Cerpen
Mayat tak Dikenal
KAMPUNG Lamkutang sedang heboh penemuan sesosok mayat tak dikenal
“Baik terima kasih.”
Komandan polisi kembali menghubungi kepala kampung lainnya. “Halo, apa benar ini dengan Kepala Kampung Lamsupot.....”
“Hallo.. apa ini Kepala Kampung Lamtet...”
“Hallo... benar ini nomor Kepala Kampung Lamjawapalis....”
“Hallo... ini Kepala Kampung Lamsipak....?”
Satu per satu nomor kepala kampung dalam wilayah Kecamatan Suak Paleh terus dihubungi sang komandan. Namun, tak satu pun kepala kampung mengaku ada warganya yang hilang. Jawaban para kepala kampung nyaris sama, jika ada warga kampung mereka yang hilang tentu mereka sudah hubungi polisi jauh-jauh hari.
Komandan polisi membanting punggungnya ke sandaran kursi. Matanya masih tertuju pada KTP si mayat. Perlahan ia baca sendiri identitas di KTP tersebut. “Nama: Anu. Lahir: di kampung, tanggal sekian, bulan pulan, tahun pulen. Golongan Darah: dihapus. Pekerjaan: dihapus. Alamat: nomaden.
Komandan polisi bergeming beberapa saat, lalu ia memanggil ajudannya. Tak lama menunggu, sang ajudan sudah berada di depan komandan. Setelah memberi hormat kepada komandan, sang ajudan dipersilakan duduk.
“Semua kepala kampung sudah saya hubungi. Tak satu pun mengaku ada warganya yang hilang. Bagaimana solusi atas mayat ini?” tanya sang komandan.
Ajudannya mengernyitkan dahi. Tangan si ajudan bermain di depan bibirnya. Ia tampak sedang berpikir keras. Beberapa kali alisnya terangkat dan dahinya mengernyit.
“Apa yang kau pikirkan, Briptu?”
“Siap, Dan.. Iya, Dan. Berpikir, Dan... Anu, Dan..”
“Iya, saya minta kau pikirkan bagaimana caranya tangani mayat bernama Anu itu!” suara sang komandan sedikit meninggi.
“Siap, Dan. Sedang dipikirkan, Dan.”
“Ah... hidupmu berpikir terus dan terus berpikir. Kapan kau akan berhenti berpikir.Kapan kau bisa langsung memberikan ide hah!” Sang komandan diam sejenak. Ajudannya juga masih bergeming. “Begini saja, kau panggil imam masjid kita.”
“Siap, Dan. Laksanakan!”
Sang ajudan keluar dari ruangan komandannya. Namun, tak sampai lima menit, ia kembali masuk ruangan itu. “Lapor, Dan. Maaf, Dan. Pak Imam sedang di luar,” ujar ajudan.
Sang komandan mengambil KTP milik si mayat. Ia serahkan KTP itu kepada ajudannya. “Bawa identitas mayat ini dan tangani segera. Beri saya laporan secepatnya.”
Ajudan berpangkat brigadir satu itu kembali ke luar dari ruangan komandannya. Sang komandan masih tampak serius. Sepanjang kariernya, baru kali ini ia merasa sangat pusing menghadapi kasus penemuan mayat.
Di saat sedang gelisah seperti itu, tiba-tiba telepon genggamnya berbunyi - dri ajudannya. Ia angkat telepon tersebut.
“Lapor, Dan. Sampai sekarang belum diketahui pasti identitas detail mayat si Anu. Tim penyidik menunggu perintah Komandan. Mayat ini tak bisa lama-lama di tempat kita. Sekian, Dan,” kata sang ajudan.
“Sudah, bersihkan mayat itu dan kuburkan saja,” ucap komandan ketus.
“Tapi, Dan...”
“Tapi apa?”
“Dikuburkan bagaimana, Dan?”
“Ya dikuburkan sesuai syariatlah, pantengong!”
“Maaf, Dan. Dia bukan Islam, Dan.”
“Ya sudah, Bakar saja,” sahut komandan sedikit melunak.
“Tapi, Dan, dia bukan Hindu.”
“Ya sudah, antar ke geraja sana. Itu saja susah!” suara sang komandan kembali meninggi.
“Tapi, Dan, dia bukan Kristen.”
“Ah... kau panggil saja biksu kalau begitu.”
“Tapi, Dan, Dia bukan Budha, Dan.”
“Lalu agamanya apa? Kau bilanglah. Jangan berbelit-belit!” suara sang komandan semakin meninggi.
“Tidak diketahui, Dan. Kolom agama di KTP-nya kosong.”
Sang komandan terdiam. Badannya terasa lemas. Nyaris saja gagang telepon jatuh dari genggaman tangannya.
“Halo, Dan. Bagaimana, Dan? Apa yang harus kita lakukan, Dan?” suara dari seberang terus berbunyi di pelantam telepon sang komandan.
“Halo, Dan. Masih di posisi Dan? Masih dengar suara saya Dan? Halo, Dan....”
“Ya saya masih di sini,” sahut komandan lemas.
“Jadi bagaimana, Dan? Menunggu perintah, Dan.”
“Bungkus saja kembali mayat itu. Kita kirimkan ke Kementerian Dalam Negeri,” sahut komandan ketus.
“Siap, Dan. Laksanakan!”
“Tunggu! Ja.. Ja.. Jangan.... kita....”
Telepon dari seberang terputus. Untuk kesekian kalinya, sang komandan menghempaskan punggung ke sandaran kursinya.
Pattani, November 2014
* Herman RN, menulis cerpen, puisi, esai, dan resensi.
Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |