Kupi Beungoh
Dr A Rani Usman MSi: Dari Pedalaman Aceh Timur Membangun Jaringan ke Negeri Tirai Bambu
Menurut Dr. Rani, peradaban China merupakan salah satu yang tertua dan tertinggi di dunia.
Oleh: Syaqira Assyabirra
Suatu hari di tahun 1980-an, seorang remaja dari keluarga sangat sederhana asal pedalaman Aceh Timur, memutuskan merantau ke Kota Banda Aceh, guna mengubah “takdir”.
Remaja itu tak ingin menjadi pengangguran atau kerja mocok-mocok ala preman kampung. Ia memiliki mimpi besar, menaklukkkan kota, menyaksikan kebesaran bangsa-bangsa besar di dunia, dan mengambil sebagian peran.
Itulah Dr A Rani Usman MSi. Lahir pada 31 Desember 1963 di Ulee Ateung, Madat, Aceh Timur, Rani Usman tumbuh di keluarga sederhana. Ayahnya adalah seorang guru ngaji, sedangkan neneknya adalah petani lada dan pinang.
Sejak muda, beliau telah terbiasa bergaul dengan berbagai kalangan, termasuk para guru, yang menanamkan semangat belajar dan tekad untuk maju.
Motivasinya semakin kuat setelah orang tua meninggal dunia. Beliau bertekad mencari rezeki dan ilmu sendiri.
Seusai SMA, beliau memutuskan merantau ke Banda Aceh dengan modal yang seadanya. Di Banda Aceh, beliau menempuh kuliah di Jurusan Komunikasi, Fakultas Dakwah, IAIN Ar-Raniry, dan lulus pada tahun 1991.
Setelah tamat, beliau ingin menjadi wartawan. Bahkan, sempat melamar sebagai wartawan sekaligus dosen dalam waktu yang bersamaan.
Namun akhirnya beliau memilih menekuni dunia pendidikan dan menjadi dosen. Demi memperdalam ilmu, beliau melanjutkan studi S2 di Universitas Padjadjaran Bandung pada tahun 1994, lalu melanjutkan program doktor di universitas yang sama dengan fokus penelitian komunikasi antarbudaya, khususnya tentang China.
Ketertarikan beliau terhadap budaya China berawal dari ketenaran film-film China serta kebiasaannya membaca Harian Analisa yang memuat tulisan tentang China. Beliau merasa, pembelajaran komunikasi antarbudaya tidak akan lengkap tanpa memahami langsung negeri tirai bambu tersebut.
Dengan keberanian besar, beliau mendatangi Kedutaan Besar China dan mengajukan beasiswa. Meskipun beliau baru memahami sedikit Bahasa Mandarin, niat dan semangatnya membuahkan hasil. Beliau akhirnya diterima belajar di Nanjing Normal University setelah menyelesaikan studi S3-nya di Unpad.
Beliau menceritakan bahwa pertama kali tiba di China, beliau belum lancar berbahasa Mandarin. Namun, karna tekad dan ketekunan beliau membuatnya mampu beradaptasi dengan masyarakat yang berbeda budaya, bahasa, agama, dan karakter. Kemudian beliau mempelajari bahasa Mandarin dengan serius, karena ilmu tersebut bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk anak-anak dan cucunya.
Baca juga: Wanita di Malaysia Potong Anu Kekasihnya, Kesal Dengar Pengakuan Punya Istri di Bangladesh
Belajarlah dari China
Menurut Dr. Rani, peradaban China merupakan salah satu yang tertua dan tertinggi di dunia. Jika sebuah bangsa ingin maju, ada baiknya belajar dari China.
Hubungan masyarakat China dengan Timur Tengah telah terjalin erat sejak lama melalui jalur sutra. Jalur ini bukan hanya penghubung Asia, tetapi juga membuka komunikasi ke Timur Tengah. Karena itulah, hubungan antara kedua kawasan ini berlangsung baik dan penuh warisan sejarah.
Beliau berkata, China berusaha mengajarkan budayanya dengan prinsip kesetaraan. Dari semangat kesetaraan itulah, bangsa China menjadi teguh dalam bidang ekonomi.
Meski sempat terpuruk akibat perang dan bencana pada tahun 1960-an, China bangkit dengan tekad memperbaiki kondisi ekonomi pedalaman mereka. Kini, negeri itu tumbuh menjadi salah satu kekuatan besar dunia, baik dari sisi ekonomi, politik, maupun militer.
Cara China berkomunikasi dengan dunia luar salah satunya dengan memberikan beasiswa kepada anak-anak di seluruh dunia. Melalui pendidikan, mereka menyebarkan ilmu pengetahuan, peradaban, dan ekonomi.
“Etnis China di Indonesia sendiri merupakan minoritas yang dominan di dalam bidang ekonomi” ujarnya.
“Mereka punya etos kerja tinggi, moral yang baik, jam kerja disiplin, dan wawasan yang luas,” sambung Rani.
Karena Indonesia merupakan mitra strategis bagi Tiongkok, Dr. Rani menekankan pentingnya hubungan sejajar. “Kalau tidak, kita akan tertinggal,” ujarnya.
“Bangunlah hubungan baik dengan negeri China. Bek lagee katak lam tempurung (jangan menutup diri dari dunia luar)”
Beliau juga menambahkan, komunikasi antara Aceh dan China sudah terjalin sejak masa kesultanan Samudra Pasai yang bekerja sama dengan Dinasti Ming. Bahkan duta besar pertama dari Aceh bukan ke Belanda, melainkan ke Nanjing, China.
Sekitar 50 persen masyarakat Dinasti Ming kala itu beragama Islam, namun hal ini jarang diketahui karna minimnya informasi positif tentang China di media.
“Yang sering muncul justru berita negatif, padahal hubungan kita sudah sangat lama dan baik,” ujar pria ramah ini.
Baca juga: Pendidikan Magister Ekonomi Syariah, Sejarah Baru bagi Barsela
Cita-cita yang Tertunda
Sebagai dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi (2012-2016), A Rani memiliki mimpi besar untuk memajukan kampus. Pada masa kepemimpinannya, beliau membuka kelas internasional sejak tahun 2012 hingga 2016.
Sejak 2012, beliau sudah banyak mengirim mahasiswa ke China dengan harapan kembali ke Fakultas Dakwah UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan mengajar di Fakultas Dakwah.
Namun kini, program tersebut sudah tidak berjalan lagi. Bagi beliau, itu adalah cita-cita yang tertunda, menunggu generasi penerus yang memiliki semangat dan sumber daya untuk melanjutkannya.
“Banyak alumni kelas internasional yang dibuka Mullah Rani sekarang bekerja di berbagai lembaga besar, baik di Aceh maupun di provinsi lain, termasuk ada yang menjadi dosen di UIN Palembang,” kata dosen kami dari kelas Writing, Editing dan Reporting, Hasan Basri M.Nur PhD.
Salah satu mimpi besarnya adalah mendirikan Program Studi Bahasa Mandarin di Aceh, di mana pun itu. Karena keterbatasan sumber daya, beliau akhirnya membuka kelas Bahasa Mandarin di rumahnya sendiri.
Pesan untuk Mahasiswa
Menurut Dr. Rani, mahasiswa masa kina harus mampu melawan hoax, berpikir positif, serta mencari nilai-nilai baik dalam setiap hal.
“Kalian harus melahirkan ide-ide positif” pesannya. “Anak-anak Aceh harus berani melihat dunia luar, agar hidup menjadi lebih sehat dan terbuka,” pesan pria tampan berkumis tebal ini.
A Rani adalah contoh pria yang terlahir di pedalaman namun berhasil menundukkan kota. Rasanya tak ada alasan bagi generasi zoomers di era transformasi digital sekarang ini untuk hidup di bawah tempurung. Semoga!
Banda Aceh, 10 Oktober 2025
Penulis: Syaqira Assyabirra. Mahasiswi Prodi KPI FDK UIN Ar-Raniry, email: …
Pentahelix Sang Jenderal: Menuju Aceh Berkelanjutan |
![]() |
---|
Lebih dari Sekadar Angka: Mengapa Kualitas Persalinan Ibu di Daerah Terpencil Masih Menjadi Taruhan? |
![]() |
---|
Potret Toleransi Agama di Aceh: Imelda Purba Nyaman Berbisnis Buah-buahan di Pasar Lambaro |
![]() |
---|
Untuk Tiga Perempuan Seniman Aceh: Benarkah Aturan Jilbab Syariat Islam Merendahkan Perempuan? |
![]() |
---|
Mengapa Mendirikan Fakultas Kedokteran di UTU? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.