Mengenang Tsunami

Ciuman Terakhir dengan Istri dan Anakku

Baunya sangat wangi, aku terharu sekali melihat mayat gadis yang kutaksir berumur 20 tahun-an

Ciuman Terakhir dengan Istri dan Anakku - yuswar2.jpg
Rumahku setelah Tsunami
Ciuman Terakhir dengan Istri dan Anakku - yuswar1.jpg
Rumahku Sebelum Tsunami
Ciuman Terakhir dengan Istri dan Anakku - yuswar3.jpg
Keluarga yang meninggal saat tsunami
Ciuman Terakhir dengan Istri dan Anakku - yuswar4.jpg
YUNA PUTRI BERKAH binti YUSWAR YUNUS, ia selamat dari tsunami
Ciuman Terakhir dengan Istri dan Anakku - yuswar35jpg.jpg
Muhammad Yuzan Wardhana, ia selamat dari tsunami

Istriku sudah sejak tanggal 1 Agustus 2004 pulang ke Banda Aceh hanya untuk menyiapkan pesta perkawinan tersebut. Kepulangannya ke Aceh, sekaligus juga sambil mengantar Yudid Putri Zandy anakku yang melahirkan di Bandung. Pada tanggal 1 Agustus 2004 tersebut, aku ikut mengantar istriku, Meutia, Yudid dan cucuku Defa ke Cengkareng dari Bandung. Kami naik kereta api Parahyangan ke Jakarta dan menginap satu malam di hotel. Besok paginya kami terus ke Cengkareng dan di counter Garuda aku bertemu dengan bang Basri Emka (mantan pejabat bupati Aceh Jaya). Aku, Meutia, Yudid dan Defa terus menelusuri jalan menuju ke gang diluar ruang tunggu bandara (sesuai aturan aku hanya melangkah sampai ke batas itu).

Karena waktu berangkat masih lama, maka aku pun senang dengan menggendong cucuku sambil duduk dan jalan-jalan  di ruangan tersebut. Saatnya tiba, mereka masuk ke ruang tunggu dan akupun mohon diri untuk kembali ke Bandung.

Pada tanggal 17 Desember 2004, yaitu setelah pesta perkawinan anakku Yuki, istriku minta persetujuanku untuk membeli mahar kepada putraku satu-satunya Muhammad Yuzan Wardhana yang kembali ke Bandung pada tanggal 12 Desember 2004 sehari setelah pesta perkawinan adiknya Yuki. Aku menanyakan kepada istriku, untuk apa mahar ke Yuzan, ia baru berumur 22 tahun, nanti pada tanggal 10 Januari 2005 ia baru berusia 23 tahun. Jawaban isteriku ketika itu, hanya untuk kepuasan bathin saja, karena Yuzan anak tertua dan anak laki-laki kami satu-satunya. Ajakan istriku tersebut untuk membeli mahar kepada Yuzan, kurasakan wajar-wajar saja dan sedikitpun tidak terpikirkan firasat apa pun untuk kupikirkan ketika itu.

Dalam benakku ya biasa-biasa saja, karena namanya si ibu bisa saja membuat persiapan sebelumnya. Yuzan anakku waktu itu memang ia punya pacar, awak Aceh juga yang waktu itu sedang kuliah di Jakarta.
Maka, aku pun mengikuti saja kemauan istriku untuk membeli mahar untuk Yuzan anakku. Kami membawa uang kontan Rp10 juta ke Pasar Aceh. Istriku membeli gelang seberat 16 mayam dan kalung (berapa mayam aku tidak ingat lagi) dan akhirnya hanya bersisa uang Rp125.000,-  (mahar tersebut setelah tsunami aku temukan kembali dalam pasir tsunami di dalam kamar tidur rumahku, namun kotak mas dan berlian istriku tidak kutemukan lagi, hilang karena musibah tersebut).

Sebelum aku membeli tiket pesawat untuk kembali ke Bandung, aku ajak istriku untuk sama-sama berangkat dan kuajak anakku Yuki dan suaminya juga ke Bandung. Jawaban istriku, pada Minggu tanggal 26 Desember 2004 nanti pesta anak pak Rektor (Prof. Dr. Ir. Abdi A. Wahab, M.Sc), karena waktu pesta Yuki dimana Pak Rektor dan ibu ikut menghadirinya. Bu Rektor pesan ke isteriku, jangan lupa Meutia datang ke pesta perkawinan anaknya, alasan beliau, waktu pesta anaknya yang pertama dahulu kami tidak datang, mungkin kami sedang di Bandung.

Aku dan istriku serta Yuki sepakat, untuk membeli tiket ke Bandung, mereka minta tanggal 30 Desember 2004. Yuki dan suaminya, aku minta ke Bandung agar mereka bisa berbulan madu, ia minta berangkat tanggal 30 Desember 2004, alasannya mau bertahun baru di Jakarta. Maka aku membeli tiket untuk istriku, Yuki dan Raifal untuk tanggal tersebut, sedangkan aku untuk berangkat tanggal 20 Desember 2004, yaitu enam hari sebelum musibah tsunami datang menjemput keluargaku.  

Tepat pada hari itu, mungkin Bandara Sultan Iskandar Muda – Banda Aceh menjadi saksi bisu, bahwa inilah perpisahanku terakhir dengan istri, anakku Yuki dan dua menantuku Elfan dan Raifal, mereka ikut mengantarkanku ke bandara. Tepatnya Senin tanggal 20 Desember 2004. Semenjak dari rumah bersiap-siap untuk berangkat ke bandara ada satu perasaaan lain yang kualami, mungkin itu namanya firasat.

Namun perasaan tersebut saat itu tidak mampu kuungkapkan kepada istriku dan anak-anakku di bandara, karena yang kurasakan denyut bathin bahwa sebentar lagi aku mau menaiki pesawat dan saat itu aku akan berpisah dengan mereka, karena dalam benakku pesawat yang kutumpangi akan jatuh dan aku meninggal dunia. Biasanya setiap naik pesawat perasaan demikian tidak pernah berdenyut.

Di bandara kami minum-minum di kantin, di mana saat itu kami duduk satu meja sambil bercerita dengan bang Hasballah M.Saat (mantan menteri HAM), Pak Mahyuddin Hasyim (alm) bersama istri beliau (mantan bupati Pidie, saat itu beliau mau ke Medan karena ada keluarga beliau yang mendapat kecelakaan), duduk juga Meutia istriku, anakku Yuki dan Suaminya Teuku Raifal dan menantuku Elfan suami Yudid.

Tiba waktunya untuk berangkat, naluriku seakan-akan aku sebentar lagi akan meninggal dunia karena perasaanku, bahwa pesawat yang kutumpangi tersebut bakal jatuh saat mengudara, kembali mengganggu pikiranku.

Lalu, di microfon bandara mulai diumumkan bahwa sudah saatnya para penumpang bersiap-siap untuk berangkat. Begitu mau menuju ke tangga pesawat (waktu itu para penumpang berjalan kaki dari terminal ke landasan parkir pesawat), perasaan mau berpisah tersebut mulai menggeluti lagi pikiranku, sehingga tanpa peduli ditonton oleh penumpang lainnya, maka berulang kali kucium wajah istriku, kucium berulang kali wajah anakku Yuki dan wajah mantuku Raifal dan wajah Elvan menantuku. Kebetulan Elfan mengantarku hingga ke tangga pesawat sambil ia membantuku menjinjing sirup Marquisa yang kubawa ke Bandung. Begitu aku mau menaiki tangga pesawat, aku kembali menciumi wajah Elfan berulang kali dan aku kembali melambaikan tangan ke istriku dan anakku Yuki dan suaminya Raifal.

Masih amat membekas di benakku, bahwa istriku Meutia dan Yuki lama sekali melambaikan tangannya saat itu, seolah-olah melepaskan keperginku untuk selamanya dan perasaanku bahwa kami tidak akan bertemu lagi. Setelah kejadian tsunami, terbukti  sudah dengan firasatku, bahwa di bandara itu adalah perpisahan aku dan keluarga untuk selamanya dan begitu juga dengan lambaian tangan, rupanya itulah lambaian tangan yang terakhir.

Aku juga masih ingat, saat berangkat dari rumah aku diantar oleh sobatku bang Ain (Drs Syahrir AKA Direktur Percetakan CV. Tati Group), beliau yang menyopiri mobilnya dan aku duduk di sebelahnya. Waktu mau berangkat dan sebelum menaiki mobil, Yudid anakku dengan mengendong anaknya Defa (Elzya Diafaiz, nama tersebut diberikan oleh istriku saat Yudid melahirkan di Bandung dan aku setuju juga dengan nama tersebut.

Yudid yang kuliah di Fakultas Kedokteran Unsyiah, menyalamiku, lalu mulai datang perasaan mau berpisah karena firasatku tersebut, dimulai dari rumah sebelum berangkat ke bandara. Aku menciumi anakku Yudid berulang kali di dekat garasi mobil, lalu kuambil cucuku Defa dari gendogan Yudid, lalu kugendong cucuku satu-satunya ini dan kubawa bersamaku naik ke dalam mobil. Ia menangis, seakan-akan baru sekarang kusadari bahwa tangisannya tersebut adalah tangisan terakhir di pelukan kakeknya. Saat itu Yudid mengambil kembali anaknya yang berada dalam mobil bersamaku. Perasaan mau berpisah tersebut, membuatku seperti orang lugu. Mau kuungkapkan tidak mampu dan saat menggendong cucuku, perasaanku mengatakan inilah yang terakhir aku menggendong cucu tersayang. Rupanya apa yang terpikir saat itu, terbukti semuanya setelah tsunami.

Lucunya, saat aku akan menyerahkan defa dalam pelukanku ke mamanya Yudid, lewat jendela mobil. Naluriku pun mulai sadar ketika itu, kok aku menyerahkan cucu kesayanganku lewat jendela mobil yang disambut oleh Yudid mamanya dari luar mobil? kenapa tidak aku membuka pintu sambil berdiri kembali meyarahkan cucuku untuk digendong kembali oleh mamanya? di sini ada satu penyesalanku, karena pekerjaan tersebut tidak baik lewat jendela mobil kuserahkan cucu kesayanganku yang waktu itu hanya satu-satunya itu.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved