Kupi Beungoh
Paradoks HIV/AIDS Di Negeri Syariah
Dengan judul “Paradoks HIV/AIDS di Negeri Syariah”, tulisan ini mencoba mengeksplorasi ketegangan antara norma moral, agama dan realitas kesehatan.
*) Oleh : Irfan Maulana, SH
ACEH merupakan provinsi yang menerapkan hukum Islam dalam sistem sosial dan pemerintahan.
Namun ironi muncul ketika kita melihat fakta tentang penyebaran HIV/AIDS di provinsi ini, meskipun diterapkan syariat Islam, angka kasus justru menunjukkan tren kenaikan yang mengkhawatirkan.
Tingginya kasus HIV/AIDS berkaitan dengan perilaku risiko seksual yang berganti, dalam hal ini banyak perbuatan seksual tanpa pernikahan yang sah.
Dalam hukum Islam, tindakan tersebut didefinisikan sebagai zina dan dilarang, seharusnya tidak ada di provinsi yang menerapkan nilai syariat Islam dalam kesehariannya.
Inilah sebabnya mengapa kasus HIV/AIDS bukan hanya dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat Aceh, tetapi juga mencerminkan adanya kesenjangan antara idealisme nilai syariat dan realitas sosial yang terjadi di Aceh.
Dengan judul “Paradoks HIV/AIDS di Negeri Syariah”, tulisan ini mencoba mengeksplorasi ketegangan antara norma moral, agama dan realitas kesehatan masyarakat di Aceh.
1. Fakta dan Tren Kasus HIV/AIDS di Aceh
Dikutip dari laman Website Dinas Kesehatan Aceh, menunjukkan data bahwa terdapat 2.015 kasus HIV/AIDS di Aceh, terdiri dari 1.953 kasus HIV dan 62 kasus AIDS.
Sementara itu, dari Januari hingga Agustus 2025, tercatat 233 kasus baru, yang berarti hampir setiap 24 jam muncul satu kasus baru di Aceh.
Kenaikan kasus tampak cepat, misalnya di Aceh pada 2023 tercatat 325 kasus HIV dan 18 AIDS, naik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Selain itu, terdapat peningkatan dalam kelompok usia muda (11-20 tahun) yang dikutip mencapai 13 persen dari total kasus di periode Januari-Juli 2025.
Data dari ibu kota, Banda Aceh juga menunjukkan angka cukup besar, yaitu total 837 kasus HIV/AIDS, terdiri dari 824 kasus HIV positif dan 13 kasus AIDS. Sebanyak 30 penderita telah meninggal dunia.
Dengan norma syariah yang dicanangkan di Aceh, kondisi ini menimbulkan pertanyaan, mengapa di daerah yang secara resmi mengklaim penguatan syariat Islam, justru temuan HIV/AIDS menunjukkan masalah serius.
2. Norma Syariah vs Realitas Kesehatan Masyarakat
Aceh dikenal sebagai daerah ‘syariah’ dan sebagai daerah syariah memiliki banyak peraturan yang berbasis agama termasuk pelaksanaan qanun jinayat, tradisi yang sudah berakar dari lingkaran studi agama, pendidikan agama di sekolah, pengawasan moral, dan bahkan penerapan polisi syariat.
Ini menciptakan paradoks yaitu norma moral dan instrumen agama seharusnya mencegah perilaku berisiko, tetapi kenyataannya malah sebaliknya karena perilaku tidak bermoral semakin merajalela dan bahkan meningkat.
Dalam hal ini, kemungkinan penyebab perilaku ini tidak sepenuhnya dapat dikendalikan oleh regulasi moral.
Paradoks ini tidak hanya soal angka, tetapi menyiratkan bahwa implementasi syariat atau norma agama, terutama dalam aspek kesehatan masyarakat Aceh memerlukan pendekatan yang lebih baik.
Pertama perlu integrasi antara norma agama dan edukasi kesehatan.
Seharusnya institusi keagamaan, lembaga pendidikan, dan dinas kesehatan bersinergi agar materi tentang kesehatan reproduksi, penularan HIV/AIDS, dan skrining dapat dijalankan.
Kedua layanan yang ramah dan inklusif bagi kelompok kunci, tanpa memandang orientasi seksual atau identitas gender, yang memang bisa menjadi sensitif di Aceh, pelayanan kesehatan harus menjangkau semua orang berisiko agar tidak ada yang “tersembunyi” dan menjadi sumber penularan.
Ketiga, mengurangi stigma sebagai bagian penting penanggulangan.
Norma syariah mungkin memandang perilaku tertentu sebagai “melanggar moral”, namun dalam kesehatan masyarakat, fokusnya adalah pencegahan dan pengobatan, bukan penghakiman.
Jika stigma tinggi, orang enggan diperiksa atau berobat, sehingga penyakit makin meluas.
Keempat, memperkuat skrining dan deteksi dini, terutama di kalangan remaja dan pendatang.
Data di Aceh menunjukkan kasus usia muda dan migran cukup signifikan.
Program khusus untuk remaja (sekolah menengah) dan pendatang sangat penting. Kelima, monitoring dan evaluasi yang berbasis data.
Angka-angka kenaikan harus direspon dengan kebijakan yang tepat sasaran, bukan semata-mata dengan pesan moral saja.
3. Refleksi Untuk Negeri Bersyariat
Secara moral dan etis, Aceh dengan nilai dan pengaturan moral agama yang ketat masih perlu melakukan refleksi.
Apakah suatu daerah dengan penerapan syariat Islam itu bisa “bersih” dari penyakit HIV/AIDS? Pada kenyataannya, “tidak”.
Tanpa pelayanan kesehatan dan pendidikan yang efektif serta inklusivitas, pengaturan moral tetap gagal.
Lebih dalam lagi, apakah tujuan utama nya “melarang suatu perilaku” atau “menyelamatkan nyawa?.
Apakah ada keyakinan bahwa perilaku berisiko semua akan dihentikan sepenuhnya justru karena pengaturan norma agama yang kuat? Bila risiko tetap ada, maka apakah yang perlu dikoreksi? norma? Layanan? atau keduanya?
Aceh benar-benar berada dalam suatu dilema, dihadapkan kepada penyakit menular dengan kondisi keagamaan yang primitif dan membutuhkan pendekatan medis.
Daerah yang mengaku diri “negeri syariah” juga perlu berfikir, syariah “apa” yang bisa menyelamatkan masyarakat dari HIV?/AIDS.
4. Kesimpulan
Paradoks HIV/AIDS di Aceh adalah sebuah panggilan sadar bahwa mengandalkan hanya pada regulasi moral dan identitas agama tidak cukup untuk mengatasi tantangan kesehatan masyarakat yang nyata.
Di “Negeri Syariah” ini, angka kasus HIV/AIDS naik, kelompok berisiko tersembunyi, edukasi kurang menyentuh, layanan belum optimal, semuanya menunjukkan bahwa faktor sosial, budaya, medis dan struktural saling berkait.
Aceh punya potensi besar, norma agama bisa menjadi landasan moral yang kuat untuk pencegahan penyakit, tetapi harus diiringi dengan langkah konkret, seperti kepatuhan masyarakat terhadap regulasi, pendidikan seks sehat yang dapat dibuat sesuai dengan konteks budaya dan kultur masyarakat Aceh,
layanan ramah bagi semua tanpa diskriminasi dan penghakiman, skrining deteksi dini bagi semua kalangan, khususnya kaum muda, dan pengurangan stigma bagi yang terkena agar mampu diobati segera.
Tanpa itu, syariah sebagai label moral bisa menjadi semacam “topeng” yang menutupi masalah, bukan menyelesaikannya.
Akhirnya, tanggung jawab bersama, baik dari pemerintah, lembaga agama, masyarakat sipil hingga keluarga harus menyatu.
Karena keselamatan nyawa dan kesehatan publik adalah nilai universal yang melampaui identitas dan norma semata.
Di Aceh, tantangannya bukan hanya moralitas, tetapi juga efektivitas dan kemanusiaan dalam penanganan HIV/AIDS.
Dengan demikian, paradigma “Negeri Syariah” tidak hanya sekadar penerapan norma, melainkan juga penerapan keadaban kesehatan, inklusi, dan pelayanan jiwa.
*) PENULIS adalah pegiat sosial dan pemerhati hukum.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Irfan-Maulana-SH-010101.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.