Kupi Beungoh

Pemerintah Harus Memahami Peran Penting Mantan Kombatan GAM dalam Menjaga Perdamaian Aceh

Pertanyaannya, eberapa jauh Pemerintahan Pusat dapat mengapresiasi upaya-upaya yang dilakukan oleh mantan pejuang kemerdekaan Aceh ini?

Editor: Zaenal
IST
PENULIS (baju putih jilbab hitam) bersama tentara Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Main Camp MILF, Darapanan, Mindanao, Filipina Selatan pada 24 Maret 2018. 

Oleh: Ulta Levenia*)

PENELITIAN saya yang mengangkat tema partai politik lokal sebagai resolusi konflik di Aceh, mencapai kesimpulan bahwa perdamaian di Aceh dapat terjadi karena salah satu indikator kebijakan partai lokal yang memberikan wadah bagi masyarakat Aceh untuk mengelola pemerintahan lokal.

Kebijakan ini merupakan salah satu hak otonomi khusus yang diserahkan pemerintah pusat kepada wilayah yang diperjuangkan oleh pejuang kemerdekaan Aceh (Gerakan Aceh Merdeka atau GAM) yang menuntut pembebasan Aceh dari wilayah otoritas pemerintahan Indonesia.

Setelah perdamaian yang ditandatangani kedua pihak pada tahun 2005 silam, mantan GAM ini bekerja sama dengan aktor internasional untuk membangun demokrasi di wilayah pascakonflik Aceh.

Keberadaan aktor internasional ini dapat lebih efektif dibandingkan upaya pemerintah pusat yang beberapa kali malah mempersulit program-program internasional tentang demokratisasi di Aceh.

Mengingat sulitnya mempertahankan perdamaian dibandingkan mencapai perdamaian tersebut, maka peran mantan pejuang kemerdekaan Aceh sangat krusial.

Dipandang dari aspek upaya mantan pejuang kemerdekaan dalam mempertahankan perdamaian tentu tidak dipertanyakan lagi.

(Mengapa Hasan Tiro Memproklamirkan GAM pada 4 Desember? Ternyata Ini Alasannya)

(Ini Kisah Mengharukan, Akhir Perjalanan Hidup Sang Deklarator GAM Hasan Tiro)

(Milad Ke-41 GAM, Keharuan Hasan Tiro Menjelang Pulang ke Aceh Pascadamai)

Mereka merupakan tokoh yang berupaya menetralisir keadaan di Aceh agar tidak terjadi resistensi kembali oleh pihak-pihak yang tidak sepakat dengan perdamaian.

Selain itu mereka juga berupaya mengadakan dialog-dialog perdamaian dengan tujuan membangun nuansa nasionalisme yang dipadukan dengan nilai ke-Acehan.

Upaya ini tidak hanya bersifat lokal, namun juga nasional, yang mana para mantan pejuang kemerdekaan Aceh ini aktif mengikuti kegiatan-kegiatan konsolidasi perdamaian di tingkat Nasional.

Hal ini menandakan tidak ada lagi sentimen lokal dan nasional dalam tubuh mantan pejuang kemerdekaan Aceh dan semangat mereka dalam mempertahankan perdamaian.

Teungku Bakhtiar Abdullah dan Teungku Munawar Liza, merupakan beberapa tokoh mantan pejuang kemerdekaan Aceh yang aktif menyuarakan pentingnya konsolidasi perdamaian di Aceh.

Tokoh-tokoh ini tidak dipertanyakan lagi perannya dalam mempertahankan perdamaian.
Tanpa suara dari tokoh-tokoh ini maka mungkin bahwa perdamaian tidak akan terjadi di Aceh.

PENULIS (Ulta Levenia) bersama tokoh eks GAM, Bachtiar Abdullah, Munawar Liza Zain, Nek Tu, dan Ramli Ali alias Gumok, dalam sebuah kesempatan di Banda Aceh, beberapa waktu lalu.
PENULIS (Ulta Levenia) bersama tokoh eks GAM, Bachtiar Abdullah, Munawar Liza Zain, Nek Tu, dan Ramli Ali alias Gumok, dalam sebuah kesempatan di Banda Aceh, beberapa waktu lalu. (IST)

(Munawar Liza Zainal: Kita tidak Merasa Berkhianat)

(Munawar Liza Mundur dari PNA)

Namun permasalahannya adalah seberapa jauh Pemerintahan Pusat dapat mengapresiasi upaya-upaya yang dilakukan oleh mantan pejuang kemerdekaan Aceh ini?

Jika pemerintah tidak berupaya merangkul dan mengapresiasi upaya mereka, maka konsolidasi perdamaian tidaklah sepenuhnya sempurna.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved