Kupi Beungoh

Membaca Ulang “Semak Liar/Nipah”sebagai Masa Depan Ekonomi Hijau Aceh Barat

Festival ini, oleh karena itu, bukan sebatas selebrasi, tetapi koreksi. Koreksi atas cara kita memandang sumber daya alam kita sendiri.

Editor: Agus Ramadhan
FOR SERAMBINEWS.COM
Guru Besar Bidang Geologi Kelautan Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Ir. Muhammad Irham, S.Si, M.Si. 

*) Oleh: Prof Muhammad Irham

FESTIVAL Nipah di Suak Timah Aceh Barat, bukan sekadar pesta budaya atau parade ekowisata musiman.

Ia adalah penegasan bahwa Aceh memiliki kekayaan pesisir yang selama ini terabaikan bahkan diremehkan hanya karena tak pernah diberi nilai ekonomi.

Selama puluhan tahun, nipah dianggap “tumbuhan liar”, ia tumbuh di rawa, tak butuh perhatian, dan karenanya tidak pernah masuk ke dalam skema pembangunan.

Padahal, ketika ekosistem pesisir Aceh terus tertekan oleh abrasi, degradasi lahan, dan penurunan biodiversitas, nipah justru hadir sebagai tanaman dengan daya hidup tinggi, penyangga ekologi, sekaligus penyimpan karbon yang efektif.

Festival ini, oleh karena itu, bukan sebatas selebrasi, tetapi koreksi. Koreksi atas cara kita memandang sumber daya alam kita sendiri.

Nipah menyimpan potensi ekologis yang besar. Ia rumah bagi berbagai spesies burung, ikan, dan organisme pesisir; benteng hijau yang menjaga garis pantai; dan ekosistem yang mampu menstabilkan kualitas air brackish (payau) yang penting bagi perikanan rakyat.

Melestarikan kawasan nipah berarti menjaga keseimbangan biodiversitas dan festival ini mencoba menjadikannya agenda publik, bukan hanya pengetahuan teknis para akademisi atau pegiat lingkungan.

Namun aspek paling strategis dari Festival Nipah adalah bagaimana ia membuka pintu ekonomi baru untuk masyarakat.

Ketika dipetakan dengan benar, nipah bukan lagi tumbuhan liar, melainkan “komoditas hijau” yang bernilai wisata dan ekonomi.

Dari daun nipah bisa dihasilkan anyaman, kerajinan, atap, dan produk turunan bernilai tinggi.

Dari getah aren-nya dapat dikembangkan gula nipah atau pemanis alternatif.

Dari lanskapnya hadir peluang ekowisata, seperti susur sungai dan rawa, edukasi biodiversitas, fotografi alam, hingga paket wisata budaya desa.

Setiap jalur nilai ini membuka peluang bagi UMKM lokal yang selama ini bergantung pada sektor konvensional dengan nilai tambah yang rendah.

Dengan kata lain, nipah dapat menjadi fondasi ekonomi rakyat berbasis ekologi.

Festival ini berperan sebagai etalase gagasan yang menunjukkan bahwa pembangunan tidak harus selalu merusak dan bahwa ekonomi masyarakat dapat tumbuh justru ketika alam dipulihkan, bukan dieksploitasi.

Tantangannya tentu bukan hanya festival. Dibutuhkan perubahan cara pandang pemerintah daerah, dunia pendidikan, dan masyarakat pesisir bahwa wilayah nipah bukan “tanaman tidur”, tetapi “aset masa depan”.

Diperlukan pula roadmap yang jelas dari konservasi kawasan, pengembangan produk UMKM, pelatihan masyarakat, hingga integrasi ekowisata.

Tanpa kebijakan yang terukur, festival akan berhenti sebagai seremoni tanpa dampak.

Karena itu, Festival Nipah di Suak Timah Aceh Barat patut diapresiasi sebagai titik awal gerakan.

Sebuah langkah simbolik bahwa Aceh Barat mulai berani membaca ulang ruang hidupnya sendiri, melihat peluang ekonomi hijau yang selama ini tersembunyi di balik rawa-rawa sunyi.

Jika konsisten, festival ini dapat menjadi preseden bahwa pelestarian lingkungan tidak bertabrakan dengan kesejahteraan bahkan justru menjadi fondasi barunya.

Nipah, yang dulu dianggap liar dan tak berguna, kini mungkin menjadi ikon baru Aceh Barat.

Ikon tentang bagaimana alam dan manusia bisa tumbuh bersama, berkelanjutan, dan saling menguatkan. (*)

*) PENULIS adalah Guru Besar Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved