Cerpen
Makam di Bawah Pohon Tua
PADA siang hari saja, pohon itu nampak angker. Cahaya matahari yang menimpa pohon itu sering
“Kakek, yang gundukan tanah dengan batu biasa itu kuburan siapa? Banyak sekali.”
“Itulah kuburan korban konflik. Jasad mereka ada yang dikubur secara menumpuk di dalam tanah.”
Kakek terus bercerita dengan keadaan dan pemilik kuburan-kuburan tersebut. Matahari semakin meninggi.
“Lihat batu nisan ini. Ini Teungku Zakaria pendiri dayah tempat kamu mengaji sekarang. Beliau dituduh bekerjasama dengan GAM, lalu dibunuh.”
“Dan ini kuburan istri beliau. Beliau belum mempunyai anak.”
“Ini kuburan Pak Nuh, pemilik pabrik pupuk di kampung sebelah. Dia juga orang baik. Namun ketahuan membantu keuangan GAM. Beliau di bunuh. Istrinya trauma berat.”
Kakek terus bercerita. Aku sebenarnya menunggu cerita tentang ibu. Tapi rasanya kakek tidak akan bercerita tentang ibu.
“Lihatlah ini ini kuburan Cek Samsul-mu, dia meninggal karena dibunuh oleh orang tidak dikenal.”
“Dan ini Farid, dia satu-satunya wartawan kampung kita. Dia sangat berani memprotes dan menuntut pembunuhan Teungku Zakaria. Sehari mengajukan protes, malamnya dia diangkut dengan truk tentara. Esok hari jenazahnya ditemukan di pinggir sawah, penuh darah dan luka tembak.”
“Kek, kapan cerita tentang ibu? Sudah mulai sore kek. Kemarin kakek nggak jadi bercerita,” kakek hanya tersenyum mendengar ocehanku.
“Ini kuburan Bang Maun. Dia pedagang ikan, tapi sebenarnya dia seorang GAM. Penyamarannya terbongkar. Kemudian dia ditembak ketika hendak melarikan diri.”
“Kakek cerita lah tentang ibu,” aku mulai tidak sabaran. Matahari semakin condong ke barat.
“Baiklah. Ibu-mu perempuan yang setia. Dia tidak pernah mengeluh dengan nasibnya. Kakek pernah membujuknya untuk menikah lagi, supaya ada yang akan menjaganya dan dirimu ketika lahir. Tapi ibumu tidak mau. Dia bilang, itu takdir Allah untuknya.”
“Ibu-mu tak pernah meninggalkan shalat. Kamu juga harus begitu.” Aku cuma mengangguk. “Dia juga jarang keluar rumah. Kakek tidak pernah melihatnya berkumpul dengan orang-orang seperti Kak Ros. Dia tidak suka duduk ramai dan membicarakan orang lain.”
“Ibu-mu itu santri dari Samalanga. Pernah juara Tilawatil Quran.”