Opini

Kebebasan Beribadah dalam Qanun Aceh

Barangkali semua kita sudah tahu bahwa Aceh memperoleh keistimewaan dalam bidang agama

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Kebebasan Beribadah dalam Qanun Aceh
Prof. Dr. Al Yasa‘ Abubakar, Dosen pada Fakultas syariah UIN Ar Raniry, Banda Aceh

Oleh Prof. Dr. Al Yasa‘ Abubakar, Dosen pada Fakultas syariah UIN Ar Raniry, Banda Aceh

Barangkali semua kita sudah tahu bahwa Aceh memperoleh keistimewaan dalam bidang agama, pendidikan, dan adat. Keistimewaan ini secara politis diperoleh tahun 1959 melalui Keputusan Wakil Perdana Menteri, sedang secara yuridis formal diproleh tahun 1999 melalui UU 44/99, yang kemudian diperkuat dengan UU 18/01 ketika Aceh diberi otonomi khusus. Sekarang ini, sesuai dengan amanat MoU Helsinki, keistimewaan dan kekhususan di atas diperjelas dan diperteas lagi di dalam UU 11/06.

Di Aceh sendiri, izin mengenai keistimewaan tersebut telah diimplementasikan secara berangsur-angsur melalui qanun Aceh, peraturan gubernur, qanun kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota, bahkan ada desa yang mengimplementasikannya melalui reusam gampong. Salah satu dari peraturan pelaksanaan mengenai keistimewaan di atas adalah Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 tentang tentang Pokok-Pokok Syariat Islam.

Qanun ini berisi bab tentang akidah, bab tentang syariah dan bab tentang akhlak. Bab tentang syariah dibagi ke dalam tujuh bagian yaitu ibadah, hukum keluarga, muamalah, jinayat, qadha’, tarbiyah dan pembelaan Islam.

Tulisan ini ingin menjelaskan masalah ibadah, khususnya mengenai bagaimana qanun di atas mengatur dan melindungi kebebasan beribadah bagi umat Islam di Aceh. Untuk itu penulis mengutip pasal tentang ibadah (Pasal 14) secara lengkap dan setelah itu memberikan ulasan dan penjelasan. (1) Penyelenggaraan ibadah di Aceh wajib dijalankan sesuai dengan tuntunan syariah.

(2) Penyelenggaraan ibadah sebagaimana diatur ayat (1) diamalkan dengan memprioritaskan tata cara pengamalan ibadah menurut mazhab Syafi’i. (3) Penyelenggaraan ibadah yang tidak mengacu pada tata cara mazhab Syafi’i dibolehkan selama dalam bingkai mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali dengan selalu mengedepankan kerukunan, ukhuwah Islamiyah dan ketenteraman dikalangan umat Islam. (4) Dalam hal ada kelompok masyarakat di Aceh yang sudah mengamalkan mazhab Hanafi, Maliki atau Hambali tidak dapat dipaksakan untuk mengamalkan mazhab Syafi’i.

(5) Dalam hal (ada?) kelompok masyarakat yang mengamalkan ibadah mengikuti paham organisasi keagamaan yang sesuai dengan Al-Quran dan Hadist serta diakui secara sah oleh negara tetap dibenarkan/dilindungi. (6) Terhadap permasalahan kontemporer yang ditemukan dalam mazhab yang empat, dapat dilakukan kajian lebih lanjut oleh MPU Aceh yang melibatkan lembaga terkait yang berwenang.

(7) Apabila terjadi khilafiah dalam penyelenggaraan ibadah maka dilakukan muzakarah atau pengkajian komprehensif oleh MPU Aceh yang melibatkan lembaga terkait dengan mengedepankan semangat ukhuwah islamiah, toleransi (tasamuh) dan keterbukaan. (8) Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota berkewajiban menyediakan fasilitas dan menciptakan kondisi serta suasana lingkungan yang kondusif untuk penyelenggaraan ibadah.

(9) Setiap instansi pemerintahan, perusahaan, instansi swasta dan penyelenggara fasilitas umum wajib menyediakan sarana ibadah yang layak. (10) MPU Aceh berkewajiban mengawasi peribadatan yang menyimpang dari aturan syariah yang berpotensi menimbulkan keresahan dan konflik dalam masyarakat. (11) Ketentuan lebih lanjut mengenai ibadah diatur dalam Qanun Aceh.

Saya rasa semua kita sepakat bahwa masalah ibadah sangat penting dalam Islam. Lebih dari itu adanya perbedaan pemahaman dan pengamalan beberapa ibadah di tengah masyarakat sudah menjadi kenyataan yang berlangsung lama, dan secara umum telah diterima. Namun begitu mesti kita akui juga,kadang-kadang perbedaan pemahaman dan pengamalan dapat menimbulkan keresahan, salah menyalahkan sampai kepada pertengkaran dan pemaksaan pendapat. Mungkin karena hal itulah maka qanun mengatur masalah ibadah secara relatif rinci, terdiri atas sebelas ayat (merupakan pasal terpanjang dalam qanun ini).

Qanun secara jelas menyatakan bahwa pengamalan ibadah di Aceh mesti mengikuti ketentuan syariah, dengan memberikan prioritas kepada tata cara mazhab Syafiiah. Namun perlu diingat pemberian prioritas ini dibatasi dengan beberapa syarat yang disebutkan dalam ayat-ayat selanjutnya sebagai berikut.

Pertama sekali, penyelenggaraan ibadah yang tidak mengacu pada tata cara mazhab Syafi’i dibolehkan selama dalam bingkai mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali dengan selalu mengedepankan kerukunan, ukhuwah Islamiyah dan ketenteraman di kalangan umat Islam. Izin ini dikuatkan lagi dengan ayat berikutnya, dalam hal ada kelompok masyarakat di Aceh yang sudah mengamalkan mazhab Hanafi, Maliki atau Hambali tidak dapat dipaksakan untuk mengamalkan mazhab Syafi’i.

Dua ayat di atas menurut penulis merupakan syarat yang perlu diperhatikan dan digarisbawahi sehingga walaupun ada pemberian prioritas, perbedaan pendapat dan toleransi untuk adanya keragaman tetap terbuka, dihargai dan dilindungi. Ayat di atas secara jelas menyatakan bahwa pengamalan ibadah yang masih dalam bingkai mazhab Hanafiah, Malikiah atau Hanabilah, bukan hanya diakui, tetapi dinyatakan secara tegas tidak boleh dipaksa untuk diubah mengikuti tata cara mazhab Syafi‘iah.

Menurut penulis pernyataan ini sangat tegas karena diulangi dua kali dalam dua ayat. Lebih dari itu dalam ayat lima diberikan lagi penegasan lain. Perlindungan dan pengakuan diberikan juga kepada kelompok masyarakat yang mengamalkan ibadah mengikuti paham organisasi keagamaan yang diakui sah oleh Negara, asalkan sesuai dengan Al-Quran dan Hadist.

Jadi, bukan hanya tata cara beribadat menurut mazhab empat yang dilindungi. Tata cara mengikuti organisasi sosial yang diakui oleh Pemerintah Indonesia selama tidak menyimpang dari Alquran dan sunnah juga diakui dan dilindungi.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved