Jurnalisme Warga

Lezatnya Bakso Citra Babo di Pedalaman Tamiang

singgah di sebuah warung bakso yang cukup populer di daerah Babo, tepatnya di tepi jalan lintas Kuala Simpang–Babo.

Editor: mufti
IST
FAISAL, S.T., M.Pd., Kepala SMKN 1 Julok dan Ketua IGI Aceh Timur, melaporkan dari Kualasimpang, Aceh Tamiang 

FAISAL, S.T., M.Pd., Kepala SMKN 1 Julok dan Ketua IGI Aceh Timur, melaporkan dari Kualasimpang, Aceh Tamiang

Udara pagi masih terasa sejuk ketika saya bersama seorang rekan asesor bersiap melaksanakan visitasi ke sebuah sekolah di pedalaman Aceh Tamiang. Hari itu, Selasa, 30 September 2025, sekitar pukul 06.30 WIB, kami berangkat dari penginapan menuju lokasi sekolah yang berada di Desa Jambo Rambong, Kecamatan Bandar Pusaka, sebuah kawasan yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk kota.

Dari pusat Kota Kualasimpang, perjalanan menuju desa tersebut memakan waktu sekitar 45 menit. Sebagian ruas jalan memang sudah beraspal mulus, tetapi di beberapa titik masih terdapat lubang-lubang kecil yang memaksa kendaraan melaju perlahan. Meski demikian, perjalanan tetap terasa menyenangkan, sebab pemandangan hijau perkebunan dan suasana pedesaan yang asri menjadi teman sepanjang jalan.

Di kiri-kanan jalan, hamparan perkebunan sawit milik warga terbentang luas, sesekali berganti dengan deretan pohon karet yang batangnya dideres rapi untuk ditampung getahnya. Pemandangan itu menjadi ciri khas wilayah pedalaman Aceh Tamiang yang masih alami dan jauh dari ingar bingar perkotaan.

Perjalanan terasa menenangkan, meski sesekali kami harus memperlambat kendaraan karena kondisi jalan yang berlubang. Namun, keindahan alam sekitar seakan mampu menghapus rasa letih. Saya membatin, betapa besar potensi desa-desa di pedalaman ini jika infrastruktur bisa diperbaiki dengan baik.

Sekitar pukul 07.15 WIB, kami tiba di sekolah tujuan. Bangunannya sederhana, tetapi tampak terawat, dengan halaman yang cukup luas dan dikelilingi pepohonan sehingga suasananya terasa asri. Ruang-ruang kelas terlihat bersih dan rapi, sementara alat permainan edukatif (APE) baik di dalam maupun di luar ruangan masih layak digunakan. Kehangatan sambutan dari guru dan warga sekitar sekolah membuat perjalanan panjang itu terasa begitu berharga.

Kami pun segera memulai tugas sebagai asesor akreditasi. Proses penilaian berlangsung sejak pagi hingga sore hari, penuh diskusi, observasi, dan pencatatan. Meski cukup melelahkan, semua kegiatan ini saya anggap sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan profesional untuk memastikan mutu pendidikan di daerah tetap terjaga dan terus meningkat.

Usai menyelesaikan rangkaian kegiatan visitasi, sekitar pukul 16.00 WIB, kami bersiap kembali ke penginapan. Sebelum tiba di Kualasimpang, kami menyempatkan diri singgah di sebuah warung bakso yang cukup populer di daerah Babo, tepatnya di tepi jalan lintas Kuala Simpang–Babo.

Warung tersebut bernama Bakso Citra, yang sudah dikenal masyarakat sekitar sebagai tempat persinggahan bagi para pelintas jalan maupun warga setempat yang ingin menikmati hidangan sederhana, tetapi kaya rasa.

Dalam perjalanan menuju warung, saya dan rekan sesama asesor, Pak Erliadi, berbincang ringan mengenai kondisi jalan yang kami lalui. “Coba kalau pemerintah memperbaiki jalan yang berlubang ini, hasil perkebunan masyarakat tentu bisa lebih cepat diangkut, dan biaya operasional pun akan jauh lebih murah,” ujarnya.

Saya mengangguk setuju. Di wilayah pedalaman seperti ini, akses jalan bukan hanya sekadar prasarana perhubungan, melainkan urat nadi perekonomian warga.

