Opini

Mazhab Syafi’i atau Syafi’iyah?

TULISAN ini bertujuan untuk menanggapi sekaligus memberi masukan terhadap Rancangan Qanun (Raqan) Aceh tentang Pokok-Pokok

Editor: bakri

Menanggapi pernyataan yang menginginkan agar cara beribadah umat Islam di Aceh harus mengikuti Mazhab Syafi’i, pendapat tersebut perlu mempertimbangkan banyak hal. Misalnya, Mazhab Syafi’i yang manakah yang akan diikuti, apakah pendapat Imam Syafi’i atau pendapat ulama syafiiyah? Jika pendapat ulama syafi’iyah, maka ulama syafi’iyah yang manakah yang harus diikuti? Perlu alasan yang kuat ketika seseorang mengikuti ulama syafi’iyah tertentu dan mengapa meninggalkan pendapat ulama syafi’iyah yang lain. Misalnya, mengapa mengikuti pendapat Al-Mahalli dan mengapa meninggal Al-Nawawi, atau sebaliknya.

 Sebuah wasiat
Mengakhiri tulisan ini, penulis mengutip sebuah wasiat Imam Syafi’i dalam kaitan bagaimana seharusnya umat Islam bersikap dalam masalah ibadah. Imam Syafi’i berwasiat: “Meskipun aku telah mengatakan satu pendapat atau mengeluarkan satu ushul, kemudian datang keterangan dari Rasulullah yang menyelisihi pernyataanku, maka perkataan yang benar adalah perkataan Rasulullah.” Wasiat imam Syafi’i ini mengandung makna agar umat Islam selalu mengutamakan hadis Rasul sebagai dasar dalam beribadah. Dengan kata lain, pendapat Imam Syafii dapat diterima dan diikuti, jika pendapatnya sejalan dengan Alquran dan Al-Hadis.

Berdasarkan realitas di atas dan dalam konteks Raqan Aceh tentang Pokok-Pokok Syariat Islam, penulis berpendapat jika kalimat seperti yang tercantum pada ayat (2) dan (3) tetap dipertahankan, akan terjadi bias dan group prejudice dalam memahami, memaknai, dan menafsirkan pengertian “Mazhab Syafi’i”. Berdasarkan beberapa peristiwa yang telah terjadi di Aceh selama ini, pengertian Mazhab Syafi’i lebih ditentukan pemahamannya oleh banyaknya jumlah (kuantitas) pengikut atau pendukung sebuah pendapat, bukan berdasarkan dalil yang lebih kuat (rajih). Karenanya, penulis mengusulkan agar ayat (2) Raqan tersebut berbunyi: “Penyelenggaraan ibadah sebagaimana diatur dalam ayat (1) diamalkan dengan selalu berlandaskan kepada Al-qur’an dan Al-Sunnah Al-shahihah.”

Hal tersebut karena semua umat Islam, dalam berbagai dimensi ruang dan waktu, sepakat bahwa sumber utama ajaran Islam adalah Alquran dan Sunnah Rasulullah. Selain itu, Qanun tersebut perlu juga mengatur tentang adanya tasamuh (toleransi) beribadah, dengan mengakui adanya tanawwu’ fil ibadah (Rasulullah pernah melakukan suatu ibadah dengan cara pelaksanaannya yang berbeda-beda). Dengan semangat toleransi ini, diharapkan umat Islam di Aceh dapat beribadah dengan tenteram, tanpa ada diskriminasi mazhab, sehingga Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin benar-benar terwujud di bumi Serambi Mekkah. Semoga!

* Dr. Aslam Nur, M.A., Dosen Sejarah Sosial Intelektual Islam Indonesia, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: aslamnur@yahoo.co.id

Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved