Mengenang Tsunami
Ciuman Terakhir dengan Istri dan Anakku
Baunya sangat wangi, aku terharu sekali melihat mayat gadis yang kutaksir berumur 20 tahun-an
Memang kadang-kadang selama aku di Banda Aceh, di mana umur cucuku saat tsunami pas usianya tujuh bulan (26 Mai 2004–26 Desember 2004), saat aku menggendong cucuku ini, terpikir olehku, apakah cucuku ini panjang umur ? kenapa sampai ketingkat itu aku berpikir ? dalam penilainku bahwa cucuku itu sangat ganteng, jika ia sudah besar nanti dan kulitnya pun relatif sangat putih licin.
Telepon Terakhir
Sabtu sore (25 Desember 2004) aku menelpon keluargaku, di mana besok paginya datang musibah tsunami. Entah kenapa semenjak aku berangkat ke Bandung pada tanggal 20 Desember 2004, tiap hari aku menelpon isteri dan anak-anakku di Banda Aceh. Pertama aku menelpon saat begitu sampai di Cengkareng untuk menginfokan bahwa aku telah tiba di Jakarta, lalu menelpon lagi saat tiba di Bandung.
Keesokan harinya tanggal 21 aku menelpon lagi istriku hanya untuk bergurau saja sambil menanyakan tentang cucuku yang sudah mulai pintar duduk jika didudukkan, walau harus berjaga-jaga agar ia tidak terjatuh ke belakang. Besoknya, pada tanggal 22 Desember 2004 (sebagai hari ibu) aku menelpon lagi ke Banda Aceh khusus hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun ke 47 kepada istriku (isteriku lahir di Solo – Jawa Tengah, pada tanggal 22 Desember 1957).
Begitu juga tidak seperti biasanya dalam seminggu itu, jika tidak siang atau malam hari aku menelpon isteri atau anak-anakku di Banda Aceh.
Telepon terakhir, di sabtu sore tersebut di ambil oleh anakku Yuki yang baru selesai pesta perkawinannya pada tanggal 11 Desember 2004.
Aku menanyakan kemana mama, ia pun memanggil Meutia istriku. Aku menanyakan ke istriku, besok Minggu dengan siapa ke pesta anak pak rektor di kampus. Istriku hanya mengatakan jika tidak ada teman, ya pergi sendiri nanti bisa ditemani oleh Yudid ia yang menjadi supirnya.
Lalu aku menanyakan, apa sudah menelpon mbak Tarmi, adik sepupu istriku di Jakarta (ia bekerja di rumah sakit Budiasih–Jakarta adik sepupu istriku, kelahiran Solo Jawa Tengah, tetapi non muslimah mengikuti agama suaminya katolik dan mas Yanto suami bekerja di Bea cukai).
Maksudku karena mbak Tarmi jika lebaran Idul Fitri dan Idul Adha selalu menelpon ke Aceh dan tidak salah juga jika di hari natal kami juga menelponnya untuk silaturrahmi, sambil menanyakan bagaimana suasana natalnya di Jakarta. Jawaban istriku, sudah beberapa kali ditelpon ke Sutarmi, tetapi tidak tersambung.
Lalu aku ngobrol dengan Yuki, ia minta ditransfer uang Rp500.000,- ke rekeningnya alasannya untuk jajan dan beli pulsa HP. Lalu aku menanyakan kepada Yuki ke mana kak Yudid, ia mengatakan lagi cuci piring. Aku minta memanggilnya. Yudid pun melakukan pembicaraan telepon denganku. Aku hanya menanyakan bagaimana Defa cucuku.
Aku tanyakan juga kapan Yudid mulai memasuki masa Ko-as, ia mengatakan konsentrasi dulu dengan beberapa mata kuliah yang belum lulus (Yudid kuliah di Fakultas Kedokteran Unsyiah). Harapanku kepada Yudid luar biasa, agar anakku yang kuliah di kedokteran ini, dapat menyelesaikan kuliahnya dengan baik dan tepat waktu, karena ia telah mengambil cuti non aktif satu semester karena melahirkan.
Kebiasaanku untuk selalu membeli buku-buku kedokteran dengan gambar-gambar berwarna kepada Yudid, tujuan untuk memotifasi Yudid agar rajin belajar. Walau buku-buku kedokteran tersebut tidak dimintanya, tetap kubeli. Waktu ia masih duduk di semester satu saja aku telah membeli untuknya steteskop yang bagus dan alat ukur hipertensi yang kualitras bagus. Paling sering aku membeli untuk keperluannya di toko Sakura di jalan Padjadjaran Bandung, karena di situ harganya agak murah dari pada di tempat lain. Termasuk alat operasi (jika tidak salah ukuran mini ?) aku membelinya di toko Sakura ini. Kadang jika aku ke Jakarta aku membeli buku-buku kedokteran tersebut, di depan toko Buku Gunung Agung - Kwitang atau di kios-kios buku Palasari di Bandung. Umumnya buku-buku kedokteran di Kwitang maupun di Palasari diproduksi oleh Universitas Indonesias Press.
Setelah aku berbicara dengan Yudid, aku kembali beberapa menit bercerita dengan Yuki ditelepon dan akhirnya, aku minta berbicara lagi dengan istriku Meutia. Yuki menginfokan kalau mamanya lagi duduk diteras depan, mungkin lagi membaca majalah katanya, lalu ke Yuki aku mohon izin untuk mengakiri telepon dengan ucapan Assalamua’alaikum dan sebagaimana biasanya ia menjawab dengan walaikum salam warahmatullah.
Musibah itu pun Datang
Di hari Minggu tanggal 26 Desember 2004 tersebut, sebagaimana biasanya tiap hari Minggu aku pasti jalan pagi dari rumah kontrakanku di Dago Timur ke Gasibu, lapangan di depan gedung sate Bandung untuk berolah raga jalan kaki.
Biasanya aku berangkat dari rumah Dago Timur pukul 7 pagi, namun kali ini agak terlambat pukul 08.15 Wib baru beranjak dari rumah (gempa tsunami di Aceh terjadi pada waktu bersamaan yaitu sekitar pukul 8.00 pagi). Saat itu perasaanku tidak enak dan pikiranku terus melayang ke Banda Aceh. Mungkin karena pikiran melayang terus, sampai akhirnya aku agak sempoyongan. Kebiasaanku tiap tiba ke Gasibu setelah 2 – 3 kali jalan keliling lapangan Gasibu, aku mesti singgah ke makanan kesukaanku, yaitu sate ayam yang ukurannya sebesar sate daerah matang di Aceh. Lalu aku mencoba menghubungi ke Aceh dengan telepon genggamku, ternyata tidak ada sambungan. Kucoba beberapa kali juga tidak ada respons dari Hp istriku dan Hp anak-anakku. Aku berpikir sinyal ke Banda Aceh lagi tidak bagus.