Opini

Kebebasan Beribadah dalam Qanun Aceh

Barangkali semua kita sudah tahu bahwa Aceh memperoleh keistimewaan dalam bidang agama

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Kebebasan Beribadah dalam Qanun Aceh
Prof. Dr. Al Yasa‘ Abubakar, Dosen pada Fakultas syariah UIN Ar Raniry, Banda Aceh

Dengan ketentuan yang terang benderang di atas sekiranya ada kelompok masyarakat yang memaksakan kehendak agar tata cara beribadah disebuah rumah ibadat ditukar dengan tata cara lain, maka dapat dianggap melawan peraturan yang berlaku secara sah dalam hal ini Qanun Aceh, dan karena itu dapat dianggap telah mengganggu kenyamanan, keamanan dan ketertiban umum.

Mengenai peran MPU, disebutkan dalam ayat 7 dan 10. Apabila terjadi khilafiah dalam penyelenggaraan ibadah maka dilakukan muzakarah atau pengkajian komprehensif oleh MPU Aceh yang melibatkan lembaga terkait dengan mengedepankan semangat ukhuwah islamiah, toleransi (tasamuh) dan keterbukaan. Ayat ini memberi pemahaman bahwa pengkajian masalah khilafiah menjadi kewenangan MPU Aceh bersama lembaga terkait yang akan dilaksanakan dengan menjaga dan mengedepankan semangat ukhuwah, toleransi dan keterbukaan.

Penyelesaian dengan mengedepankan semangat ukhuwah, toleransi dan keterbukaan menurut penulis mesti dipahami melarang penyelesaian dengan tindak kekerasan, apalagi melakukan pemaksaan kehendak secara sepihak. MPU sesuai denan tugas dan fungsinya mesti memberikan perlindungan melalui fatwa atau nasihat bahwa tata cara ibadat yang dilakukan oleh kelompok masyarakat dan rumah ibadah yang dianggap khilafiah adalah sah, boleh dilakukan dan dilindungi oleh Pemerintah di Provinsi Aceh, selama ada dalam bingkai mazhab empat dan faham organisasi yang diakui sah di Indonesia, sesuai dengan ayat empat, lima dan enam di atas.

Sedang pihak keamanaan menurut penulis, sesuai dengan fungsi dan tugasnya, juga mesti memberikan perlindungan (kalau perlu secara fisik), sehingga siapa saja yang melakukan ibadah tidak secara menyimpang dari Alquran dan sunnah, dapat mengamalkannya dengan tenang dan nyaman, karena tata cara tersebut dilindungi oleh hukum. Pengawasan yang menjadi kewenangan MPU, yang mungkin akan diikuti dengan teguran dan bahkan larangan, hanyalah terhadap tata cara ibadah yang menyimpang dari ketentuan syariat, seperti diatur dalam ayat 10. Dalam pemahaman penulis, pelarangan tidak boleh diberikan untuk praktek yang berbeda hanya karena khilafiah semata.

Qanun tidak mengizinkan adanya pelarangan terhadap praktek ibadah yang berbeda karena khilafiah sebagaimana tidak dapat dilakukan terhadap tata cara yang diakui sah oleh salah satu dari tiga mazhab sunni (selain Syafiiah), atau diakui oleh organisasi sosial keagamaan yang bekiprah secara sah di Negara Indonesia. Qanun menyatakan bawa pelarangan hanya dapat dilakukan terhadap praktek yang menyimpang dari aturan syariat, bukan untuk khilafiah.

Sebetulnya masih ada beberapa hal lain yang tertera di dalam qanun yang perlu disampaikan secara terbuka kepada masyarakat luas, agar ukhuwwah dan toleransi dapat terbina. Mudah-mudahan ada yang akan menyampaikannya pada kesempatan yang lain. Kepada Allah penulis berserah diri, kepada-Nya dimohon hidayah pencerah nurani dan kepada Nya pula dimohon ampun setulus hati. Wallahu a’lam bish-shawab.

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved