sebuah kesadaran datang perlahan, seperti cahaya yang menembus jendela kamar di pagi hari. Di semester lima, ia mulai bertanya pada dirinya sendiri: “Kalau terus begini, mau jadi apa nanti?”
Pertanyaan sederhana itu menjadi titik balik. Ia mulai menolak ajakan hura-hura. Dia memilih duduk berjam-jam di depan buku.
Awalnya teman-temannya menganggapnya berubah, bahkan aneh. Tapi di balik keheningan baru itu, tumbuh sebuah tekad: ingin menembus batas, ingin membuktikan diri.
Selama dua tahun berikutnya, hidupnya diisi oleh disiplin, riset, dan doa. Ia menargetkan beasiswa luar negeri impian yang semula terasa jauh, tapi kemudian perlahan mendekat.
Dari kebiasaan sederhana untuk belajar sungguh-sungguh, ia menemukan arah hidup yang baru: hidup yang digerakkan oleh kesadaran, bukan sekadar keinginan.
Meniti Ilmu di Negeri Orang
Beasiswa ke Kanada menjadi gerbang pertama menuju dunia yang lebih luas. Jarjani belajar bukan hanya tentang ilmu akademik, tapi juga tentang nilai hidup: disiplin, ketekunan, dan bagaimana keberhasilan sejati tak selalu diukur dengan gelar atau gaji tinggi.
“Saya belajar menghargai proses. Di luar negeri, kita dituntut bukan cuma pintar, tapi juga harus bisa bertahan,” ujarnya dengan nada yang tenang namun penuh makna.
Kanada kemudian membuka pintu ke berbagai kesempatan internasional lain. Ia belajar, mengajar, dan bertemu banyak orang dari beragam latar belakang. Tapi di setiap perantauan, ada satu hal yang selalu menemaninya: kerinduan untuk kembali.
“Saya selalu merasa, Aceh itu rumah. Ilmu yang saya bawa ini, kalau tidak untuk mereka, untuk siapa lagi?” katanya mantap.
Di balik keberhasilan dan segala kesempatan yang pernah ia genggam, terselip kesadaran sederhana: tak ada yang lebih berharga daripada bisa memberi arti di tanah sendiri.
Pulang untuk Mengabdi
Ketika akhirnya pulang ke Banda Aceh pada 2016, Profesor Jarjani tidak membawa kebanggaan, melainkan tanggung jawab.
Ia datang bukan untuk beristirahat, tapi untuk berbuat lebih. Ia mengajar, menulis, membimbing mahasiswa, dan membangun harapan baru di dunia pendidikan Aceh.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.