Jurnalisme Warga
Kluet dan Kisah Masjid Tuo Berumur 600 Tahun Lebih
PADA ada akhir tahun 2019 saya bersama Herman RN, Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), ditugaskan untuk melakukan monitoring

OLEH JON DARMAWAN, M.Pd., Guru SMAN 7, Ketua IGI, dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Kota Lhokseumawe, melaporkan dari Lhokseumawe
PADA ada akhir tahun 2019 saya bersama Herman RN, Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), ditugaskan untuk melakukan monitoring dan evaluasi (monev) Penguatan Bahasa dan Sastra Kluet. Sedangkan Dr. Sehat Ihsan Shadiqin, Dosen UIN Ar-Raniry, melakukan monev Penguatan Bahasa dan Sastra Simeulue di Sinabang, Kabupaten Simeulue. Kami ditugaskan oleh Dinas Pendidikan Aceh untuk melakukan monev tersebut.
Pada medio September 2019, Dinas Pendidikan Aceh melaksanakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) kedua bahasa tersebut. Bahasa daerah lainnya di Aceh akan dilakukan kegiatan yang sama pada tahun selanjutnya. Tujuan penguatan ini adalah untuk melestarikan dan menghindari bahasa daerah di Aceh dari kepunahna. Sudah banyak bahasa daerah di Indonesia yang mengalami kepunahan. Kita tidak ingin bahasa daerah di Aceh mengalami kepunahan.
Adapun monev yang kami lakukan sebagai tindak lanjut dari kedua bahasa yang telah dilakukan FGD. Banyak hal yang kami temukan dalam kegiatan monev di Kluet. Kegiatan monev dipusatkan di SMA Negeri 1 Kluet Timur yang berlokasi di Paya Dapur, Kecamatan Kluet Timur, Kabupaten Aceh Selatan. Saat kami datang, sudah berkumpul para tokoh Kluet yang sebelumnya ikut FGD di Banda Aceh. Mereka umumnya terdiri atas guru SD, SMP, dan SMA sederajat di wilayah Kluet.
Kluet merupakan salah satu suku di Aceh yang mendiami salah satu wilayah di Aceh Selatan. Awalnya, suku Kluet mendiami dua kecamatan, yaitu Kluet Utara dan Kluet Selatan. Seiring perkembangan Kabupaten Aceh Selatan, kedua kecamatan ini dimekarkan menjadi lima kecamatan, yaitu Kluet Utara, Kluet Tengah, Pasie Raja, Kluet Selatan, dan Kluet Timur. Masyarakat Kluet lebih sering menyebut daerah ini sebagai Kluet Raya.
Tidak banyak referensi yang dapat kita temukan secara tertulis terkait sejarah, adat istiadat, bahasa, dan budaya Kluet. Oleh karena itu, penguatan bahasa dan sastra Kluet yang dilakukan Dinas Pendidikan Aceh sangat baik untuk memperkaya literasi Kluet.
Peserta monev sangat mengharapkan agar bahasa Kluet menjadi mata pelajaran muatan lokal yang diajarkan di seluruh sekolah dalam wilayah Kluet Raya. Kegiatan FGD, monev, dan workshop yang akan dilakukan pada tahun 2020 merupakan salah satu upaya menyiapkan bahan ajar muatan lokal bahasa Kluet dan Simeulue.
Tokoh Kluet yang juga menjabat Kepala MAN Kluet, Darhusin SPd, menjelaskan bahwa para generasi milenial Kluet mulai meninggalkan bahasa Kluet. Mereka enggan bertutur dalam bahasa Kluet. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan eksistensi bahasa Kluet.
Oleh karena itu, Darhusin sangat mengharapkan kepada Pemerintah Aceh melestarikan bahasa Kluet melalui berbagai cara. Salah satunya adalah dengan menjadikan bahasa Kluet sebagai muatan lokal. Pihaknya sudah menyiapkan kamus bahasa Kluet yang entrinya lebih dari 5.000 kata sebagai bahan ajar awal.
Darhusin membagi tugas kepada para peserta FGD untuk menggali lebih banyak adat, budaya, dan sastra Kluet. Busairi Nyak Diwa misalnya, ditugaskan membidangi Sastra Kluet. Salah satu langkah yang dilakukan adalah menggelar lomba menulis cerita rakyat Kluet. Hasilnya terkumpul lebih dari 40 cerita rakyat Kluet yang siap dibukukan.
Cerita rakyat Kluet tersebut ditulis oleh siswa SMA/SMK/MA se-Kluet Raya. Para siswa memperoleh cerita rakyat dari tokoh masyarakat dan orang tua Kluet. Cerita rakyat ini menjadi kekayaan sastra Kluet yang perlu dilestarikan sekaligus sebagai salah satu bahan ajar bahasa Kluet. Kumpulan cerita rakyat rencananya diterbitkan dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Kluet.
Arjuna yang bertanggung jawab terhadap adat istiadat menceritakan tentang kesenian Kluet. Menurut Arjuna, kesenian Kluet yang menonjol adalah tarian landok sampot. Tarian ini pernah ditampilkan pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA). Selain itu, terdapat tarian ratoh yang perlu dipertahankan eksistensinya. Kluet juga memiliki tarian meudenden. Tarian ini sudah mulai meredup sehingga perlu dilestarikan.
Hasil monev mengungkapkan bahwa sangat banyak adat dan budaya Kluet yang perlu dilestarikan. Adat dan budaya Kluet tersebut selama ini jarang terpublikasikan. Hal ini diakibatkan oleh sangat minimnya referensi yang ditemukan tentang eksistensi adat dan budaya Kluet.
Selain itu, even berskala nasional, apalagi internasional, hampir tidak pernah dilakukan di wilayah Kluet. Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan seharusnya mengagendakan event nasional di Kluet Raya. Salah satu di antaranya dengan menggelar Festival Krueng Kluet. Krueng Kluet merupakan sebuah sungai yang membentang sepanjang lebih kurang 120 km dari hulu hutan Leuser. Sungai ini melintasi Kecamatan Kluet Tengah, Kluet Utara, Kluet Timur, dan Kluet Selatan. Fungsi sungai ini sangat vital bagi masyarakat Kluet. Saya yakin, event nasional yang akan digelar di Kluet nantinya akan mampu mengenalkan adat dan budaya Kluet secara nasional dan bahkan internasional.
Beberapa adat dan budaya Kluet yang perlu dijaga kelestariannya, di antaranya adalah rumah adat Kluet yang tidak banyak diketahui orang. Rumah adat Kluet disebut Rungko. Saat ini Rungko berdiri megah di Desa Koto, Kecamatan Kluet Tengah. Berdasarkan penelusuran sejarah diketahui bahwa Rungko didirikan pada tanggal 1 Januari 1861 oleh Raja Manggamat, Imam Hasbiyallah Muhammad Teuku Nyak Kuto. Beliau merupakan keturunan pejuang Kluet yang bernama Tgk Imam Sabil dan pernah berperang melawan Belanda saat meletus perang Lawe Melang di Manggamat.