Mayoritas masyarakat di Kecamatan Bandar Pusaka menggantungkan hidup dari sektor perkebunan dan pertanian. Selain sawit yang mendominasi, terdapat pula kebun karet, kakao, dan sebagian kecil menanam padi, jagung, sayur-mayur, serta tanaman nilam.

Menurut pengakuan Bu Boimah, pengawas sekolah di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Tamiang yang kerap melintasi kawasan ini, sayuran dari Desa Babo cukup terkenal dengan kesegarannya. “Sayuran di sini segar-segar Pak, dan ditanam secara organik. Jadi, banyak orang dari luar desa juga membelinya,” ujar beliau ketika kami berbincang santai.

Pak Er yang mendengar penuturan itu hanya menimpali sambil tersenyum, “Lima tahun lagi kita ke sini, jalannya masih tetap seperti ini.” Sebuah komentar singkat yang sesungguhnya mengandung kritik terhadap lambannya perhatian pemerintah pada infrastruktur pedesaan.

Setibanya di Warung Citra, aroma kuah bakso langsung menyambut kami. Suasananya sederhana, dengan kursi kayu dan meja panjang yang tertata rapi. Kesederhanaan itu tidak mengurangi kenyamanan pengunjung.

Harga makanan di sini pun tergolong ramah di kantong. Satu porsi bakso komplit dibanderol Rp15.000, bakso biasa Rp10.000, sedangkan seporsi bakso polos hanya Rp6.000. Untuk minuman, tersedia teh panas seharga Rp4.000 dan teh dingin Rp5.000.

Selain bakso, warung ini juga menawarkan berbagai camilan khas, di antaranya pisang goreng jumbo yang dijual seribu rupiah per potong. Ada pula kemplang atau sebagian orang menyebutnya ‘getas’, jajanan tradisional khas Desa Babo.

Menurut pemilik warung, kemplang dibuat dari campuran tepung ketan, tepung beras, garam, kelapa parut, dan santan yang diaduk hingga kalis. Adonan kemudian dibentuk tipis, digoreng dalam minyak panas, lalu dilapisi dengan gula yang dimasak hingga mengeras. Proses sederhana ini menghasilkan camilan renyah dengan rasa manis gurih yang pas di lidah.

Seorang pengunjung yang kami temui bernama Nurhamidah, menuturkan bahwa cita rasa bakso Citra memiliki keunikan tersendiri. “Yang terkenal itu bakso di sini, Pak. Kuahnya terasa sekali, gurih tanpa pengawet. Kalau sudah sekali mencoba, biasanya pasti ingin kembali,” ujarnya sambil tersenyum.

Kami pun memesan masing-masing seporsi bakso untuk mengisi perut yang sejak pagi belum mendapat asupan makanan berat. Saat suapan pertama, rasa kuah gurih dengan bumbu yang pas langsung menggugah selera.

Baksonya lembut, kenyal, tidak berlebihan, seakan dibuat dari bahan pilihan. Pak Er yang duduk di samping saya berkomentar, “Rasanya sangat menggugah selera. Baksonya lembut, kuahnya gurih, bumbunya terasa sekali. Mantap rasanya, mantap pula harganya.”

Sambil menikmati bakso hangat, kami juga mencicipi kemplang khas Babo. Teksturnya renyah dengan lapisan gula tipis yang memberikan sensasi manis gurih. Perpaduan ini sangat cocok dijadikan camilan sore hari sembari berbincang ringan.

Menikmati bakso di pedalaman Tamiang memberi pengalaman tersendiri bagi kami. Di satu sisi, kami baru saja melaksanakan tugas resmi melakukan visitasi sekolah yang melelahkan. Di sisi lain, kehangatan suasana warung sederhana dengan cita rasa kuliner khas desa mampu menghadirkan rasa lega dan kebahagiaan sederhana.

Setelah puas menyantap hidangan, kami kembali melanjutkan perjalanan ke penginapan untuk menyusun laporan hasil visitasi dan beristirahat.

Pengalaman singgah di Warung Bakso Citra Babo mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari sesuatu yang mewah. Terkadang, seporsi bakso sederhana di warung pedesaan mampu menghadirkan kesan mendalam, apalagi ketika dinikmati setelah seharian bekerja keras.

Semoga suatu saat nanti, ketika kami kembali bertugas di Aceh Tamiang, jalan menuju desa-desa pedalaman sudah jauh lebih baik, sehingga bukan hanya baksonya yang terkenal, tetapi juga masyarakatnya semakin sejahtera.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved