YARA Cium Kejanggalan dalam Proses Pembebasan Lahan Bendungan Keureuto, Segera Surati KPK

Safaruddin mengatakan, total uang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh untuk pembayaran ganti rugi lahan seluas 80 hektare itu mencapai Rp 8,8 miliar

Penulis: Zainal Arifin M Nur | Editor: Zaenal
Bendungan Keureuto di Aceh Utara 

YARA Cium Kejanggalan dalam Proses Pembebasan Lahan Bendungan Keureuto, Segera Surati KPK

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) mencium adanya kejanggalan dalam proses pembebasan lahan pembangunan Bendungan Krueng Keureto, di Aceh Utara, seluas 80 hektare.

Ketua YARA, Safaruddin SH mengklaim pihaknya sudah mengantongi sejumlah dokumen yang mengarah kepada adanya permasalahan dalam proses pembebasan lahan tersebut.

“Kami mendapat informasi bahwa dana pembebasan lahan itu baru dibagikan kepada masyarakat pada tahun ini, setelah 3 tahun terendap di BNI Syariah Lhokseumawe. Kita akan surati KPK agar menelusuri proses ganti rugi ini, karena ini  menyangkut dengan penggunaan uang negara miliaran rupiah. Kami akan berikan dokumen proses tersebut ke KPK,” kata Safaruddin kepada Serambinews.com, Minggu (24/3/2019) malam.

Ketua YARA, Safaruddin SH
Ketua YARA, Safaruddin SH (IST)

Safaruddin mengatakan, total uang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh untuk pembayaran ganti rugi lahan seluas 80 hektare itu mencapai Rp 8,8 miliar.

Selain sempat mengendap selama 3 tahun di bank, ada kejanggalan lain dalam proses ganti rugi lahan tersebut, yaitu lahan yang diganti rugi selama ini berstatus Hak Guna Usaha (HGU) milik salah satu perusahaan.

Baca: Kampanye Terbuka Dimulai, Ini Daftar Lengkap Lokasi Kampanye Capres/Cawapres di Aceh

Hasil konfirmasi YARA ke perusahaan dimaksud, pihak perusahaan sudah menyatakan bersedia melepas status HGU lahan tersebut.

Apalagi, lanjut Safar, saat rencana pembebasan lahan itu dibicarakan pada awal Desember 2015, status HGU lahan itu akan berakhir pada 15 Desember 2015, untuk selanjutnya akan beralih menjadi lahan negara.

“Saat itu, pihak perusahaan sudah sukarela melepaskan tanah itu. Tapi anehnya pemerintah tetap membayar ganti rugi lahan tersebut kepada masyarakat penggarap lahan. Istilahnya uang “peunayah”, kata Safaruddin.

“Anehnya lagi, uang yang diterima oleh masyarakat tersebut ditransfer dari rekening pemilik sertifikat Hak Guna Usaha (HGU), bukan langsung dari Pemerintah Aceh,” kata Safaruddin.

“Jika itu lahan HGU, kenapa uangnya diberikan kepada masyarakat. Jika lahannya milik masyarakat, mengapa uang ditransfer oleh Pemerintah Aceh melalui rekening perusahaan pemegang HGU. Tentu ini perlu ditelusuri karena menyangkut keuangan negara,” ungkap Safar.

Baca: Begini Perkembangan Kasus Ayah Bunuh Anaknya Pakai Racun Tikus di Aceh Utara

Menurut dia, pada 18 Mei 2016, Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, menyurati Gubernur Aceh terkait dengan adanya dugaan penyimpangan pada pembebasan tanah untuk kepentingan umum pada lokasi HGU Nomor 5 di Kabupaten Aceh Utara itu.

Salah satu yang dipersoalkan dalam surat tersebut adalah tentang penganggaran dana pembebasan lahan yang terkena dalam areal HGU milik salah satu perusahaan yang akan berakhir masanya pada 15 Desember 2015.

Setelah tanggal 15 Desember 2015, lahan itu akan beralih menjadi lahan negara dan perusahaan yang memiliki HGU itu juga telah dengan sukarela menyerahkan lahannya.

Namun kurang dari dua minggu sebelum HGU berakhir, telah dikeluarkan penilaian harga ganti rugi atas tanah oleh salah satu Kantor KJPP dengan taksiran Rp 11.000 per meter.

Berdasarkan penilaian kantor KJPP itu, Pemerintah Aceh kemudian mentrafser dana sebesar 8.8 miliar ke rekening perusahaan pemilik HGU.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved