Cukai Rokok, Antara Pendapatan Negara dan Visi Kesehatan Pemerintah
Pemerintah akhirnya membatalkan rencana kenaikan tarif cukai rokok untuk 2019. Kebijakan ini melawan tren kenaikan cukai rokok rata-rata 10,5 persen.
SERAMBINEWS.COM - Pemerintah akhirnya membatalkan rencana kenaikan tarif cukai rokok untuk 2019. Kebijakan ini “melawan tren” kenaikan cukai rokok rata-rata 10,5 persen yang secara konsisten diambil oleh Presiden Joko Widodo beberapa tahun belakangan.
Satu-satunya penjelasan tentang keputusan ini adalah saat Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Jumat pekan lalu mengatakan bahwa penundaan diputuskan dalam sidang kabinet yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo.
"Kami putuskan, tidak ada perubahan tingkat cukai yang ada sampai dengan 2018 ini," ujar Menteri Mulyani, seusai rapat.
Keputusan pemerintah ini membuat harga rokok tidak berubah, yang berarti sangat terjangkau oleh setiap lapisan masyarakat yaitu sekitar Rp12.600 hingga Rp 23 ribu.
Baca: Batalkan Kenaikan Cukai Rokok Dianggap Tak Mendukung Program Kesehatan, Ini Bantahan Wapres JK
Anggota DPR Eva Kusuma Sundari mengatakan keputusan tersebut sudah adil terhadap industri tembakau dan itikad untuk melindungi masyarakat rentan terhadap efek kesehatan tembakau.
Menurut Eva, Presiden Jokowi juga memberi respons yang tepat pada aspirasi industri, terutama kalangan menengah ke bawah dan petani tembakau yang selama ini tertekan oleh kebijakan oleh kebijakan cukai yang cukup progresif.
Kebijakan ini juga adalah langkah untuk menekan meningkatnya peredaran rokok ilegal, yang lagi-lagi akibat kenaikan cukai tiap tahun.
“Yang dihadapi industri tembakau bukan saja kompleksitas skema cukai, tapi tekanan akibat kenaikan cukai tiap tahun. Presiden Jokowi berusaha menghilangkan hal itu,” ujar Eva, yang juga politisi Partai Demokrasi Indonesia – Perjuangan (PDIP), kepada Anadolu Agency, Rabu (7/112018).
Eva menyadari sebagian masyarakat menganggap penundaan cukai ini tidak sensitif terhadap isu kesehatan publik.
Tapi, menurut dia, kebijakan ini harus dilihat dari kacamata yang lebih adil karena pemerintah juga sudah melakukan aksi afirmatif terhadap gerakan pengendalian tembakau.
Menurut Eva, rokok di Indonesia harus dilihat secara lebih menyeluruh, karena terkait dengan budaya, industri nasional dan tenaga kerja, kata Eva. “Rokok juga aktivitas legal yang dilindungi konstitusi,” tambah dia.
Sudah banyak kebijakan pemerintah yang menekan industri dan prevalensi perokok masyarakat, kata Eva. Seperti pembatasan tayangan iklan, pelarangan merokok di ruang publik, iklan anti-rokok yang bertebaran di mana-mana dan harga rokok yang terus naik.
Kebijakan tersebut harus dilaksanakan dengan konsisten agar rokok tidak menyasar kelompok yang harus dilindungi seperti anak dan remaja.
“Tinggal penegakan hukum dan pengawasannya saja. Jangan dilihat seolah-olah rokok itu haram. Itu tidak fair,” ujar dia.
Baca: VIDEO - Polresta Banda Aceh Sita 100 Slop Rokok Ilegal
Agar kebijakan ini lebih tepat sasaran, dia mengusulkan adanya penambahan kuota produksi pada rokok sigaret tangan bukan industri yang menggunakan mesin.