KUPI BEUNGOH
Brain Rot: Generasi Kehilangan “Otak” Brilian
Anak-anak yang terbiasa bermain gim atau menonton video pendek lebih mudah marah, cemas, dan gelisah
Oleh: Dr. Muhammad Nasir*)
Ketika Otak Anak Tersesat di Dunia Digital
Bayangkan sejenak, seorang anak berusia delapan tahun duduk di ruang keluarga yang redup dan sunyi, wajahnya hanya diterangi cahaya layar ponsel yang berganti warna setiap detik.
Jemarinya menari di atas layar, matanya terpaku, pikirannya melompat dari satu video ke video lain tanpa arah dan jeda. Dunia digital yang ia masuki begitu riuh, namun kesepiannya nyaris tak terdengar.
Di balik sorot matanya yang hidup, ada kelelahan kognitif yang perlahan mematikan daya renung. Ia tumbuh di tengah arus informasi yang deras, tetapi kehilangan kemampuan untuk berhenti dan berpikir.
Fenomena ini disebut para pendidik sebagai Brain Rot, generasi yang otaknya tersusun dari titik-titik informasi tercecer, bukan jejaring pengetahuan yang utuh.
Mereka tahu banyak hal, tetapi hanya di permukaan. Mereka cepat menanggapi, tapi jarang memahami.
Dunia digital telah menukar kedalaman dengan kecepatan, mengganti pemikiran panjang dengan respons instan.
Tanpa sadar, kita sedang menyaksikan lahirnya generasi yang pandai bereaksi, namun kehilangan seni untuk merenung, generasi yang tahu cara menjawab, tetapi lupa cara bertanya.
Ketika Dunia Digital Mengambil Alih Otak Anak
Anak-anak hari ini hidup dalam dunia tanpa jeda. Notifikasi berdenting, video berganti tiap detik, dan algoritma memastikan mereka tak pernah berhenti menggulir.
Otak yang seharusnya belajar melalui keterhubungan makna kini terbiasa berpindah cepat dari satu sensasi ke sensasi lain.
Akibatnya, mereka kehilangan kemampuan fokus mendalam dan mengalami kelelahan mental dini. Berbagai studi menunjukkan bahwa paparan layar berlebih menghambat konsentrasi dan memicu perilaku impulsif.
Baca juga: Inflasi: Pencuri yang tak Pernah Ditangkap
Anak-anak yang terbiasa bermain gim atau menonton video pendek lebih mudah marah, cemas, dan gelisah. Mereka cepat bosan terhadap pembelajaran yang memerlukan kesabaran dan berpikir panjang.
Di ruang kelas, mereka hadir secara fisik, tetapi pikiran mereka tersesat di dunia maya yang tak bertepi.
Inilah wajah baru krisis pendidikan modern: bukan lagi soal fasilitas atau kurikulum, melainkan disintegrasi perhatian.
Otak anak kini bekerja dalam pola serba cepat, menolak jeda, dan menginginkan rangsangan tanpa henti. Mereka tumbuh dengan banyak informasi, namun miskin makna; penuh data, tetapi tanpa daya tafsir.
Dunia Bergerak, Kita Tertinggal
Bandingkan dengan Tiongkok dan Iran, dua negara dengan rata-rata IQ tertinggi di dunia. Berdasarkan International IQ Test (IIT) 2024, rata-rata IQ warga Tiongkok mencapai 107, sementara Iran 106, jauh di atas rata-rata global 98.
Dalam Olimpiade Sains Internasional 2024, Tiongkok menjadi runner-up global setelah Amerika Serikat, memborong medali emas di bidang matematika, fisika, dan komputer.
Iran menempati posisi ketiga dunia dengan 10 emas, 10 perak, dan 2 perunggu, termasuk juara pertama Olimpiade Astronomi dan peringkat keempat Fisika.
Apa rahasianya?
Kedua negara ini menata paparan digital anak-anaknya secara ketat. TikTok versi Tiongkok (Douyin) hanya menampilkan konten edukatif dan sains, dengan waktu tayang maksimal 40 menit per hari.
Pemerintah Iran membangun ekosistem digital berbasis riset dan literasi ilmiah, bukan hiburan kosong.
Negara-negara maju di Eropa pun sadar akan bahaya ini. Prancis telah melarang penggunaan ponsel di sekolah dasar dan menengah sejak 2018.
Australia mengikuti pada 2024: siswa di bawah 15 tahun wajib menyerahkan ponsel di pintu sekolah.
Belgia, Belanda, dan Swedia sedang mengadopsi kebijakan serupa, setelah menyimpulkan bahwa kecanduan gawai menurunkan daya fokus dan prestasi akademik.
Para pemimpin pendidikan di Eropa menyebut fenomena ini sebagai silent epidemic, epidemi sunyi yang merusak generasi tanpa disadari.
Baca juga: Manusia, Predator Tanpa Taring
Mereka ingin menyelamatkan anak-anak dari dunia layar yang memenjarakan imajinasi.
Sementara di Indonesia, kita justru sering merayakan viralitas. Anak-anak menjadi selebritas kecil dengan video lucu, tarian pendek, atau prank yang ditonton jutaan orang.
Di balik tawa dan sorak, kita lupa bahwa sedang tumbuh generasi yang kehilangan arah antara hiburan dan peradaban.
Melatih Anak Bersabar dan Disiplin: Kearifan Lama untuk Dunia Baru
Islam sejak awal telah mengajarkan disiplin dan kesabaran sejak dini. Anak dilatih berpuasa, shalat tepat waktu, dan menjaga kebersamaan dalam ibadah berjamaah.
Semua itu bukan sekadar ritual, tetapi pelatihan struktur mental dan spiritual.
Dalam setiap ibadah ada latihan menunda keinginan, mengatur waktu, dan menundukkan ego, sesuatu yang kini mulai hilang di era digital yang serba instan.
Penelitian modern pun menguatkan kearifan ini. Eksperimen terkenal Marshmallow Test oleh Walter Mischel di Universitas Stanford menunjukkan bahwa anak-anak yang mampu menunda kepuasan (delayed gratification) tumbuh menjadi individu yang lebih kompeten, fokus, dan sukses.
Mereka memiliki kontrol diri yang lebih kuat dan ketahanan mental dalam menghadapi stres.
Kebiasaan menunda kepuasan inilah fondasi utama dalam membangun konsentrasi dan daya tahan mental di era digital.
Ketika anak mampu menunggu, menahan diri, dan tetap fokus pada Visi dan tujuan jangka panjang, ia sedang melatih otaknya untuk berpikir dalam, bukan sekadar bereaksi cepat.
Digital Parenting: Menjemput Kembali Kesadaran
Kini saatnya orang tua mengambil peran utama. Dunia digital tak bisa dihapus, tetapi bisa ditata ulang. Orang tua bukan sekadar pengawas, melainkan kurator dunia digital anak.
Menyusun waktu layar, menciptakan ruang hening di rumah, membaca bersama, berdialog tanpa distraksi, semua itu adalah investasi jangka panjang bagi kecerdasan emosional dan reflektif anak.
Penelitian di Harvard University (2023) menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki “zona tenang digital” di rumah, yakni waktu tanpa layar setiap hari, mengalami peningkatan signifikan dalam empati, daya ingat, dan ketekunan belajar.
Baca juga: Harga Emas di Banda Aceh Hari Ini Dekati Rp 8 Juta Per Mayam, 17 Oktober 2025 Dijual Naik Segini
Artinya, pembatasan bukanlah bentuk larangan, melainkan pemulihan makna hidup di tengah bisingnya dunia virtual.
Digital parenting berarti menyusun ulang prioritas keluarga: bukan seberapa banyak anak menguasai aplikasi, tetapi seberapa dalam mereka mengenali dirinya sendiri.
Dalam dunia yang serba cepat, kemampuan untuk berhenti, mendengar, dan berpikir menjadi tanda kecerdasan sejati.
Menjemput Kembali Generasi Berpikir
Jika dibiarkan, kita akan menyaksikan generasi yang cepat meniru, tetapi lemah memahami; pintar menjawab, namun gagal bertanya; sibuk mencari data, tetapi kehilangan arah makna.
Generasi Brain Rot bukanlah kutukan, melainkan peringatan.
Bahwa di tengah derasnya arus informasi, manusia tetap membutuhkan ruang untuk hening, berpikir, dan merasa.
Kita perlu mengembalikan anak-anak pada kodratnya sebagai makhluk pembelajar yang utuh, yang tak hanya menggunakan otak untuk bereaksi, tetapi juga untuk mengolah makna hidup.
Sebab sejatinya, kecerdasan bukan terletak pada seberapa cepat mereka menjawab, melainkan seberapa dalam mereka memahami.
Baca juga: 15 Prompt Gemini AI: Ubah Foto Biasa Jadi Hasil Pemotretan Profesional, Tinggal Copas Teks Berikut!
Masa depan bangsa ini tidak ditentukan oleh kecepatan jari menggulir layar, tetapi oleh kedalaman pikir dan kejernihan hati dalam memahami dunia.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Tidak ada seorang pun yang dilahirkan kecuali dilahirkan di atas fitrah.
Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.” (HR. al-Bukhari no. 1358 dan Muslim no. 2658)
Wallahu’alam bissawab.
*) PENULIS adalah Dosen Magister Keuangan Islam Terapan Politeknik Negeri Lhokseumawe; Peneliti Sosial Kemasyarakatan; Pembina Yayasan Generasi Cahaya Peradaban.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI
generasi
generasi muda
Generasi Kehilangan Otak Brilian
pendidikan
Serambi Indonesia
Serambinews
kupi beungoh
| Menemukan Titik Equilibrium Sistem Ekonomi Pancasila |
|
|---|
| Semarak HUT ke-437 Kota Meulaboh: Harapan dan Resolusi Generasi Muda Memperkuat Jati Diri Aceh Barat |
|
|---|
| Peringatan untuk Prabowo: Mengirim TNI ke Gaza Berisiko Menjebak Indonesia dalam Agenda Israel-Trump |
|
|---|
| Ketika Pendidikan Mencari Jiwanya |
|
|---|
| Yang tak Terliput dari Lirboyo |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.