KUPI BEUNGOH

Revolusi Penjara Menjadi Sebuah Pesantren: Fenomena Jeruji Lapas di Wilayah Aceh

Dari balik jeruji besi kini terdengar lantunan ayat suci Al-Qur’an, zikir, dan pengajian rutin yang diikuti para warga binaan. 

Editor: Saifullah
Serambinews.com/HO
REVOLUSI LAPAS - Dwi Chandra Pranata, SPsi., MSi, Pegawai Balai Pemasyarakatan Kelas I Banda Aceh dan Pengurus Asosiasi Psikologi Forensik Wilayah Aceh mengupas revolusi Lapas di Aceh yang kini penuh nuansa laksana seperti sebuah dayah. 

Oleh: Dwi Chandra Pranata, S.Psi., M.Si )*

Di tengah berbagai problem pemasyarakatan, Aceh menghadirkan sebuah fenomena yang patut diapresiasi. Penjara yang berubah menjadi pesantren. 

Dari balik jeruji besi kini terdengar lantunan ayat suci Al-Qur’an, zikir, dan pengajian rutin yang diikuti para warga binaan. 

Fenomena ini menandai sebuah perubahan paradigma besar, revolusi penjara menjadi pesantren. 

Sebuah pendekatan khas Aceh dalam membina dan memanusiakan kembali mereka yang pernah tersesat. 

Aceh memiliki akar tradisi Islam yang kuat, dengan lembaga dayah sebagai pusat pendidikan moral dan spiritual masyarakat. 

Tradisi inilah yang kini dihidupkan di balik tembok lembaga pemasyarakatan. 

Di Lapas Lhoknga, berdiri Dayah At-Tawwabi, di Lhoksukon muncul Pesantren Darul Taubah, sementara di Aceh Tamiang, lahir Pesantren Al-Hikmah bagi para warga binaan. 

Baca juga: Lapas Blangpidie Lakukan Rehabilitasi Narkoba Berbasis Pendekatan Psikososial dan Keagamaan

Narapidana kini tidak lagi disebut sekadar tahanan, tetapi “santri”. 

Mereka mengikuti jadwal pengajian, belajar fikih, membaca Al-Qur’an, hingga berlatih khutbah Jumat. 

Para ustaz dari dayah sekitar datang setiap pekan untuk memberikan bimbingan. 

Dalam ruang yang dulu dipenuhi keputusasaan, kini tumbuh suasana belajar dan harapan baru.

Secara filosofis, lembaga pemasyarakatan dibangun bukan hanya untuk menghukum tetapi untuk memasyarakatkan kembali pelaku kejahatan agar siap hidup sebagai warga negara yang taat hukum. 

Namun, dalam praktiknya, banyak Lapas di Indonesia masih jauh dari fungsi ideal itu. Over kapasitas, kekerasan, narkoba, hingga minimnya program pembinaan menjadi masalah klasik. 

Aceh mencoba menawarkan jalan berbeda. 

Melalui pendekatan syariat Islam, beberapa Lapas di wilayah ini menjelma menjadi pesantren dengan sistem pengajian rutin, tahsin dan tahfiz Al-Qur’an, hingga pembinaan akhlak oleh para ustaz/teungku dari luar. 

Baca juga: Imipas Peduli, Lapas Perempuan Sigli Sambangi dan Bantu Warga Kurang Mampu

Para napi bukan hanya menjalani masa hukuman, tapi juga masa “taubat” dan pendidikan rohani.

Kembali ke Esensi Pemasyarakatan

Transformasi lapas menjadi pesantren menghadirkan banyak dampak positif. 

Pertama, suasana religius menurunkan potensi keributan dan meningkatkan ketertiban. 

Kedua, para warga binaan memperoleh identitas baru sebagai pelajar agama, bukan sekadar pelanggar hukum. 

Ketiga, ketika bebas mereka memiliki bekal spiritual dan moral yang dapat mencegah residivisme. 

Sudah banyak contoh narapidana yang setelah bebas menjadi guru mengaji di kampung, imam di masjid, atau aktif dalam kegiatan sosial. 

Dari tempat yang dulu dianggap kelam, justru lahir manusia-manusia yang tercerahkan.

Baca juga: Rehab Napi Narkoba, Lapas Blangpidie Bentuk KASEB, Rekrut WBP Sebagai Kader

Filosofi dasar lembaga pemasyarakatan adalah pembinaan, bukan pembalasan. 

Namun, sering kali penjara justru menjadi tempat penderitaan yang menumpulkan nurani.

Di sinilah pendekatan keagamaan menemukan relevansinya. 

Melalui sistem pesantren, pembinaan tidak hanya menyentuh fisik, tetapi juga jiwa. 

Para narapidana diajak memahami kesalahan, menyesali perbuatan, dan memperbaiki diri dengan bekal agama. 

Model ini sejalan dengan semangat pemasyarakatan modern yang berorientasi pada restorative justice yaitu mengembalikan pelaku ke dalam masyarakat sebagai manusia yang lebih baik. 

Dalam konteks Aceh, pendekatan ini semakin tepat karena nilai-nilai dayah sudah mendarah daging dalam kehidupan sosial. Agama menjadi jembatan antara keadilan dan kemanusiaan.

Tantangan yang Harus Dijawab

Meski ideal, gagasan “penjaram menjadi pesantren” tentu tidak mudah. 

Banyak Lapas di Aceh masih mengalami overkapasitas, dengan keterbatasan ruang dan fasilitas pembinaan. 

Tenaga pengajar agama juga terbatas, sementara kebutuhan warga binaan terus meningkat. 

Selain itu, belum semua program memiliki kurikulum terstruktur. 

Sebagian masih bersifat pengajian umum tanpa target capaian yang jelas. 

Ke depan, perlu kolaborasi yang lebih kuat antara Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Agama, dan lembaga dayah agar pembinaan keagamaan ini berjalan sistematis, terukur, dan berkelanjutan. 

Tak kalah penting, pembinaan spiritual harus disinergikan dengan pembinaan kemandirian seperti pelatihan keterampilan, wirausaha, dan vokasi. 

Dengan begitu, warga binaan yang keluar dari lapas tak hanya sekedar beriman, tapi juga memiliki bekal hidup yang realistis.

Revolusi penjara menjadi pesantren bukan sekadar perubahan program, melainkan perubahan makna. 

Bahwa hukuman tidak selalu identik dengan kehinaan, dan penjara tidak selalu berarti kegelapan. 

Di tangan yang tulus, bahkan tembok besi bisa menjadi tempat lahirnya kesadaran dan harapan baru. 

Aceh telah menunjukkan bahwa keadilan dapat berjalan beriringan dengan kasih, dan bahwa dari balik jeruji pun, manusia tetap bisa belajar menjadi lebih baik. 

Revolusi ini bukan hanya tentang narapidana yang bertaubat, tetapi juga tentang masyarakat yang belajar untuk memaafkan. 

Mungkin inilah bentuk nyata dari pepatah Aceh, “Meuhasee keu dosa, tapi teuma keu Tuhan.” (Menyesal atas dosa, tapi tetap kembali kepada Tuhan). Wallahualam.(*)

*) PENULIS adalah Pegawai Balai Pemasyarakatan Kelas I Banda Aceh dan Pengurus Asosiasi Psikologi Forensik Wilayah Aceh.

  • KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
     
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved