Kupi Beungoh

Pekan Kesadaran Antimikroba Sedunia, Apa Peran Dokter Hewan?

WAAW dirayakan sebagai upaya meningkatkan kesadaran terhadap resistensi antimikroba atau antimicrobial resistence (AMR)

Editor: Yeni Hardika
FOR SERAMBINEWS.COM
Azhar Abdullah Panton, Dokter hewan sekaligus pemerhati masalah kesehatan masyarakat. 

Oleh: Azhar Abdullah Panton*)

Tahun ini, sudah melewati satu dasawarsa pelaksanaan Pekan Kesadaran Antimikroba Sedunia atau World Antimicrobial Awareness Week (WAAW).

WAAW dirayakan sebagai upaya meningkatkan kesadaran terhadap resistensi antimikroba atau antimicrobial resistence (AMR) serta membangkitkan aksi global dalam mengatasi kemunculan dan penyebaran kuman yang resisten terhadap antimikroba.

Kegiatan yang berlangsung setiap 18-24 November ini dicetus dalam Sidang Majelis Kesehatan Dunia ke-68 pada bulan Mei 2015.

Tahun ini, WAAW mengusung tema, “Bertindak Sekarang: Lindungi Masa Kini, Amankan Masa Depan Kita” atau “Act Now: Protect Our Present, Secure Our Future”.

Tema ini menekankan perlunya tindakan segera, terkoordinasi, dan lintas sektoral yang berani untuk mengatasi AMR sebagai ancaman global yang telah memengaruhi kesehatan, sistem pangan, lingkungan dan perekonomian.

Baca juga: Ice Melon dari Aceh, Inovasi Medis Mendunia

Apa itu AMR?

Antimikroba adalah substansi yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri (antibiotika), jamur (antifungal), virus (antiviral), atau parasit (antiparasit).

Dewasa ini banyak ditemukan penggunaan antimikroba yang tidak tepat sehingga dapat membahayakan kesehatan masyarakat secara global maupun individu. 

Sejak Alexander Flemming menemukan Penisilin pada tahun 1928, kemudian dikembangkan dan digunakan dalam pengobatan oleh dr Florey pada tahun 1941, antimikroba telah memberikan banyak manfaat dalam menyembuhkan dan menyelamatkan jiwa manusia.

Namun dibalik itu, penggunaan antimikroba yang tidak rasional dan bertanggung jawab mengakibatkan terjadinya AMR.

AMR adalah suatu kondisi dimana mikroorganisme yang sebelumnya sensitif terhadap obat-obatan antimikroba menjadi kebal, sehingga pengobatan standar menjadi tidak efektif, atau gagalnya pengobatan konvensional- berakibat pada sakit berkepanjangan dengan risiko kematian lebih besar.

AMR telah menjadi masalah global. Jumlah kuman patogen (mematikan) yang kebal terhadap antimikroba semakin meningkat.

Contoh kuman-kuman resisten yang menyebabkan berbagai masalah di dunia antara lain: methicillin-resistence  Staphylococcus aureus (MRSA), vancomycin resistence enterococcus (VRE), penicillin resistence pneumococci, Kleibseila pneumonia, carbapem-resistence Acinobacterbaumanni, pseudomonas aeruginosa, multi resistence Mycobacterium tuberculosis, dan lainnya.

Secara global dilaporkan, ada 450.000 kasus baru Multidrug Resistence-Tuberculosis (MDRTB) setiap tahunnya yang menyebabkan sedikitnya 191.000 kematian pada tahun 2021.

Dimana kuman penyebabnya telah resisten terhadap obat Tuberkulosis (TBC).

Baca juga: Membaca Ulang “Semak Liar/Nipah”sebagai Masa Depan Ekonomi Hijau Aceh Barat

Laporan global TB WHO 2023 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kasus TBC tertinggi kedua di dunia setelah India.

Data Kementerian Kesehatan RI tahun 2023 mengungkapkan adanya 824.000 kasus TBC setiap tahun di Indonesia dengan 93.000 kematian.

Kasus lain, resistensi terhadap obat antimalaria generasi sebelumnya (klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin) juga telah dilaporkan dan tersebar luas di sebagian besar negara endemik malaria.

Parasit malaria falciparum resisten terhadap artemisinin yang muncul di Asia Tenggara.

Pengobatan menunjukkan adanya resistensi yang ditandai dengan profil penundaan setelah dimulainya pengobatan.

Antimikroba dan Produk Ternak

Selain penggunaan antimikroba yang tidak bijak dalam pelayanan kesehatan manusia, AMR dapat juga terjadi akibat penggunaan antimikroba yang tidak tepat dalam dunia peternakan.

Penggunaan obat-obatan, khususnya antibiotika dalam usaha peternakan dapat menimbulkan residu dalam produk ternak (daging, telur, susu, dan lainnya). 

Antibiotika telah banyak digunakan dalam usaha peternakan, khususnya ternak ayam untuk meningkatkan produktivitas.

Antibiotika umumnya berfungsi untuk pengobatan dan pencegahan penyakit, serta sebagai pemacu pertumbuhan (growth promotor) yang ditambahkan sebagai imbuhan pakan (feed additive).

Sebagai imbuhan pakan, antimikroba memiliki beragam fungsi, antara lain: sebagai pengawet, anti cacing, antikoksidea, anti jamur, meningkatkan palatabilitas dan memperbaiki sistem pencernaan.

Pemakaian antibiotika sebagai imbuhan pakan memperbesar kemungkinan adanya residu karena dalam proses produksinya ternak akan mengonsumsi pakan yang mengandung antimikroba secara terus menerus sampai saat dipotong atau sampai menghasilkan telur atau susu.

Baca juga: Melupakan MoU Helsinki, Apa Tidak Salah Bung Benny K. Harman? 

Kondisi ini membuka peluang terjadinya kasus AMR pada manusia yang mengonsumsi produk tersebut.

Fakta di lapangan menunjukkan adanya pemakaian antimikroba yang berlebihan dalam usaha peternakan.

Peternak umumnya tidak menggunakan antimikroba dengan tepat. 

Baca juga: Gula Darah Melonjak, Tubuh Mengirim Sinyal Bahaya

Misal, dosis dan lama penggunaan obat yang tidak sesuai anjuran, serta tidak memerhatikan withdrawal time/waktu henti (kurun waktu dari saat pemberian obat terakhir hingga ternak boleh dipotong atau produknya boleh dikonsumsi).

Hal ini bisa terjadi akibat kurangnya pengetahuan peternak dan pola pemasaran antimikroba sebagai obat hewan yang dapat diperoleh secara bebas di agen-agen atau Poultry Shop.

Waktu henti satu jenis antibiotika dengan antibiotika lainnya tidak sama.

Tergantung dari jenis ternak, cara pemakaian, dosis dan proses absorbsi, distribusi serta eliminasi dari obat yang bersangkutan.

Karena itu pengawasan dari dokter hewan terlatih sangat penting dalam penggunaan antimikroba, disamping produsen obat hewan wajib mencantumkan label yang menerangkan waktu henti obat secara jelas.

Daging dan hati ayam adalah produk yang paling banyak tercemar residu antibiotika, terutama golongan penisilin dan tetrasiklin.

Begitu juga dengan daging dan hati sapi, juga kerap mengandung residu antibiotika dan hormon. 

Bila kandungan residu melebihi batas kadar residu maksimum (Maximum Residu Limit/MRL) yang direkomendasikan mengakibatkan produk ternak tersebut tidak aman dikonsumsi sebab bisa menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia. 

Baca juga: Paradoks HIV/AIDS Di Negeri Syariah

Secara garis besar gangguan yang dapat terjadi meliputi beberapa asek, antara lain: Pertama, aspek immunopatologis.

Beberapa jenis antibiotika dapat menimbulkan alergi, baik pada manusia maupun hewan akibat reaksi penolakan tubuh.

Contoh, penisilin yang sebagian besar jenis hewan dan manusia alergi terhadapnya.

Kedua, aspek toksikologis. Mengonsumsi produk yang mengandung residu dalam jumlah tinggi dapat mengakibatkan keracunan.

Evaluasi keamanan bagi residu obat-obatan ternak dalam makanan dapat dilakukan dengan jalan mengetahui nilai MRL.

Ketiga, aspek mikrobiologis. Pemberian antibiotika dalam dosis rendah (dibawah dosis pengobatan) dapat mengakibatkan timbulnya turunan mikroba yang resisten terhadap obat-obatan.

Kondisi ini mengakibatkan kegagalan pengobatan pada penyakit infeksi.

Resistensi bisa menimbulkan Superbug, yaitu bakteri yang tidak dapat dibunuh oleh antibiotika mutakhir sekalipun.

Peran dokter hewan

Mewujudkan masyarakat sehat tidak terlepas dari kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan.

Sebagai profesi medis, dokter hewan bertanggung jawab dalam menjamin keamanan produk peternakan yang dikonsumsi manusia. 

Dewasa ini kompleksitas kesehatan masyarakat memerlukan penanganan yang terarah dan komprehensif.

Hal ini harus mengacu pada konsep “one health” atau sistem kesehatan masyarakat terpadu.

Karenanya dibutuhkan pendekatan kolaboratif antar bidang kesehatan manusia, kesehatan hewan, dan kesehatan lingkungan. 

Dari sekian banyak tugas dokter hewan, salah satunya adalah mewujudkan kesehatan dan kesejahteraan manusia melalui pengawasan terhadap penggunaan antimikroba.

Tindakan yang dapat dilakukan antara lain: mempromosikan penggunaan antimikroba yang bijak, melakukan edukasi dan sosialisasi terhadap peternak dan masyarakat umum lainnya tentang bahaya AMR, berkolaborasi dengan pemangku kepentingan lainnya, dan berperan dalam pengawasan dan pengendalian penggunaan antimikroba.

Mari bersama-sama bertindak dan bertanggung jawab untuk memerangi resistensi antimikroba.

*) PENULIS adalah Dokter hewan/pemerhati masalah kesehatan masyarakat.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved