Mengenang Tsunami

Sarjanaku untuk Ibu

Kupersembahkan gelar sarjana ini untukmu Ibu sembari selalu mendoakanmu di setiap usai shalatku.

Sarjanaku untuk Ibu - m._riza_almudarris_.jpg
M. Riza Almudarris
Sarjanaku untuk Ibu - tugu_simpang_mesra.jpg
Tugu Pelajar, Simpang Mesra, Banda Aceh

SORE itu, Sabtu 25 Desember 2004 jelang terbenamnya matahari di ufuk Barat ujung pulau Sumatera. Aku, bapak dan adikku menuju Ulee Lheue untuk bersilaturrahmi ke sebuah rumah yang kini telah menjadi lautan luas samudera Hindia. Rumah dinas seorang Brigadir Polisi, suami dari kakak sepupuku. Dari sana tercipta senyuman lepas nan ceria, bercerita, bercengkrama, sambil menikmati masakan lezat yang telah tersaji di hadapan kami. Suasana ceria bersama keluarga yang tak pernah terbayangkan akan menjadi keceriaan terakhirku bersama mereka. Allahummaghfirlahum warhamhum wa’afihim wa’fuanhum...

Sembari menikmati suasana pantai yang indah, diselingi gelak tawa dan raut wajah yang berseri-seri. Di rumah dinas yang sempit itu kami bercerita tentang banyak hal. Cerita-cerita indah yang telah menjadi kenangan itu hingga kini hanya bisa terlintas di benak ini. Malam itu jam di dinding rumah dinas itu menunjukkan pukul 20.30 WIB, kami pun pamit untuk kembali ke rumah kami di kawasan Simpang Mesra. Dalam perjalanan pulang, aku sempat singgah untuk membeli kue pesanan Ibu, yang ternyata menjadi permintaan terakhir Ibu kepadaku.

Tanpa firasat apa pun, kami pun melewati malam seperti biasanya. Keesokan harinya, Minggu 26 Desember 2004, ketika matahari mulai bertugas menyinari bumi ini, manusia pun larut dalam segala aktivitas pagi Minggu mereka. Pagi indah yang dalam sekejap berubah menjadi duka mendalam bagi dunia. Pagi ceria yang seketika menjadi malapetaka. Musibah maha dahsyat menimpa negeri Serambi Mekkah.

Gempa bumi dahsyat di Samudera Hindia, lepas pantai barat Aceh pagi Minggu itu terjadi tepat pukul 08.00 WIB. Menurut para ahli titik gempa terdapat sekitar 160 km sebelah barat Aceh dengan kedalaman 10 kilmoter. Gempa yang berkekuatan 9,3 skala richter ini menjadikannya sebagai gempa terdahsyat dalam kurun waktu 40 tahun. Dan menjadi catatan sejarah juga sebagai bencana yang merenggut nyawa manusia terbanyak.

Sungguh di luar dugaanku, gempa yang membuat orang-orang tidak dapat berdiri itu menjadi awal dari malapetaka yang  dahsyat dengan datangnya gelombang tinggi yang tak dapat diungkapkan. Gelombang yang terakhir diketahui bernama Tsunami, sebuah kata yang berasal dari Jepang. Gelombang yang telah menghancurkan kota tempatku dibesarkan, gelombang yang telah menjadikanku dan adik-adikku piatu.

Setelah gempa berakhir, bapak harus memenuhi tugasnya untuk mengikuti pelatihan di kawasan Peunayong. Dua puluh menit berselang, aku didatangi seorang sahabat yang mengajakku menuju pusat kota sambil melihat bangunan-bangunan yang telah rata dengan tanah. Tanpa pikir panjang dan tanpa firasat apapun, akupun memenuhi ajakan sahabatku. Kami pun memulai perjalanan itu dengan mengendarai sepeda motor mengitari Kota Banda Aceh yang telah disuguhi dengan bangunan-bangunan runtuh.

Pemandangan pertama yang kami dapatkan adalah runtuhnya kubah Masjid Al-Makmur Lamprit, masjid yang memiliki kubah yang khas itupun menjadi pusat perhatian warga kota. Tanpa berlama-lama, kami pun mengatur rencana selanjutnya untuk menuju pusat kota. Sesampainya di simpang Jambotape, teriakan air laut naik! dari ribuan warga kawasan jalan Syiah Kuala begitu menggema di telinga kami. Tanpa pikir panjang, kubelokkan sepeda motor ke arah Beurawe yang  pada saat itu sangat padat dengan kendaraan.

Sambil melarikan diri dari hantaman gelombang tsunami, sejenak pikiranku tersentak membayangkan keadaan Ibu dan adik-adikku di rumah. Bagaimana nasib mereka? Apalagi rumahku tergolong cukup dekat dengan laut, hanya sekitar 2 kilometer dari pantai Alue Naga. Kuambil handphone kucoba hubungi ke rumah, namun hasilnya nihil. Ternyata jaringan telekomunikasi sudah terputus total. Teriakan air laut naik masih begitu terdengar di indra dengarku, ditambah suara jeritan minta tolong oleh para korban yang mulai banyak tergeletak di jalanan.

Setelah selamat dari hantaman gelombang dahsyat itu, aku memutuskan untuk menuju rumah melalui jalan alternatif. Beberapa jalan yang aku coba, semuanya tidak dapat mengantarkanku menuju rumah. Pikiran ini semakin tak menentu, perasaan khawatir akan kondisi orang-orang yang sangat aku cintai di rumah semakin membara. Aku pun terus mencari dan mencari jalan mana yang dapat ditempuh agar aku bisa melihat kondisi keluargaku di rumah. 

Setelah lelah mencari jalan pulang menuju rumah, aku pun memutuskan untuk menyusuri jalan Tgk. Daud Beureueh. Dan ternyata jalan yang aku kira dapat dengan lancar dan segera mengantarkanku menuju rumah, dipenuhi dengan mayat, kayu dan sampah-sampah. Perasaan ini semakin tidak tenang melihat kondisi yang sudah semakin parah. Ditambah lagi dengan adanya mayat-mayat tergeletak yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Selama dalam pencarian jalan pulang menuju rumah, banyak kisah yang sampai saat ini masih terbayang dalam ingatan.

Akhirnya, setelah melewati perjuangan yang melelahkan. Pukul 15.00 WIB aku sampai di rumah dengan berjalan kaki. Sepeda Motor yang aku gunakan untuk menyelamatkan diri dari gelombang raksasa kutitipkan dirumah seorang teman di kawasan Lambhuk.  Perlahan tapi pasti, kulangkahkan kaki melewati mayat, kayu, dan sampah demi keluargaku di rumah.

Masya Allah...Betapa terkejutnya aku ketika melihat kondisi rumah yang hancur dan dipenuhi lumpur, bahkan sampai ke lantai dua. Ditambah lagi mayat-mayat yang tergeletak sangat mengenaskan. Seketika aku lemas membayangkan keadaan ibu dan adik-adikku. Di mana mereka? Bagaimana keadaan mereka?. Tak lama kemudian salah seorang adikku pulang dengan tubuh yang penuh lumpur dan diiringi tetesan air mata.

Dia bercerita kehilangan jejak ibu dan adik bungsuku saat gelombang air hitam kencang itu datang menghantamnya di Simpang Peurada. Air bah itu begitu cepat menyapu bersih segalanya, menjadikanku dan adik-adikku piatu karena kehilangan seorang ibu yang sangat kami cintai. Segalanya milik Allah, kita sebagai hamba lemah ini hanya biasa berserah diri kepada-Nya akan segala kejadian yang menimpa kita.

Waktu terus berjalan hingga pada sore hari kami berkumpul di rumah yang penuh lumpur sisa gelombang tsunami. Kecuali ibu dan adik bungsu kami, kami berusaha tegar dan tabah dalam menghadapi cobaan ini. Air mata pun berlinang ketika Bapak menasehati kami, meminta agar bisa ikhlas dan berdoa untuk Ibu dan adik agar diberi keselamatan oleh Allah.

Matahari di hari kelabu itu tampak segera terbenam. Aku, bapak dan adik-adikku masih saja disibukkan dengan mencari ibu dan adik bungsuku. Bahkan, terkadang kubuka penutup jenazah yang tergeletak di jalan hanya untuk memastikan apakah ibuku di balik kain itu. Satu persatu kubuka, namun tidak satupun yang kukenali. Azan maghrib pun dilantukan oleh muazzin tanpa pengeras suara. Namun, suasana yang mencekam pilu membuat suara panggilan paling indah itu terdengar merdu ditengah duka mendalam.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved