Kupi Beungoh

Gula Darah Melonjak, Tubuh Mengirim Sinyal Bahaya

Kadar glukosa yang meningkat membuat darah lebih kental, menghambat aliran oksigen ke jaringan, sehingga tubuh mudah lelah dan otot terasa berat.

Editor: Amirullah
For Serambinews.com
Prof. Dr. dr. Rajuddin, SpOG(K), Subsp.FER, Guru Besar Universitas Syiah Kuala; Ketua IKA UNDIP Aceh; Sekretaris ICMI Orwil Aceh 

Kembali ke kasus pasien ini: nilai HbA1c sebesar 13,2 persen menunjukkan bahwa rata-rata kadar gula darahnya dalam tiga bulan terakhir berada di kisaran 300–350 mg/dL. Angka ini bukan hanya mampu menjelaskan keluhan: mudah lelah dan pegal-pegal, tetapi juga cukup tinggi untuk meningkatkan risiko serangan jantung, stroke, gangguan ginjal, neuropati, infeksi rongga mulut, hingga gangguan penglihatan.

Pada titik ini, diabetes bukan lagi hanya soal gangguan metabolisme. Ia telah menjelma menjadi penyakit pembuluh darah, perlahan merusak organ vital melalui proses kronis yang sering kali tidak disadari. Satu per satu sistem tubuh dapat terdampak jika glukosa tidak dikendalikan.

Kasus pasien ini mengingatkan kita pada satu pesan sederhana namun penting: mengelola kadar gula darah bukan pilihan atau preferensi gaya hidup, tetapi keharusan medis untuk menjaga kualitas hidup dan mencegah komplikasi yang lebih berat.

Baca juga: Pembunuh Bonio Raja Gadja Mahasiswa Universitas Medan Area Ditangkap, Pelaku Bawa Kabur Motor Korban

Mengapa Banyak Orang Gagal Mengendalikan Diabetes?

Dalam praktik sehari-hari, banyak pasien tidak minum obat secara teratur, jarang kontrol, atau menolak penggunaan insulin meski telah direkomendasikan.

Ada yang takut jarum suntik, ada yang ragu terhadap manfaatnya, dan tidak sedikit yang masih memegang mitos seperti: “obat diabetes merusak ginjal.” Padahal, yang merusak ginjal bukan obatnya, melainkan kadar gula yang terus dibiarkan tinggi.

Pasien dalam kasus ini pun pernah tidak mengonsumsi metformin secara rutin karena merasa tubuhnya masih “baik-baik saja.” Pola seperti ini sangat umum dijumpai: ketidakpatuhan bukan semata karena keterbatasan fasilitas, tetapi sering kali berakar pada persepsi, rasa takut, dan salah paham tentang terapi.

Padahal keberhasilan pengelolaan diabetes tidak dapat bergantung pada satu komponen saja. Ia membutuhkan kolaborasi berkelanjutan yaitu obat yang tepat, pola makan terukur, aktivitas fisik yang konsisten, serta pemantauan rutin. Tanpa kombinasi ini, target gula darah sulit dicapai, betapapun baiknya obat yang diberikan.

Diabetes Dapat Dikendalikan

Kasus ini mengingatkan kita bahwa tubuh memiliki kapasitas luar biasa untuk pulih asal diberi kesempatan dan dukungan yang tepat. Dengan terapi yang sesuai, baik pemberian insulin basal, metformin, maupun obat pendamping lainnya, kadar glukosa dapat menurun signifikan hanya dalam hitungan minggu. 

Perubahan gaya hidup sederhana pun memberi efek besar. Mengisi makanan setengah piring dengan sayuran, mengurangi porsi karbohidrat, menghindari gula tambahan, serta berjalan cepat selama 30 menit setiap hari dapat mengubah arah perjalanan penyakit. Pada akhirnya, diabetes bukan hanya soal obat, tetapi tentang gaya hidup memperbaiki ritme kehidupan.

Jika dilihat dalam konteks yang lebih luas, kasus ini mencerminkan situasi epidemiologis yang mengkhawatirkan: epidemi obesitas dan diabetes yang kini melanda banyak negara, termasuk Indonesia. Kita sudah berada di jajaran lima besar dunia dalam jumlah penyandang diabetes. Lebih dari 70 persen penderita baru mengetahui kondisinya setelah komplikasi muncul.  

Faktor sosial dan budaya seperti kemudahan akses makanan tinggi gula, pola kerja panjang, kurang tidur, aktivitas fisik yang rendah, hingga minimnya literasi kesehatan berbasis bukti. Seperti membangun Masyarakat semakin produktif, tetapi secara perlahan kehilangan fondasi kesehatannya. Tidak ada produktivitas, inovasi, atau pembangunan yang dapat bertahan apabila masyarakatnya melemah oleh penyakit kronis.

Penutup

Kita membutuhkan perubahan cara pandang. Kesehatan bukan lagi urusan personal, melainkan investasi publik. Pemerintah perlu memperkuat deteksi dini, memperluas akses edukasi berbasis bukti. Memastikan obat esensial tersedia dan terjangkau, serta menciptakan lingkungan yang mendorong gaya hidup sehat. Mulai dari tata kota ramah pejalan kaki hingga regulasi pangan yang melindungi konsumen.

Pada level individu, langkahnya sederhana namun bermaknan yaitu rutin memeriksakan kesehatan, memahami tubuh sendiri, dan tidak menunda pengobatan. Diabetes bukan akhir, juga bukan vonis. Ia adalah pengingat bahwa tubuh memiliki batas dan batas itu dapat dijaga, dihormati, dan diperbaiki.

Jika kita mampu mendengar sinyal tubuh, memahami risikonya, dan mengambil tindakan sejak dini, maka masa depan kesehatan masyarakat dapat berubah. Karena pada akhirnya, bangsa yang kuat bukan hanya bangsa yang besar, melainkan bangsa yang sehat tubuhnya, sehat pikirannya, dan sehat kebijakan publiknya. (email:rajuddin@usk.ac.id)

 

Penulis adalah Guru Besar Universitas Syiah Kuala; Ketua IKA UNDIP Aceh; Sekretaris ICMI Orwil Aceh

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved