Kupi Beungoh

Retak Harmonisasi Kampus: Lemah Kebijakan Manajemen Konflik Perguruan Tinggi 

Model konflik terjadi di lingkungan kampus bisa saja dalam bentuk  konflik perselisihan verbal berupa ejekan, olokan, hinaan, dan makian

Editor: Agus Ramadhan
FOR SERAMBINEWS.COM
Dosen STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh Dr. H. Herman, M.A 

Kebijakan anti konflik dibuat dengan tujuan untuk mencegah tidak terjadi konflik yang tidak perlu, dan sekaligus mengurangi kemungkinan terjadinya konflik. Kebijakan anti konflik juga untuk mengurangi dampak negatif dari konflik yang telah terjadi, dan meminimalkan kerugian yang ditimbulkan akibat konflik yang telah terjadi.  Selanjutnya kebijakan anti konflik untuk meningkatkan kepercayaan, dan kepuasan semua pihak yang terlibat dalam meningkatkan lingkungan yang harmonis di kampus (Dayu Ahmat, et. all., 2025).  

Pimpinan kampus selaku pihak pengambilan keputusan dapat membuat kebijakan anti konflik dengan jelas, dan konsekuensi sanksi diterapkan kepada warga kanpus, dan mahasiswa yang terlibat konflik. Kebijakan anti konflik di kanpus adalah aturan atau norma yang melarang terjadinya konflik, atau bertentangan antara individu atau kelompok dalam lingkungan kanpus. Konsekwensi sanksi yang diberikan kepada pihak terlibat konflik dapat berupa teguran, penundaan hak, denda, pengucilan, dan tindakan hukum . 

Larangan anti konflik yang dibuat oleh pimpinan kampus dapat berupa larangan kekerasan, larangan diskriminasi, larangan penghinaan, dan larangan penyebaran kebencian. Larangan kekerasan adalah larang berupa ancaman kekerasan dalam menyelesaikan konflik, dan larangan diskriminasi adalah larang berupa diskrimininasi berdasarkan ras, agama, jenis kelamin atau karakteristik lainnya yang bersifat diskriminatif. Sedangkan larangan penghinaan adalah larangan  penghinaan atau pelecehan terhadap individu, dan kelompok serta larangan penyebaran kebencian atau provokasi yang dapat memicu konflik di lingkungan kampus. 

Konsekwensi sanksi bagi yang terlibat dalam konflik adalah 1) saksi administratif, yaitu dapat berupa teguran, penundaan kenaikan pangkat atau penurunan pangkat dosen, dan karyawan dan mahasiswa penundaan penyelesaian kuliah, 2) sanksi hukum, yaitu dapat berupa denda, hukuman penjara atau tindakan hukum lainnya sesuai peraturan yang berlaku, 3) saksi sosial, yaitu dapat berupa pengucilan, kehilangan kepercayaan, dan reputasi yang rusak, 4) saksi ekonomi, yaitu dapat berupa kerugian materiil, seperti ganti rugi atau kompensasi, 5) sanksi disiplin, yaitu dapat berupa penundaan atau pencabutan hak-hak tertentu pimpinan, dan warga kampus. 

2. Kebijakan Komunikasi Terbuka 

Komunikasi terbuka merupakan proses komunikasi yang memungkinkan semua pihak untuk menyampaikan pendapat, perasaan, dan kebutuhan mereka secara bebas dan jujur. Dalam konteks kampus, komunikasi terbuka antara warga kampus, dan mahasiswa dapat membantu mencegah konflik dalam upaya menciptakan lingkungan kampus yang harmonis.

Komunikasi terbuka dengan tujuan untuk mencegah konflik yang dapat timbul dari kesalah pahaman atau komunikasi yang tidak efektif dan untuk meningkatkan kepercayaan antara warga kampus dan mahasiswa. Kemudian untuk meningkatkan kualitas hubungan antara warga kampus, dan mahsiswa. Selanjutnya untuk meningkatkan partisipasi mahasiswa dalam upaya meningkatkan lingkungan kampus yang harmonis (Sigit Haryato, et. all., 2024).

Pimpinan kampus membuat kebijakan yang dapat mendorong komunikasi terbuka dengan warga kanpus, dan mahasiswa untuk mencegah, dan memecahkan masalah konflik. Kebijakan komunikasi terbuka dapat dilakukan dengan cara: 1) mendengarkan secara aktif dan empati terhadap pendapat dan perasaan warga kanpus, dan mahasiswa, 2) menggunakan bahasa yang jelas dan mudah dipahami, 3) menghindari pertentangan dan konfrontasi yang tidak perlu, 4) mendorong partisipasi warga kampus, dan mahasiswa dalam diskusi dan pengambilan keputusan, dan 5) menggunakan media komunikasi yang efektif di dalam dan di luar kampus. 

Manfaat kebijakan komunikasi terbuka adalah untuk meningkatkan kepuasan warga kampus, dan mahasiswa, dan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan menciptakan lingkungan kuliah yang kondusif. Kemudian membangun kepercayaan antara warga kampus, dan mahasiswa serta mencegah konflik yang dapat timbul dari kesalah pahaman atau komunikasi yang tidak efektif.

3. kebijakan Keterlibatan Orang Tua Mahasiswa  

Pelibatan orang tua mahasiswa dalam proses penyelesaian konflik di kampus adalah suatu proses yang melibatkan orang tua mahasiswa dalam membantu menyelesaikan konflik yang terjadi antara mahasiswa, dosen, dan atau pihak lain di kampus. Pelibatan orang tua mahasiswa dapat membantu meningkatkan kualitas penyelesaian konflik dan membangun hubungan yang lebih baik antara kampus, dan orang tua mahasiswa (Khairunnisa, et. all., 2024). 

Tujuan pelibatan orang tua mahasiswa dalam proses manajemen konflik adalah 1) untuk meningkatkan kualitas penyelesaian konflik dengan mempertimbangkan perspektif dan kebutuhan mahasiswa, dan orang tua mahasiswa, 2) untuk membangun kepercayaan antara kampus, dan orang tua mahasiswa, 3) untuk meningkatkan partisipasi orang tua dalam kegiatan kanpus, dan 4) untuk meningkatkan kualitas hubungan antara kampus, mahasiswa, dan orang tua mahasiswa.

Pimpinan kampus dapat membuat kebijakan yang melibatkan orang tua mahasiswa dalam proses penyelesaian konflik di kampus. Peran pelibatan orang tua mahasiswa adalah untuk memberikan informasi tentang mahasiswa, dan keluarga yang berkaitan dengan konflik, sekaligus untuk membantu mengidentifikasi masalah, dan kebutuhan mahasiswa. Kemudian membantu mencari solusi yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa, dan kampus serta mengawasi, dan menindak lanjuti sebagai umpan baliknya. Selanjutnya membangun jaringan dengan pihak lain yang dapat mendukung prestasi kuliah mahasiswa, dan reputasi kanpusnya. 

Manfaat pelibatan orang tua mahasiswa adalah untuk membangun meningkatkan kepuasan orang tua dan mahasiswa dengan proses penyelesaian konflik yang baik, dan meningkatkan kualitas pendidikan dengan menciptakan lingkungan kuliah yang kondusif. Kemudian membangun kepercayaan antara kampus, dan orang tua mahasiswa serta meningkatkan hasil belajar mahasiswa dengan meningkatkan dukungan dan partisipasi orang tua mahasiswa. 

Lemah kebijakan Manajemen Konflik dapat Merusak Harmonisasi Kampus 

Lemah manajemen konflik merupakan salah satu penyebab utama retak harmonisasi kampus, karena tidak adanya mekanisme yang efektif untuk mencegah dan menyelesaikan konflik. Ketika konflik tidak diatasi dengan baik, maka dapat menyebabkan ketegangan dan ketidakpuasan di kalangan dosen, karyawan, dan mahasiswa. 

Dampak lemah manajemen konflik dapat berupa penurunan kualitas pendidikan secara drastis. Motivasi dan kinerja dosen terus melemah secara berlahan-lahan. Konflik yang tidak terkendali terus meningkat, dan kepercayaan masyarakat tehadap perguruan tinggi terus menurun, reputasi kampus terus rusak di mata publik. 

Untuk mengatasi retak harmonisasi kampus, perguruan tinggi perlu meningkatkan kapasitas manajemen konflik dengan mengembangkan kebijakan manajemen konflik yang komprehensif dan inklusif. Kemudian terus  meningkatkan kesadaran dan edukasi kepada dosen, karyawan, dan mahasiswa tentang pentingnya manajemen konflik di kampus. Selanjutnya terus meningkatkan partisipasi dosen, karyawan, dan mahasiswa dalam menyelesaikan, dan mencegah konflik di kampus, dan pihak pimpinan perguruan tinggi terus meningkatkan kualitas proses pengambilan keputusan, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan perguruan tinggi. 

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved